585750_PPK PERDOSKI 2017

December 4, 2017 | Author: Alissa Yunitasari | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

panduan praktik klinis perdoski...

Description

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN DI INDONESIA

Tahun 2017

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN DI INDONESIA

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Tahun 2017

PANDUAN PRAKTIK KLINIS BAGI DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN DI INDONESIA PERDOSKI Tahun 2017 Tim Penyusun dan Editor Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. M. Yulianto Listiawan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Danang Triwahyudi, Sp.KK, FINSDV, FAADV Dr. dr. Cita Rosita, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Reti Hindritiani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Satya Wydya Yenny Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Sekretaris dr. Irene Darmawan Kontributor Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Kelompok Studi Herpes Kelompok Studi Dermatosis Akibat Kerja Kelompok Studi Morbus Hansen Kelompok Studi Imuno Dermatologi Kelompok Studi Psoriasis Kelompok Studi Dematomikologi Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia Kelompok Studi Tumor dan Bedah Kulit Indonesia Para Pakar Dermatologi dan Venereologi

Sekretariat: PP PERDOSKI Ruko Grand Salemba Jalan Salemba I, No. 22, Jakarta Pusat, Indonesia

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA (PERDOSKI) JAKARTA 2017

ii

Hak Cipta dipegang oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) Dilarang mengutip, menyalin, mencetak dan memperbanyak isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta

DISCLAIMER -

-

Panduan Praktik Klinis (PPK) PERDOSKI disusun berdasarkan asupan dari para pakar Dermatologi dan Venereologi serta Kelompok Studi terkait. Buku PPK ini dimaksudkan untuk penatalaksanaan pasien sehingga tidak berisi informasi lengkap tentang penyakit atau kondisi kesehatan tertentu Buku PPK ini digunakan untuk pedoman penatalaksanaan pasien. Hasil apapun dalam penatalaksanaan pasien di luar tanggung jawab tim penyusun PPK. Pemilihan tatalaksana agar disesuaikan dengan kompetensi dan legalitas obat terkait.

ISBN : 978-602-98468-9-8

iii

Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI 2014-2017

Sejawat terhormat, Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya, buku ini dapat diselesaikan tepat waktu dan dapat disosialisasi bersamaan dengan KONAS PERDOSKI XV Semarang 10-13 Agustus 2017. Panduan Praktik Klinis (PPK) PERDOSKI adalah revisi besar dari buku Panduan Layanan Klinis 2014 yang telah dimiliki dan digunakan oleh PERDOSKI sebelumnya. Sesuai dengan kebutuhan dan program Kementerian Kesehatan RI bahwa diperlukan Panduan dalam melaksanakan layanan yang dapat diakses dan diaplikasikan secara nasional mulai dari layanan tingkat pratama sampai tingkat utama agar layanan berjalan sesuai dengan keilmuan yang berkembang dan sesuai dengan prasana yang ada untuk pencapaian ”service excellent”, maka buku ini merupakan jawaban yang tepat. Selain dicetak secara hardcopy, buku ini direncanakan akan dapat diakses secara online oleh seluruh anggota PERDOSKI. Buku ini adalah rangkaian buku yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA, mulai dari standar kewenangan medik dan clinical pathway, serta standar profesi. Didahului oleh pembentukan Pokja, yang terdiri dari utusan anggota dari berbagai daerah, dilanjutkan dengan pertemuan yang intensif dari seluruh bidang terkait dipandu oleh bidang Pendidikan dan Profesi PERDOSKI, serta asupan dari seluruh kelompok studi terkait, maka makin sempurnalah panduan ini. Rasa hormat dan penghargaan setingginya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyempurnaan buku ini, dan semoga panduan ini dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggota dalam melaksanakan layanan dengan target peningkatan kesehatan nasional terutama di bidang Kesehatan Kulit dan Kelamin. Tak ada pekerjaan yang sempurna, masih diperlukan asupan dari teman sejawat sekalian terhadap panduan ini, terutama para anggota yang berada di daerah dengan masalah yang spesifik, dan kami sangat terbuka untuk hal tersebut. Manfaatkan panduan ini dengan baik dalam membantu teman sejawat melaksanakan layanan.

Jakarta, Agustus 2017 Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI

dr. Syarief Hidayat, SpKK, FINSDV,FAADV

iv

Sambutan Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi

Panduan Praktik Klinis (PPK) diperlukan oleh para klinisi, agar didapatkan keseragaman hasil terapi yang aman dan efektif. Dengan demikian penyusunannya harus jelas, mudah dimengerti, akurat, dan layak dijalankan di lapangan. Untuk mendapatkan tatacara pelayanan klinik akurat tentunya harus disajikan berbasis bukti. Kelainan kulit dan kelamin yang ada di Indonesia seperti juga di belahan dunia manapun dibagi atas infeksi dan non infeksi meliputi kelainan di tiap lapisan kulit. Harus diingat bahwa kulit adalah salah satu bagian tubuh manusia yang berintegrasi dengan sistem tubuh lainnya, mengakibatkan penanganan yang komprehensif sangat dibutuhkan. Penatalaksanaan estetik kulit merupakan pelayanan kesehatan yang banyak diminati oleh berbagai disiplin ilmu dan masyarakat luas. Sebagai seorang spesialis dermatologi, bidang ini penuh tantangan, sebab harus dapat bersaing dengan bidang lain terutama harus mampu menunjukkan keunggulan yang memberi manfaat pada pasien. Keamanan seperti juga pelayanan kesehatan lain, merupakan kunci sukses keberhasilan dalam memberikan layanan dermatologi, venereologi dan estetika. Dengan panduan penatalaksanaan yang seragam tentunya mudah untuk mengevaluasi keuntungan dan kerugian jenis layanan tersebut, dan dapat digunakan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu layanan kesehatan. Keseragaman pelayanan klinik akan memudahkan para calon spesialis dermatologi dan venereologi dalam menjalankan pendidikan di lapangan. Kolegium Dermatologi dan Venereologi (DV) di Indonesia telah menyusun modul keterampilan klinis untuk menjadi parameter para calon spesialis DV dalam meraih kompetensinya. Adapun modul-modul tersebut terlampir dalam buku PPK ini. Tujuan membuat modul juga sama dengan PPK, agar spesialis mempunyai keterampilan yang seragam. Dengan keseragaman ini juga lebih mudah menjaga mutu lulusan dan dapat menjadi bekal pada saat para spesialis baru menjalankan praktik layanan dermatologi dan venereologi. Kami juga berharap dengan tersusunnya PPK PERDOSKI, para spesialis dermatologi dan venereologi di lapangan memperoleh kemudahan untuk menjalankan fungsinya di tengah era MEA dan memperoleh hasil terapi yang memuaskan, aman dan dapat bersaing dengan para spesialis dari luar negeri.

Jakarta, Agustus 2017 Ketua Kolegium Dermatologi dan Venereologi 2014-2017

Dr.dr.Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

v

KATA PENGANTAR Memperhatikan perkembangan keilmuan bidang dermatologi dan venereologi, perubahan fasilitas sarana dan prasarana pelayanan dan standar kewenangan medik bagi spesialis kulit dan kelamin khususnya di Indonesia, maka dirasa perlu dilakukan perbaruan dan tersusunlah Panduan Praktik Klinis (PPK) PERDOSKI 2017 yang merupakan penyempurnaan dari Panduan Layanan Klinis (PLK) PERDOSKI 2014. Terdapat beberapa perubahan mendasar pada PPK ini; yaitu sesuai panduan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, maka PPK dibuat dengan mencantumkan data informasi berbasis bukti berupa level of evidence (LOE) dan grade of recommendation (GOR); khususnya dalam subbab tatalaksana dan edukasi. Pencantuman data tersebut dapat menjadi panduan dalam pemilihan jenis pengobatan yang terbaik bagi pasien disesuaikan dengan kompetensi dokter yang dimiliki dan tempat layanan yang digunakan. Selain itu juga penyusunan dan pemilihan daftar pustaka terbaru menjadikan panduan ini dapat menjadi alat bantu yang sahih dalam hal pengobatan dan edukasi pasien. Saat ini perkembangan bidang dermatologi intervensi sangat pesat di Indonesia, untuk itu khusus disiapkan Panduan Ketrampilan Klinis (PKK) PERDOSKI 2017 melengkapi PPK 2017 dan Standar Kewenangan Medik PERDOSKI yang dapat digunakan oleh Anggota PERDOSKI dan dokter lainnya. Adanya perbedaan sarana dan prasarana serta kompetensi yang dimiliki oleh masing masing penyedia layanan membuat panduan ini dibuat komprehensif dan holistik dengan mengacu pada panduan kurikulum yang dikeluarkan oleh Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Indonesia, panduan tatalaksana medis yang dikeluarkan oleh berbagai asosiasi di tingkat global, dan Asia yang ditelusuri melalui situs pencari Cochrane, Dynamed dan lainnya. Ketersediaan dan legalitas alat maupun bahan medik yang digunakan dalam memberikan layanan kesehatan terbaik bagi pasien juga perlu menjadi perhatian. Untuk itu, kebijakan pemilihan tatalaksana menjadi prioritas utama seorang dokter. Terimakasih yang setulusnya serta rasa bangga disampaikan pada seluruh tim penyusun dan editor serta para kontributor dari Kelompok Studi PERDOSKI yang telah bekerja keras menyelesaikan PPK ini tepat waktu dan baik. Saran, kritik dan koreksi bagi perbaikan, kesahihan dan keandalan PPK dari seluruh pengguna, sangat dinantikan.

Jakarta, Agustus 2017 Atas nama Tim Penyusun

Dr.dr. Sandra Widaty, SpKK(K), FINSDV, FAADV

vi

SALINAN SURAT KEPUTUSAN No. 056/SK/PERDOSKI/PP/IX/16 TENTANG TIM REVISI PANDUAN LAYANAN KLINIK (PLK) PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA Menimbang: a. Dalam rangka menjamin mutu pelayanan medik Spesialis Kulit dan Kelamin perlu adanya penyempurnaan PLK Spesialis Kulit dan Kelamin. b. Bahwa untuk menyempurnakan PLK tersebut perlu dibentuk Panitia /Tim. c. Bahwa nama-nama tercantum di bawah ini dianggap cakap dan mampu sebagai Tim Revisi PLK Mengingat: 1. AD dan ART PERDOSKI 2. Buku Kompendium 3. KONAS PERDOSKI XIV Bandung 2014 4. Renstra PERDOSKI 2014-2017 5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. Memperhatikan: a. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK). b. Usulan dari PP PERDOSKI, PERDOSKI Cabang, Kelompok Studi dan Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS) untuk revisi PLK. c. Hasil Rapat Pertemuan PP PERDOSKI dan Kolegium IKKK untuk membentuk Tim Revisi PLK. MEMUTUSKAN 1. Menetapkan Tim Revisi PPM PERDOSKI: Ketua : DR. Dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Anggota : Prof. DR. Dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV DR. Dr. M. Yulianto Listiawan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. Agnes Sri Siswati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. Danang Triwahyudi, Sp.KK, FINSDV, FAADV DR. Dr. Cita Rosita, Sp.KK, FINSDV, FAADV DR. Dr. Reti Hindritiani, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV DR. Dr. Satya Wydya Yenny Sp.KK, FINSDV, FAADV DR. Dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV 2. Tim Revisi menyerahkan PLK yang telah direvisi kepada PP PERDOSKI selambatnya 1 (satu) bulan sebelum Kongres Nasional (KONAS) XV PERDOSKI Semarang bulan Agustus 2017. Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan catatan apabila terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 14 September 2016

Dr. Syarief Hidayat, Sp.KK, FINS-DV, FAADV Ketua Umum

vii

DAFTAR ISI

Halaman Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat PERDOSKI ............................................... iv Sambutan Ketua Kolegium Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin...................................... v Kata Pengantar Tim Penyusun.................................................................................... vi Surat Keputusan Tentang Tim Revisi Panduan Layanan Klinis PERDOSKI. ........... vii Daftar Isi ....................................................................................................................... viii Daftar Singkatan .......................................................................................................... xi Pendahuluan ............................................................................................................

1

A. Dermatologi Non Infeksi A. 1. Dermatitis numularis ................................................................................... A. 2. Dermatitis popok ........................................................................................ A. 3. Dermatitis seboroik...................................................................................... A. 4. Liken simpleks kronikus .............................................................................. A. 5. Miliaria ......................................................................................................... A. 6. Pitiriasis alba ............................................................................................... A. 7. Pitiriasis rosea ............................................................................................. A. 8. Prurigo aktinik .............................................................................................. A. 9. Prurigo nodularis ......................................................................................... A. 10. Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP) ......................

7 11 15 23 26 29 33 37 40 43

B. Dermatologi Infeksi B. 1. Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans) ............. B. 2. Dermatofitosis............................................................................................... B. 3. Hand-Foot-Mouth Disease .......................................................................... B. 4. Herpes Zoster .............................................................................................. B. 5. Histoplasmosis ............................................................................................. B. 6. Kandidiasis/kandidosis ................................................................................ B. 7. Kriptokokosis ............................................................................................... B. 8. Kusta............................................................................................................ B. 9. Kusta: Reaksi .............................................................................................. B. 10. Kusta: Fenomena Lusio .............................................................................. B. 11. Kusta: Relaps .............................................................................................. B. 12. Malassezia folikulitis .................................................................................... B. 13. Mikosis profunda ......................................................................................... B. 14. Moluskum kontagiosum .............................................................................. B. 15. Penisiliosis ................................................................................................... B. 16. Pioderma ..................................................................................................... B. 17. Pitiriasis versikolor....................................................................................... B. 18. Skabies ........................................................................................................ B. 19. Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS) ........................................ B. 20. Toxic shock syndrome (TSS)/Sindrom syok toksik .................................... B. 21. Tuberkulosis kutis ........................................................................................ B. 22. Varisela ........................................................................................................ B. 23. Veruka vulgaris ............................................................................................

47 50 58 61 67 70 77 80 88 95 98 101 104 114 118 121 127 131 135 138 141 147 151

viii

C. Genodermatosis C. 1. Akrodermatitis enteropatika ......................................................................... C. 2. Displasia ektodermal .................................................................................... C. 3. Epidermolisis bulosa yang diturunkan ......................................................... C. 4. Iktiosis........................................................................................................... C. 5. Inkontinensia pigmenti (sindrom Bloch-Sulzberger).................................... C. 6. Neurofibromatosis tipe 1 .............................................................................. C. 7. Tuberous sclerosis .......................................................................................

158 161 167 172 176 179 182

D. Dermato-Alergo-Imunologi D. 1. Cutaneus lupus eritematosus spesifik ......................................................... D. 2. Dermatitis atopik .......................................................................................... D. 3. Dermatitis herpetiformis Duhring ................................................................. D. 4. Dermatitis kontak alergi ............................................................................... D. 5. Dermatitis kontak iritan ................................................................................ D. 6. Dermatosis IgA linier .................................................................................... D. 7. Erupsi obat alergi ......................................................................................... D. 8. Pemfigus ...................................................................................................... D. 9. Pioderma gangrenosum ............................................................................... D.10. Psoriasis ....................................................................................................... D.11. Urtikaria ........................................................................................................

187 191 198 202 207 213 217 221 225 230 241

E. Dermatologi Kosmetik E. 1. Akne............................................................................................................. E. 2. Alopesia androgenik .................................................................................... E. 3. Bromhidrosis dan osmidrosis ...................................................................... E. 4. Deposit lemak dan selulit ............................................................................ E. 5. Freckles ....................................................................................................... E. 6. Hiperhidrosis................................................................................................ E. 7. Melasma ...................................................................................................... E. 8. Penuaan kulit ............................................................................................... E. 9. Pruritus senilis ............................................................................................. E.10. Vitiligo .......................................................................................................... E.11. Xerosis kutis pada geriatri ...........................................................................

248 255 260 263 266 269 273 277 280 282 289

F. Tumor dan Bedah Kulit Pra Kanker F. 1. Keratosis aktinik .......................................................................................... 293 F. 2. Leukoplakia ................................................................................................. 297 F. 3. Penyakit Bowen ........................................................................................... 300 Tumor Jinak Adneksa F. 4. Siringoma..................................................................................................... F. 5. Trikoepitelioma ............................................................................................ Epidermis dan kista epidermis F. 6. Keratosis seboroik ....................................................................................... F. 7. Kista epidermoid .......................................................................................... F. 8. Nevus verukosus .........................................................................................

303 305 307 309 311

ix

Jaringan ikat F. 9. Dermatofibroma ........................................................................................... F.10. Fibroma mole ............................................................................................... F.11. Keloid ........................................................................................................... Neoplasma, hiperplasia, dan malformasi vaskular F.12. Angiokeratoma ............................................................................................ F.13. Granuloma piogenikum ............................................................................... F.14. Hemangioma infantil.................................................................................... F.15. Limfangioma ................................................................................................ F.16. Nevus flameus ............................................................................................. Sel melanosit dan sel nevus F.17. Nevus melanositik .......................................................................................

313 316 317 320 322 324 328 330 332

Tumor Ganas Epidermis dan adneksa F.18. Karsinoma sel basal ................................................................................... 334 F.19. Karsinoma sel skuamosa ........................................................................... 340 Sel melanosit F.20. Melanoma maligna ...................................................................................... 346 G. Venerelogi (Infeksi Menular Seksual) G. 1. Herpes simpleks genitalis (HG) ................................................................... G. 2. Infeksi genital non spesifik (IGNS) .............................................................. G. 3. Infeksi gonore............................................................................................... G. 4. Kandidosis vulvovaginalis (KVV) ................................................................. G. 5. Kutil anogenital ............................................................................................ G. 6. Sifilis ............................................................................................................. G. 7. Trikomoniasis ............................................................................................... G. 8. Ulkus mole ................................................................................................... G. 9. Vaginosis bakterial .......................................................................................

354 359 362 365 368 372 375 377 379

H. Kedaruratan Kulit H. 1. Angioedema ................................................................................................. 388 H. 2. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)......... 393 H. 3. Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET) ........................................................... 398 Daftar Kontributor......................................................................................................... 403 Himbauan Tim Perumus .............................................................................................. 406

x

DAFTAR SINGKATAN AD ADULT AEC AH AHA AIDS AJCC ANA Anti DNA APD AR BMZ BPO C3 CBC CBDC CLND CT CTCL CXR DAL DEB DIF DKA DKI DLE DM DNA Dr. Sp.KK EB EBA EBS EEC EIA ELISA EM EN EOA FDE FNAB GOR HE HED HG HIV HPV HRT HZ IgA IgE IFN IGNS ILVEN IM

: autosomal dominan : acro-dermato-ungual-lacrimal-tooth syndrome : ankyloblepharon filiforme adnatum-ectodermal dysplasi-cleft palate syndrome : antihistamin : alpha hydroxy acid : acquired immunodeficiency syndrome : American joint committee on cancer : anti nuclear antibody : anti double stranded DNA : alat pelindung diri : autosomal recessive : basement membrane zone : benzoil peroksida : complement C3 : complete blood count : chronic bullous disease of chilldhood : complete lymph node dissection : computed tomography : cutaneous T-cell lymphoma : chest X-ray : dermatosis IgA linear : dystrophic epidermolysis bullosa : direct immunofluorecence : dermatitis kontak alergi : dermatitis kontak iritan : discoid lupus erythematosus : diabetes melitus : deoxyribose nucleic acid : dokter spesialis kulit dan kelamin : epidermolisis bulosa : epidermolisis bulosa akuisita : epidermolisis bulosa simpleks : ectrodactyl-ED-cleft lip/plate syndrome : enzyme Immnunoassay : enzyme-linked immunosorbent assay : electron microscope : eritema nodusum : erupsi obat alergi : fixed drug eruption : fine needle aspiration biopsy : grade of recommendation : hematoksilin eosin : hypohidrotic ectodermal dysplasia : herpes genitalis : human immunodeficiency virus : human papilloma virus : hormon replacement therapy : herpes zoster : imunoglobulin A : imunoglobulin E : interferon : infeksi genital nonspesifik : inflammatory linear verrucous epidermal nevous : immune defects

xi

IMS IPL IVIG JEB k/p KA KSB KSBK KSS KVV LAD LDH LE LED LGV LOE MK MLPA MM NB NET P3K PASI PEGA PET PPD 5TU PSD PUPPP PVC RDEB ROAT SC SLE SLNB SSJ SSP TB TCA THT TNM TPHA TSS UNG UNS UPO UVA UVB VDRL VHS 1 VHS 2 X-LR

: infeksi menular seksual : Intense Pulsed Light Source : intravenous immunoglobulin : junctional epidermolysis bullosa : kalau perlu : kondilomata akuminata : karsinoma sel basal : kelompok studi bedah kulit : karsinoma sel skuamosa : kandidosis vulvovaginalis : linear IgA dermatoses : lactate dehydrogenase : lupus eritematosus : laju endap darah : limfogranuloma venereum : level of evidence : moluskum kontagiosum : mycobacterium leprae particle agglutination : melanoma maligna : narrow band : nekrolisis epidermal toksik : pertolongan pertama pada kecelakaan : psoriasis area and severity index : pustular eksantema generalisata akut : positron emission tomography : purified protein derivative : personal safety devices : Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy : pityriasis versicolor chronic : recessive dystrophic EB : repeated open application test : subcutan : systemic lupus erythematosus : sentinel-lymph-node-biopsy : Sindrom Stevens Johnson : susunan syaraf pusat : tuberkulosis : tricloro acetic acid : telinga hidung tenggorok : tumor, node, metastasis : treponema pallidum hemagglutination assay : tes serologik untuk sifilis : uretritis nongonore : uretritis nonspesifik : uji provokasi oral : ultraviolet A : ultraviolet B : venereal disease research laboratory : virus herpes simpleks 1 : virus herpes simpleks 2 : X-linked recessive

xii

PENDAHULUAN

1

PELAYANAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI Sesuai dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik, tingkat layanan dibagi menjadi PPK1 (Pusat Pelayanan Kesehatan), PPK2, dan PPK 3, PPK 2 masih dibagi menjadi 2A dan 2B, PPK 2A adalah RS tipe C dan D yang memiliki Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Pelayanan Dermatologi dan Venereologi di Rumah Sakit (disesuaikan dengan Pedoman Standar Kewenangan Medik Berdasarkan Tingkat Pelayanan Kesehatan Dermatologi dan Venereologi) Tempat pelayanan

: Pelayanan Pratama (dasar) Kesehatan Kulit dan Kelamin

Pelayanan Utama (lanjut) Kesehatan Kulit dan Kelamin

I

Jenis pelayanan

II

Tenaga

: 1. Dr.Sp.KK 2. Paramedik 3. Nonmedik

1. Dr.Sp.KK dan Sp.KK(K) 2. Paramedik 3. Nonmedik

III

Kegiatan pelayanan

: 1. Melakukan anamnesis 2. Menjelaskan pemeriksaan dermatologik dan atau venereologik yang akan dijalani pasien 3. Melakukan pemeriksaan fisis dermatologik dan atau venereologik 4. Membuat sediaan laboratorium sederhana:  Kerokan kulit untuk sediaan mikologik  Slit skin smear untuk sediaan kusta  Usap duh tubuh vagina, serviks, uretra untuk sediaan venereologik 5. Melakukan uji kulit, yaitu uji tusuk, uji tempel, uji tempelsinar (photo-patch), uji provokasi 6. Melakukan tindakan pengobatan, tindakan filler, botox, chemical peeling,

1. Melakukan pemeriksaan dan tindak medik layanan kesehatan kulit dan kelamin tingkat pratama 2. Melakukan penanganan lanjut terhadap pasien rujukan dari sarana kesehatan di tingkat pratama 3. Melakukan pemeriksaan dan tindak medik kulit dan kelamin spesialistik atau subspesialistik meliputi:  Pemeriksaan laboratorium penunjang lain: biopsi/histopatologik, biakan, serologik  Tindakan bedah mayor  Perawatan pra/pasca bedah 4. Melakukan pemeriksaan dan tindak medik kulit dan kelamin sesuai dengan tersedianya tenaga ahli dan

1. Merupakan pemeriksaan kesehatan kulit dan kelamin dengan atau tanpa tindakan medik sederhana 2. Dapat dilakukan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin di tempat praktek pribadi atau rumah sakit tipe C dan B (nonpendidikan)

1. Merupakan pemeriksaan kesehatan kulit dan kelamin dengan tindakan medik spesialistik 2. Dilakukan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin di rumah sakit tipe B dan A (pendidikan)

2

tindakan eksisi (bedah minor) 7. Mampu melakukan pertolongan pertama pada keadaan darurat penyakit kulit 8. Mengadakan penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin IV

Fasilitas / ruang

: 1. 2. 3. 4.

V

Alat

: Peralatan diagnostik 1. Stetoskop dan tensimeter 2. Kaca pembesar 3. Mikroskop cahaya 4. Lampu Wood 5. Uji tusuk dan uji tempel Peralatan tindakan 1. Lampu periksa dengan kaca pembesar 2. Komedo ekstraktor 3. Set bedah minor 4. Elektrokauter 5. Set tindakan rejuvenasi 6. Kit uji tusuk dan uji tempel 7. Perlengkapan alat dan obat untuk mengatasi syok anafilaktik 8. Perlengkapan cuci alat, sterilisasi, dan pembuangan sampah 9. Set tes IVA

Ruang periksa Ruang tunggu Kamar kecil Ruang tindakan

sarana yang ada 5. Penyuluhan kesehatan kulit dan kelamin

1. 2. 3. 4.

Ruang periksa Ruang Tunggu Kamar kecil Ruang tindakan/ruang bedah 5. Ruang sinar UVB (bila mampu) 6. Laboratorium 7. Rawat rawat inap Peralatan diagnostik 1. Peralatan diagnostik pada pelayanan pratama 2. Kursi ginekologik 3. Set pemeriksaan penyakit venereologik 4. Perlengkapan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan dermatologik dan venereologik 5. Laboratorium histopatologik dan serologik 6. Mikroskop Lapang pandang gelap 7. Dermoskopi/kaca pembesar Peralatan tindakan 1. Peralatan tindakan pada layanan pratama 2. Set bedah krio 3. Set bedah skalpel/bedah minor 4. Kit uji tusuk dan uji tempel 5. Set bedah laser 6. UVB cabin (bila mampu)

Dikutip dari Standar Profesi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin PERDOSKI tahun 2011

3

PANDUAN PENYUSUNAN REKOMENDASI

Rekomendasi yang dicantumkan dalam Pedoman Praktik Klinis (PPK) ini menggunakan kriteria level of evidence yang dikeluarkan oleh Oxford Centre for Evidence-based Medicine tahun 2009 dengan modifikasi. Kriteria level of evidence telah disajikan dalam tabel 1 dan 2. Tabel 1. Kriteria level of evidence untuk terapi Level of Evidence I 2

3 4 5

Kriteria Systematic review of RCT (randomized controlled trial) Individual RCT with narrow confidence interval Systematic review of cohort studies Individual cohort study “Outcomes” research, ecological studies Systematic review of case-control studies Individual case-control study Case-series (and poor quality cohort and case-control studies) Expert opinion without explicit critical appraisal, or based on physiology, bench research or “first principles”

Tabel 2. Kriteria level of evidence untuk diagnostik Level of Evidence 1

Kriteria

Systematic review of level 1 diagnostic studies Validating* cohort study with good reference standards Absolute SpPins and SnNouts’’ 2 Systematic review of level >2 diagnostic studies Exploratory*** cohort study with good reference standards**** 3 Systematic review of level 3 and better studies Non consecutive study or without consistently applied reference standards 4 Case control study, poor or non-independent reference standard 5 Expert opinion without explicit critical appraisal, or based on physiology, bench research or “first principles” *Validating studies test the quality of a specific diagnostic test, based on prior evidence. **An absolute SpPin is a diagnostic finding whose specificity is so high that a positive result rules-in the diagnosis. An absolute SnNout is a diagnostic finding whose sensitivity is so high that a negative result rulesout the diagnosis. ***Exploratory studies collect information and trawls the data (e.g. using a regression analysis) to find which factors are significant ****Good referance standards are independent of the test, and applied blindly or objectively to applied to

4

Sementara grade of recommendation yang digunakan pada PPK ini mengacu pada Oxford Centre for Evidence-based Medicine tahun 2009 dan European Society for Clinical Microbiology and Infectious Disease tahun 2016 yang telah dimodifikasi. Kriteria grade of recommendation dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Kriteria grade of recommendation Strength of recommendation

Oxford Centre for Evidence-based Medicine

A

Consistent level 1 studies

B

Consistent level 2 or 3 studies or extrapolations from level 1 studies Level 4 studies or exrapolation from level 2 or 3 studies Level 5 evidence or troublingly inconsistent or inconclusive studies of any level

C D

European Society for Clinical Microbiology and Infectious Disease Strongly supports a recommendation for use Moderately supports a recommendation for use Marginally supports a recommendation for use Supports a recommendation against use

Keterangan Tambahan 1. Pemberian tanda * pada rekomendasi D,5 menunjukkan bahwa kepustakaan diambil dari guideline atau pedoman baik yang digunakan di Indonesia ataupun internasional. 2. Pemberian tanda ** dibelakang nama terapi menunjukkan bahwa terapi tersebut belum tersedia di Indonesia atau belum disetujui oleh BPOM.

5

DERMATOLOGI NON INFEKSI A.1

Dermatitis numularis

A.2

Dermatitis popok

A.3

Dermatitis seboroik

A.4

Liken simpleks kronikus

A.5

Miliaria

A.6

Pitiriasis alba

A.7

Pitiriasis rosea

A.8

Prurigo aktinik

A.9

Prurigo nodularis

A.10 Pruritic urticaria papule and plaque in pregnancy (PUPPP)

Dermatologi Non Infeksi

6

A.1 Dermatitis Numularis (L30.0) I.

Definisi Dermatitis numularis adalah suatu kelainan kulit inflamatif berupa papul dan papulovesikel yang berkonfluensi membentuk plak berbentuk koin berbatas tegas dengan oozing, krusta, dan skuama. Sangat gatal, dengan predileksi pada ekstremitas atas dan bawah.1-3 Sinonim: eksema diskoid.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Menyerang terutama orang dewasa (50-65 tahun), jarang pada bayi dan anak-anak, puncak onset pada anak-anak yaitu pada usia 5 tahun.1  Keluhan subjektif sangat gatal, terutama pada fase akut. 1  Pada sebagian pasien dermatitis numularis didapatkan insidensi atopi yang tinggi, tetapi pada sebagian yang lain tidak. 2  Pencetus antara lain kulit kering, fokus infeksi pada gigi, saluran napas atas, atau saluran napas bawah.1,3 Faktor alergen lingkungan yang berperan sebagai pencetus yaitu: tungau debu rumah dan Candida albicans.1  Stres emosional, disfungsi liver atau konsumsi alkohol berlebihan dapat memperberat penyakit.3 2. Pemeriksaan Fisik  Predileksi: ekstremitas atas termasuk punggung tangan (wanita) dan ekstremitas bawah (pria).1  Kelainan kulit dapat bersifat akut, subakut, atau kronik.1,3  Lesi karakteristik berupa plak berukuran 1-3 cm berbentuk koin yang terbentuk dari konfluensi papul dan papulovesikel.1  Pada bentuk akut terdapat vesikel, erosi dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), serta krusta pada dasar eritema. Pada fase kronis, berupa plak kering, berskuama, dan likenifikasi.1,3  Dapat timbul komplikasi berupa infeksi bakteri sekunder.1  Lesi menyembuh dimulai dari bagian tengah membentuk gambaran anular.1  Kelainan kulit dapat meluas ke badan, wajah dan leher3 atau menjadi generalisata.1 Diagnosis Banding1 1. Dermatitis kontak alergi 2. Dermatitis stasis 3. Dermatitis atopik 4. Tinea korporis

Dermatologi Non Infeksi

7

Pemeriksaan Penunjang 1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. 1-3 2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding.1-3 3. Pada kasus berat atau rekalsitran, dilakukan uji tempel. 4

III.

Penatalaksanaan Evidence base untuk tatalaksana dermatitis numularis sebagian besar berdasarkan penelitian-penelitian dermatitis atopik.2 Non Medikamentosa 1. Hindari/atasi faktor pencetus.2,3 2. Berikan emolien apabila ditemukan kulit kering.1,2,5-7 (A,1) Medikamentosa Prinsip: Terapi bersifat kausatif dan/atau simtomatis sesuai dengan manifestasi klinis.3 Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Kompres pada lesi akut5,8 (C,4)  Antiinflamasi dan/atau antimitotik: o Pilihan utama: kortikosteroid topikal potensi sedang hingga kuat2,3,5,9 (C,4) o Pilihan lainnya inhibitor kalsineurin seperti takrolimus dan pimekrolimus2,10 (B,1) atau preparat tar2,5,11 (C,4) 2. Sistemik 2,3,11  Antihistamin oral (C,4)  Pada kasus dermatitis numularis berat dan refrakter dapat diberikan: o kortikosteroid sistemik2,11 (C,4) o Pada anak dapat diberikan metotreksat dengan dosis 5-10 mg perminggu12 (C,4)  Pada kasus dermatitis numularis dengan lesi generalisata dapat ditambahkan fototerapi broad/narrow band UVB.2,5,11 (C,4)

IV.

Edukasi1-3 1. Hindari/atasi faktor pencetus. 2. Cegah garukan dan jaga hidrasi kulit agar tidak kering.

V.

Prognosis Quo ad vitam : ad bonam Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam Perjalanan klinis umumnya berlangsung kronis. Penyakit ini sering mengalami rekurensi dan umumnya timbul pada lokasi yang sama atau dekat dengan lokasi sebelumnya.1-3

Dermatologi Non Infeksi

8

VI.

Kepustakaan 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012.h.184-7 2. Ingram R.J. Eczematous Disorders. Dalam: Griffiths C. Barker J. Bleiker T. Chalmers R. Creamer D. penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-9. Oxford: Blackwell; 2016.h.39.7-39.9. 3. Todorova A. Eropean handbook of dermatological treatments. Katsambas AD, Lotti TM, Dessinioti C, D’Erme AM editor. Edisi ke-3. New york: Springer. 2015.h.671-680. 4. Khurana S, Jain VK, Aggarwal K, Gupta S. Patch testing in discoid eczema. J Dermatol. 2002; 29:763-7. 5. Ring J, Alomar A, Bieber T, Delereuran M, Fink-Wagner A, Gelmetti C, et al. Guidelines for treatmen of atopic exczema (atopic dermatitis) Part I. JEADV. 2012;1045-1060. 6. Breternitz M, Kowatzki D, Langenauer M et al. Placebo-controlled, double-blind, randomized, prospective study of a glycerol-based emollient on eczematous skin in atopic dermatitis: biophysical and clinical evaluation. Skin Pharmacol Physiol. 2008;21:39–45. 7. Lode´n M, Andersson AC, Anderson C et al. A double-blind study comparing the effect of glycerin and urea on dry, eczematous skin in atopic patients. Acta Derm Venereol. 2002;82: 4547. 8. Schnopp C, Holtmann C, Stock S et al. Topical steroids under wetwrap dressings in atopic dermatitis-a vehicle-controlled trial. Dermatology. 2002;204:56–59. 9. Van der Meer JB, Glazenburg EJ, Mukler PG, dkk. The management of moderate to severe atopic dermatitis in adults with topical fluticasone propionate. The Netherlands Adult Atopic Dermartitis-a vehicle-controlled trial. Dermatology. 2002;204:56-9. 10. Boguniewicz M, Fiedler VC, Raimer S, Lawrence ID, Leung DY, Hanifin JM. A randomized, vehicle-controlled trial of tacrolimus ointment for treatment of atopic dermatitis in children. Pediatric Tacrolimus Study Group. J Allergy Clin Immunol. 1998;102:637-44. 11. Cowan MA. Nummular eczema – a review, follow- up and analysis of 325 cases. Acta Derm Venereol (Stockh). 1961;41:453-60. 12. Robert H, Orchard D. Metotrexate is a safe and effective treatment for paediatric (nummular) eczema: A case series of 25 children. Australasian J of Dermatology. 2010;51.128-130.

Dermatologi Non Infeksi

9

VII.

Bagan Alur

Dermatitis numularis

Kronis rekalsitran

Uji tempel

Pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding

Diagnosis tegak

Pilihan utama:

Pilihan lainnya:

Kortikosteroid topikal potensi sedang hingga kuat.

Antihistamin oral

 

Inhibitor kalsineurin topikal Preparat tar

Serosis

Akut

Infeksi sekunder

Berat dan refrakter

Generalisata

Kompres

Emolien

Antibiotik topikal dan atau topikal

Kortikosteroid sistemik setara 5 mg prednison 2 kali sehari.

Fototerapi broad/narrow band UVB

Anak: metotreksat 5-10 mg perminggu

Dermatologi Non Infeksi

10

A.2 Dermatitis Popok (L.22) I.

Definisi Dermatitis popok (napkin dermatitis, diaper dermatitis) adalah dermatitis akut yang terjadi di daerah genitokrural sesuai dengan tempat kontak popok (bagian cembung) terutama dijumpai pada bayi akibat memakai popok.1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis  Riwayat perjalanan penyakit: kontak lama dengan popok basah (urin/feses).1  Tempat predileksi: bokong, area perianal, genital, paha bagian dalam dan daerah pinggang, sesuai dengan area kontak popok.1-3  Pada anak frekuensi tertinggi pada usia 9-12 bulan dan 12-24 bulan.3  Makula eritematosa, berbatas agak tegas (bentuk mengikuti bentuk popok yang berkontak, mons pubis, skrotum pinggang dan perut bagian bawah), disertai papul, vesikel, pustul, erosi, maserasi ringan dan eskoriasi.1-3  Pada stadium lanjut gambaran klinis lebih berat (Jacquet’s dermatitis) dapat menjadi erosi, nodul, infiltrat dan ulserasi.1,4  Bila terinfeksi jamur kandida (biasanya harus dipikirkan bila sudah lebih dari 3 hari) tampak plak eritematosa (merah cerah), lesi lebih basah disertai maserasi, berbatas tegas, didaerah tepi lesi terdapat papul, pustul, kadang terdapat lesi satelit.1,4 Diagnosis Banding1,5,6 1. Kandidosis kutis 2. Dermatitis seboroik infantil 3. Akrodermatitis enteropatika 4. Sebopsoriasis Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan khusus. Bila diduga terinfeksi jamur kandida, dilakukan pemeriksaan KOH atau jika terinfeksi bakteri, pemeriksaan Gram dari kerokan kulit.1

III.

Penatalaksanaan Non medikamentosa4-6 1. Daerah popok dibersihkan dengan hati-hati dengan air dalam minyak, yang diulang setiap kali sesudah buang air besar. 2. Sesudah dibersihkan, gunakan krim untuk mencegah penetrasi bahan iritan. 3. Dapat digunakan zinc oxide, dimetikon, lanolin, dan petrolatum.

Dermatologi Non Infeksi

11

Medikamentosa Prinsip: proteksi kulit dari feses dan urin, menekan inflamasi dan mengatasi terjadinya infeksi sekunder.1 Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal:  Bila ringan: krim/salep yang bersifat protektif seperti seng oksida, pantenol, lanolin4 (C,3), dan petrolatum jelly3,4,7 (A,1).  Kortikosteroid potensi lemah hingga sedang (salep hidrokortison 1%/2,5%) waktu singkat.4-6 (C,3)  Bila terinfeksi kandida: antifungal kandida yaitu nistatin atau derivat azol mikonazol, flukonazol, klotrimazol4-6, atau kombinasi mikonazol nitrat dengan seng oksida dan petrolatum.1,8 (B,1) 4,6  Bila terinfeksi bakteri: diberikan mupirosin 2 kali sehari. (C,3) 2. Sistemik:  Bila terjadi infeksi bakteri yang berat pada bayi yang lebih tua, dapat diberikan amoksisilin klavulanat, klindamisin, sefaleksin atau trimetoprimsulfametoksasol.9

IV.

Edukasi Edukasi cara menghindari penyebab dan menjaga higiene, serta cara penggunaan popok. 1. Daerah popok dijaga tetap bersih, kering. Hindari gesekan serta keadaan lembab.4 Mengganti popok secara rutin agar daerah popok tidak lama berkontak dengan urin dan feses.3,5 Bila menggunakan popok tradisional segera diganti bila basah. Bila memakai popok sekali pakai, popok diganti bila kapasitasnya telah penuh. Untuk bayi baru lahir sebaiknya diganti 2 jam sekali,3,6,9 sedangkan bayi lebih besar 3-4 jam sekali.3,4,6 (C,3) 2. Dianjurkan memakai popok sekali pakai jenis highly absorbent, dengan materi yang microporous sehingga terdapat ventilasi (breathable) sehingga dapat mencegah terjadinya eksim popok,4,9-11 dan menurunkan 38-50 % infeksi yang disebabkan oleh Candida.10 (C,3) 3. Membersihkan daerah popok dengan air hangat dan sabun non-irritating (mild) atau sabun dengan pH netral, atau minyak setiap habis b.a.k dan b.a.b. Gunakan barrier creams seperti zinc oxide, lanolin, petrolatum sesudah kulit dibersihkan.3,4 (C,3)

V.

Prognosis Quo ad vitam : ad bonam Quo ad functionam : ad bonam Quo ad Sanationam : dubia ad bonam Edukasi orang tua atau caregivers sangat penting untuk mencegah kekambuhan

Dermatologi Non Infeksi

12

VI.

Kepustakaan 1. Paller AS, Mancini AJ.Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-4. Edinburgh: Elsevier Saunders, 2011.h.20-23. 2. Reider N, Fritsch PO. Diaper dermatitis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editor. Textbook of Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2012.h.230-31. 3. Stamatas GN, Neena KT. Diaper dermatitis: Etiology, Manifestations, Prevention, and Management. Pediatr Dermatol. 2014;31:1-7. 4. TuzunY,Wolf R, Bagiam S, Engin B. Diaper (napkin) dermatitis: A fold (intertriginous) dermatosis.Dermatol Clin Dermatol 2015;33:477-82. 5. Atherton DJ. The aetiology and management of irritant diaper dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2001;15:1-4. 6. Gupta AK, Skinner AR. Management of diaper dermatitis.Int J dermatol. 2004; 43: 830-34. 7. Alonso C, Larburu I,Bon E, Gonzallez MM, et all. Efficacy of petrolatum jelly for the prevention of diaper rash: A randomized clinical trial. Journal for spesialists in Pediatric Nursing. 2013; 18:123-32. 8. Blanco D,Rossem KV.A prospective two-year assessment of Miconazole Resistance in Candida Spp.with Repeated Treatment with 0,25% Miconazole Nitrate Ointment in Neonates and Infants with Moderate to Severe Diaper Dermatitis Complicated by Cutaneous Candidiasis.PediatricDermatol. 2013;30:717-24. 9. Klunk C, Domingues E, Wiss K. An update on diaper dermatitis. Clin Dermatol. 2014;32:477-87. 10. Akin F,Spraker M, Aly R, Leyden J, et all. Effects of breathable disposable diaper: reduced prevalence of Candida and common diaper dermatitis. Pediatr Dermatol. 2001;18:282-90. 11. Odio M, Thaman L. Diapering, Diaper technology, and Diaper area skin health. Ped Dermatol. 2014;31(1):9-14.

Dermatologi Non Infeksi

13

VII.

Bagan Alur

Ruam pada daerah popok & riwayat pemakaian popok

Genitalia dan bokong (permukaan konveks) Makula eritematosa, lembap, berbatas agak tegas, papul, erosi, maserasi ringan

Genitalia, bokong (lipatan) papul eritematosa, merah terang, lembap, plak eritematosa, lesi satelit

KOH/Gram: kandida(+) Dermatitis popok iritan

Krim bersifat protektif Steroid topikal potensi lemah

Dermatologi Non Infeksi

Dermatitis popok kandida

A: air (udara) → popok dibuka saat tidur B: barrier ointment (pasta seng oksida, petrolatum) C: cleansing dan antikandida (air biasa, minyak mineral) D: diapers ganti sesering mungkin E: edukasi orangtua dan pengasuh

Kombinasi antikandida topikal (nistatin/ derivat azol) dengan seng oksida

14

A.3 Dermatitis Seboroik (L21.9) I.

Definisi Dermatitis seboroik (DS) adalah kelainan kulit papuloskuamosa kronis yang umum dijumpai pada anak dan dewasa. Penyakit ini ditemukan pada area kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas dan fleksura (inguinal, inframammae, dan aksila). 1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan. Sering disebut cradle cap. Keluhan utama biasanya berupa sisik kekuningan yang berminyak dan umumnya tidak gatal.1,2  Pada anak dan dewasa, biasanya yang menjadi keluhan utama adalah kemerahan dan sisik di kulit kepala, lipatan nasolabial, alis mata, area post aurikula, dahi dan dada. Lesi lebih jarang ditemukan di area umbilikus, interskapula, perineum dan anogenital. Area kulit yang kemerahan biasanya gatal. Pasien juga dapat mengeluhkan ketombe (Pitiriasis sika). Keluhan dapat memburuk jika terdapat stressor atau cuaca dingin. 1,3,4  Pada bayi umumnya bersifat swasirna sementara cenderung menjadi kronis pada dewasa.1 2. Pemeriksaan Fisik  Pada bayi, dapat ditemukan skuama kekuningan atau putih yang berminyak dan tidak gatal. Skuama biasanya terbatas pada batas kulit kepala (skalp) dan dapat pula ditemukan di belakang telinga dan area alis mata. Lesi lebih jarang ditemukan di lipatan fleksura, area popok dan wajah.1,2  Pada anak dan dewasa dapat bervariasi mulai dari:1,3,4 o Ketombe dengan skuama halus atau difus, tebal dan menempel pada kulit kepala o Lesi eksematoid berupa plak eritematosa superfisial dengan skuama terutama di kulit kepala, wajah dan tubuh o Di dada dapat pula menunjukkan lesi petaloid atau pitiriasiformis.  Apabila terdapat di kelopak mata, dapat disertai dengan blefaritis. 3  Dapat meluas hingga menjadi eritroderma.1,3 Diagnosis Banding 1. Pada bayi1,2 : dermatitis atopik, skabies, psoriasis 2. Pada anak dan dewasa1,3: psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis kontak, impetigo, tinea 3. Di lipatan: dermatitis intertriginosa, kandidosis kutis Harus disingkirkan: histiositosis sel Langerhans (pada bayi)1

Dermatologi Non Infeksi

15

Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis. Apabila diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit dengan pewarnaan KOH untuk menyingkirkan infeksi jamur atau biopsi kulit.2 (C,5) III.

Penatalaksanaan Dewasa Pilihan pengobatan dapat berupa salah satu atau gabungan dari terapi sebagai berikut (lihat bagan alur): 1. Daerah non skalp  Ringan o Antijamur topikal: krim ciclopirox 1%5-7 (B,1), krim ketokonazol 2%5,7 (A,1) 2 kali sehari selama 4 minggu. o AIAFp: krim piroctone olamine/alglycera/bisabolol 2 kali sehari selama 4 minggu5,6,8 (A,1) o Kortikosteroid topikal kelas I: krim atau salep hidrokortison 1% 2 kali sehari selama 4 minggu5-6,9-10 (A,1) o Inhibitor kalsineurin topikal: krim pimekrolimus 1% 5-6,10-11 (A,1), salep takrolimus 0,1% 2 kali sehari selama 4 minggu5-6,10,12 (A,1)  Sedang/berat o Kortikosteroid topikal kelas II: krim desonide 0,05%5-6,10,13 (A,1), salep aclometasone 0,05%5,6 2 kali sehari selama 4 minggu o Antijamur sistemik: - Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian 200 mg/hari selama 2 hari/bulan selama 11 bulan5-6,14 (A,1) - Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau 250 mg/hari selama 12 hari/bulan untuk 3 bulan (regimen intermiten)5-6,14 (A,1)  Urutan pilihan terapi o Lini pertama - Ketokonazol topikal5-7 (A,1) - Kortikosteroid topikal potensi ringan-sedang5-6,9-10,13 (A,1) - AIAFp topikal5,6,8 (A,1) o Lini kedua - Lithium succinate/lithium gluconate topikal5,10 (A,1) - Krim ciclopirox5-7 (B,1) - Inhibitor kalsineurin topikal5-6,10-12 (A,1) o Lini ketiga - Terbinafin oral5-6,14 (A,1) - Itrakonazol oral5-6,14 (A,1) - Gel metronidazol5,15 (A,1) - Krim non steroid5,13 (A,1) - Terbinafin topikal5,16 (A,1) - Benzoil peroksida5,17 (D,4) - Fototerapi5,18 (D,4)

Dermatologi Non Infeksi

16

2. Daerah skalp  Ringan o Antijamur topikal: sampo ciclopirox 1-5%5-7,19 (B,1), ketokonazol sampo 1-2%5-7,19 (A,1), foaming gel 2%5-7,20 (A,1), hydrogel 20 mg/gel 2-3 kali/minggu5-7(A,1) o AIAFp: sampo piroctone olamine/bisabolol/glychirretic acid/lactoferrin 23 kali/minggu5-6,21 o Keratolitik: - Sampo asam salisilat 3% 2-3 kali/minggu5-6, sampo tar 1-2% 1-2 kali/minggu5-6 (C,5) o Bahan lainnya: - Sampo selenium sulfida 2,5% 2-3 kali/minggu5-6,22 (B,1) - Sampo zinc pyrithione 1-2% 2-3 kali/minggu5-6,23 (B,1) o Kortikosteroid topikal kelas I: linimentum dan solusio hidrokortison 1%, losion hidrokortison 0,1% 1 kali sehari selama 4 minggu minggu5-6,10 (A,1) o Kortikosteroid topikal kelas II: salep aclometasone 0,05%5-6, krim desonide 0,05%5-6,10,13 (A,1) 1 kali sehari selama 4 minggu  Sedang/berat o Kortikosteroid topikal kelas III: sampo fluocinolon acetonide 0,01% 2 kali seminggu, didiamkan selama 5 menit selama 2 minggu5,6,24 (A,1) o Kortikosteroid topikal kelas IV: sampo klobetasol propionat 0,05% 2 kali seminggu, didiamkan selama 5 menit selama 2 minggu5,6,25 (A,1) o Antijamur sistemik: - Itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu kemudian 200 mg/hari selama 2 hari/bulan selama 11 bulan5-6,14 (A,1) - Terbinafin 250 mg/hari selama 4-6 minggu (regimen kontinu) atau 250 mg/hari selama 12 hari/bulan untuk 3 bulan (regimen intermiten)5-6,14 (A,1) - Flukonazol 50 mg/hari selama 2 minggu atau 200-300 mg/minggu selama 2-4 minggu5-6,14 (A,1)  Urutan pilihan terapi o Lini pertama - Sampo ketokonazol5-7,19 (A,1) - Sampo ciclopirox5-7,19 (B,1) - Sampo zinc pyrithione5-6,23 (B,1) o Lini kedua - Propylene glycol lotion5-6,26 - Kortikosteroid topikal potensi kuat-sangat kuat5-6,25 (A,1) - Salep tacrolimus5-6,10,12 (A,1) - Mikonazol5-7,27 (B,1) - Sampo selenium sulfida5-6,22 (B,1) *AIAFp: non steroid anti-inflammatory agent with antifungal properties

Bayi

1. Daerah skalp o Antijamur topikal: sampo ketokonazol 2% 2 kali/minggu selama 4 minggu57,19,28 (A,1) o Emolien: white petrolatum ointment sebagai penggunaan sehari-hari5-6 Dermatologi Non Infeksi

17

o AIAFp: krim piroctone olamine/alglycera/bisabolol setiap 12 jam 5-6,8 (A,1) 2. Daerah non skalp o Antijamur topikal: krim ketokonazol 2% 1 kali sehari selama 7 hari5-6,29 (A,1) o Kortikosteroid topikal kelas I: krim hidrokortison 1% 1 kali sehari selama 7 hari5-6,29 (A,1) Tindak lanjut: Bila menjadi eritroderma atau bagian dari penyakit Leiner: perlu dirawat untuk pemantauan penggunaan antibiotik dan kortikosteroid sistemik jangka panjang. Bila ada kecurigaan penyakit Leterrer-Siwe perlu kerjasama dengan dokter spesialis anak. IV.

Edukasi 1. Menghindari faktor pemicu/pencetus misalnya5:  Penggunaan pendingin ruangan (air conditioner) atau udara dengan kelembapan rendah di lingkungan kerja  Hindari garukan yang dapat menyebabkan lesi iritasi  Hindari bahan-bahan yang dapat menimbulkan iritasi  Mengkonsumsi makanan rendah lemak  Tetap menjaga higiene kulit 2. Mencari faktor-faktor predisposisi yang diduga sebagai penyebab 5 3. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai perjalanan penyakit (tujuan pengobatan, hasil pengobatan yang diharapkan, lama terapi, cara penggunaan obat, dan efek samping obat yang mungkin terjadi)5 4. Edukasi mengenai pentingnya perawatan kulit dan menghindari pengobatan diluar yang diresepkan6

V.

Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : dubia Dermatitis seboroik pada bayi bersifat swasirna. Sementara pada dewasa bersifat kronis dan dapat kambuh.1 (D,5)

Dermatologi Non Infeksi

18

VI.

Kepustakaan 1. CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012. h259-66. 2. Schwartz RA, Janusz CA, Janniger CK. Seborrheic dermatitis: an overview. Am Fam Physician. 2006 Jul 1;74(1):125-30. 3. Clark GW, Pope SM, Jaboori KA. Diagnosis and treatment of seborrheic dermatitis. Am Fam Physician. 2015 Feb 1;91(3):185-90. 4. Dessinioti C, Katsambas A. Seborrheic dermatitis: etiology, risk factors, and treatments: facts and controversies. Clin Dermatol. 2013 Jul-Aug;31(4):343-51. 5. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Dermatitis Seboroik 2017. 6. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, et al. Treatment of Seborrhoeic Dermatitis in Asia: A Consensus Guide. Skin Appendage Disorders. 2015;1:18996. 7. Okokon EO, Verbeek JH, Ruotsalaienen JH, Ojo OA, Bakhoya VN. Topical antifungals for seborrhoeic dermatitis (review). The Cochrane Library. 2015;4:1-229. 8. Veraldi S, Menter A, Innocenti M. Treatment of mild to moderate seborrhoeic dermatitis with MAS064D (Sebaclair®), a novel topical medical device: results of a pilot, randomized, doubleblind, controlled trial. JEADV. 2008;22:290-6. 9. Stratigos JD, Antoniou Chr, Katsambas A, Bohler K, Fritsch P, Schmolz A, et al. Ketoconazole 2% cream versus hydrocortisone 1% cream in the treatment of seborrhoeic dermatitis: A double blind comparative study. JAAD. 1988;19(5):850-3. 10. Kastarinen H, Oksanen T, Okokon EO, Kiviniemi VV, Airola K, Jyrkka J, et al. Topical antiinflammatory agents for seborrhoeic dermatitis of the face or scalp (Review). The Cochrane Library. 2014:1-137. 11. Papp KA, Papp A, Dahmer B, Clark CS. Single-blind, randomized controlled trial evaluating the treatment of facial seborrheic dermatitis with hydrocortisone 1% ointment compared with tacrolimus 0.1% ointment in adults. J Am Acad Dermatol. 2012;67:11-5. 12. Koc E, Arca E, Kose O, Akar A. An open, randomized, prospective, comparative study of topical pimecrolimus 1% cream and topical ketoconazole 2% cream in the treatment of seborrheic dermatitis. Journal of Dermatology Treatment. 2009;20(1):4-9. 13. Elewski B. An investigator-blind, randomized, 4-week, parallel-group, multicenter pilot study to compare the safety and efficacy of a nonsteroidal cream (Promiseb Topical Cream) and desonide cream 0.05% in the twice-daily treatment of mild to moderate seborrheic dermatitis of the face. Clinics in Dermatology. 2009;27:48-53. 14. Gupta AK, Richardson M, Paquet M. Systematic Review of Oral Treatments for Seborrheic Dermatitis. JEADV. 2014;28:16-26. 15. Seckin D, Gurbuz O, Akin O. Metronidazole 0.75% gel vs. ketoconazole 2% cream in the treatment of facial seborrheic dermatitis: a randomized, double-blind study. JEADV. 2007;21:345-50. 16. Herizchi H, Nejad SB, Saniee S. Comparing the Efficacy of Topical Terbinafine 1% Cream with Topical Ketoconazole 2% Cream and Placebo in the Treatment of Facial Seborrhoeic Dermatitis. Medical Journal of Tabriz University of Medical Sciences. 2012;34(1):23. 17. Bonnetblanc JM, Bernard P. Benzoyl Peroxide in Seborrheic Dermatitis. Arch Dermatol. 1986; 122:752. 18. Pirkhammer D, Seeber A, Honigsmann H, Tanew A. Narrow-band ultraviolet B (TL-01) phototherapy is an effective and safe treatment option for patients with severe seborrhoeic dermatitis. BJD. 2000;143:964-8. 19. Ratvanel RC, Squire RA, Boorman GC. Clinical efficacies of shampoos containing ciclopirox olamine (1.5%) and ketoconazole (2.0%) in the treatment of seborrhoeic dermatitis. Journal of Dermatological Treatment. 2007;18:88-96. 20. Chosidow O, Maurette C, Dupuy P. Randomized, Open-Labeled, Non-Inferiority Study between Ciclopiroxolamine 1% Cream and Ketoconazole 2% Foaming Gel in Mild to Moderate Facial Seborrheic Dermatitis. Dermatology. 2003;206:233-40. 21. Schmidt-Rose T, Braren S, Folster H, Hillemann T, Oltrogge B, Phillip P, et al. Efficacy of a piroctone olamine/climbazol shampoo in comparison with a zinc pyrithione shampoo in subjects with moderate to severe dandruff. International Journal of Cosmetic Science. 2011;33:276-82. 22. Danbi FW, Maddin WS, Margesson LJ, Rosenthal D. A randomized, double-blind, placebocontrolled trial of ketoconazole 20/0 shampoo versus selenium sulfide 2.5% shampoo in the

Dermatologi Non Infeksi

19

treatment of moderate to severe dandruff. J Am Acad Dermatol. 1993;29:1008-12. 23. Pierard-Franchimont C, Goffin V, Decroix J, Pierard GE. A Multicenter Randomized Trial of Ketoconazole 2% and Zinc Pyrithione 1% Shampoos in Severe Dandruff and Seborrheic Dermatitis. Skin Pharmacol Appl Skin Physiol. 2002;15:434-41. 24. Ramirez Rg, Dorton D. Double-blind placebo controlled multicentre study of fluocinolone acetonide shampoo (FS shampoo) in scalp seborrhoeic dermatitis. Journal of Dermatology Treatment. 1993;4(3):135-7. 25. Ortonne JP, Nikkels AF, Reich K, Olivera RMP, Lee JH, Kerrouche N, et al. Efficacious and safe management of moderate to severe scalp seborrhoeic dermatitis using clobetasol propionate shampoo 0Æ05% combined with ketoconazole shampoo 2%: a randomized, controlled study. BJD. 2011;165:171-6. 26. Emtestam L, Svensson A, Rensfeldt K. Treatment of seborrhoeic dermatitis of the scalp with a topical solution of urea, lactic acid, and propylene glycol (K301): results of two double-blind, randomised, placebo-controlled studies. Mycoses. 2011:1-11. 27. Buechner SA. Multicenter, double-blind, parallel group study investigating the noninferiority of efficacy and safety of a 2% miconazole nitrate shampoo in comparison with a 2% ketoconazole shampoo in the treatment of seborrhoeic dermatitis of the scalp. Journal of Dermatology Treatment. 2014;25:226-31. 28. Brodell RT, Patel S, Venglarcik JS, Moses D, Gemmel D. The safety of ketoconazole shampoo for infantile seborrheic dermatitis. Pediatr Dermatol. 1998;15(5):406-7. 29. Wannanukul S, Chiabunkana J. Comparative study of 2% ketoconazole cream and 1% hydrocortisone cream in the treatment of infantile seborrheic dermatitis. J Med Assoc Thai. 2004;87:68-71.

Dermatologi Non Infeksi

20

VII.

Bagan Alur Algoritme tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah non scalp berdasarkan derajat keparahan

Penilaian keparahan DS pada daerah non skalp

Sedang/berat

Ringan

Kombinasi kortikosteroid topikal potensi sedang selama 1-2 minggu dengan AIAFp atau Antijamur topikal

Antijamur topikal atau AIAFp

Perbaikan

Tidak ada perbaikan Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi selama 2 minggu lagi

Tambahkan antijamur sistemik

Kombinasi antara dua di atas

Lanjutkan terapi sampai remisi

Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Tambahkan kortikosteroid potensi ringan selama 2 minggu dengan salah satu dari dua pengobatan di atas

Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Lanjutkan terapi dengan kortikosteroid topikal selama 2 minggu lagi

Ganti dengan kalsineurin inhibitor topikal

Dermatologi Non Infeksi

Tidak ada perbaikan Diganti dengan kalsineurin inhibitor topikal

Rujuk untuk pemeriksaan penunjang dan konsultasi mencari penyakit penyerta

21

Tatalaksana dermatitis seboroik pada daerah skalp dan berambut berdasarkan derajat keparahan

Penilaian keparahan dermatitis seboroik daerah skalp/berambut

Ringan

Sedang/berat

Sampo antijamur atau Sampo AIAFp atau Sampo selenium sulfida/ zinc pryithione/tar

Kombinasi sampo antijamur atau AIAFp dengan kortikosteroid topikal potensi lemah sampai sedang (kelas I-II) selama 4 minggu

Perbaikan

Tidak ada perbaikan

Perbaikan

Terapi dihentikan secara bertahap sampai remisi

Tambahkan kortikosteroid topikal potensi lemah sampai sedang (kelas I-II) selama 4 minggu

Terapi dihentikan secara bertahap sampai remisi

Tidak ada perbaikan

Lanjutkan sampo antijamur atau AIAFp dan tambahkan sampo kortikosteroid potensi kuat sampai sangat kuat (kelas IIIIV) 2 kali seminggu selama 2 minggu

Tidak ada perbaikan Tidak ada perbaikan Rujuk untuk pemeriksaan penunjang dan konsultasi mencari penyakit penyerta

Dermatologi Non Infeksi

Tambahkan antijamur sistemik

22

A.4 Liken Simpleks Kronikus (L28.0) I.

Definisi Liken simpleks kronikus (LSK) atau neurodermatitis1-2 sirkumskripta1 merupakan suatu peradangan kulit kronik yang sangat gatal berupa penebalan kulit dan likenifikasi berbentuk sirkumkripta, akibat garukan atau gosokan berulang.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1,2 1. Anamnesis Didapatkan keluhan sangat gatal, hingga dapat mengganggu tidur. Gatal dapat timbul paroksismal/terus-menerus/sporadik dan menghebat bila ada stres psikis.1,2 2. Pemeriksaan fisik  Lesi likenifikasi umumnya tunggal tetapi dapat lebih dari satu.dengan ukuran lentikular hingga plakat. Stadium awal berupa eritema dan edema atau papul berkelompok. Akibat garukan terus meneur timpul plak likenifikasi dengan skuama dan eskoriasi, serta hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Bagian tengah lesi menebal, kering dan berskuama, sedangkan bagian tepi hiperpigmentasi.1-3  Predileksi utama yaitu daerah yang mudah dijangkau oleh tangan seperti kulit kepala, tengkuk, ekstremitas ekstensor, pergelangan tangan dan area anogenital, meskipun dapat timbul di area tubuh manapun.1-3 Diagnosis Banding 1. Dermatitis atopik dengan lesi likenifikasi1 2. Psoriasis dengan lesi likenifikasi1 3. Liken planus hipertrofik1 Untuk lesi pada area inguinal/genital/perianal: 1. Liken sklerosus1 2. infeksi human papiloma virus (HPV)1 3. Tinea kruris1 Pemeriksaan Penunjang1,2 1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. 2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding. 3. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan bila gambaran klinis meragukan.

III.

Penatalaksanaan Non Medikamentosa 1. Menghindari stress psikis

Dermatologi Non Infeksi

23

Medikamentosa Prinsip: memutuskan siklus gatal-garuk.2 Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Emolien dapat diberikan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid topikal atau pada lesi di vulva dapat diberikan terapi tunggal krim emolien. 1,2,5 (C,4)  Kortikosteroid topikal: dapat diberikan kortikosteroid potensi kuat seperti salep klobetasol propionat 0,05%, satu sampai dua kali sehari. (C,4)  Calcineurin inhibitor topikal seperti salep takrolimus 0,1%, atau krim pimekrolimus 0,1% dua kali sehari selama 12 minggu.6,7 (C,4) 5 8  Preparat antipruritus nonsteroid yaitu: mentol, pramoxine, dan doxepin. (C,4) 2. Sistemik 5,6,9  Antihistamin sedatif (A,1) 5,6,9  Antidepresan trisiklik (A,1) 3. Tindakan Kortikosteroid intralesi (triamsinolon asetonid)1,10 (C,4)

IV.

V.

VI.

Edukasi 1. Siklus gatal-garuk harus diputus.1,5 2. Identifikasi riwayat psikologis yang ada sehingga pasien dapat mengurangi stres yang dialaminya.5 3. Kuku sebaiknya pendek.3 Prognosis1,2,8 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: ad bonam : ad bonam : dubia ad malam

Kepustakaan 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,editor. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012.h.184-7 2. Ingram R.J. Eczematous Disorders. Dalam : Griffiths C. Barker J. Bleiker T. Chalmers R. Creamer D. penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-9. Oxford: Blackwell; 2016.h.39.7-39.9 3. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG. Lichen simplex chronicus. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. Textbook of dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2012.h.115-16. 4. Crone AM, Stewart, EJC, Powell, Aetological factors in vulvar dermatitis. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2000;14:181-6. 5. Lynch PJ. Lichen simplex chronicus (atopic/neurodermatitis) of the anogenital region. Dermatol Ther. 2004;17:8-19. 6. Stewart KMA. Clinical care of vulvar pruritus, with emphasis on one common cause, lichen simplex chronicus. Dermatol Clin. 2010;28:669-80. 7. Goldstein AT, Parneix-Spake A, McCormick CL. Pimecrolimus cream 1% for treatment of vulvar lichen simplex chronicus: an open-label, preliminary trial. Gynecol Obstet Invest. 2007;64:1806. 8. Thomson KF, Highet AS. 5% Doxepin cream to treat persistent lichenification in a child. Clinical and experimental dermatology. Blackwell; 2001.h.100-103.

Dermatologi Non Infeksi

24

9. Sanjana VD, Fernandez RJ. Evaluation of of an antihistamine and an antidepressant for the treatment of lichen simplex chronicus. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 1992;58(6):384-7. 10. Vasistha L.K. Singh G. Neuroderatitis and intralesional steroids. Dermatologica 157. 1978.h.126-128.

VII.

Bagan Alur

Gatal, riwayat bercak dan bintik-bintik (scalp/leher (tengkuk)/ ekstremitas (ekstensor) pergelangan tangan/anogenital Papul-papul eritematosa, makula, edema, hiperpimentosa, dan likenifikasi

Steroid topikal potensi sesuai derajat inflamasi Antihistamin sedatif/nonsedatif

Sembuh

Sembuh kemudian kambuh

Kulit menebal, hiperpigmentasi, skuama

VIII. IX. X. XI.

1.

2. 3.

Steroid topikal, biasanya potensi kuat, bila perlu diberi penutup impermeable, dapat dikombinasi dengan preparat tar/emolien KS intralesi (triamsinolon asetonid) Antihistamin sedatif (hidroksizin)

Stres psikis

   

Dermatologi Non Infeksi

Serotonin selective reuptake inhibitor (Citalopram pagi hari). Antihistamin sedatif Antidepresan trisiklik malam hari Konsultasi psikiater bila diperlukan

25

A.5 Miliaria (L74.3) I.

Definisi Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang disebabkan oklusi duktus ekrin, ditandai dengan erupsi papul-vesikel, tersebar di tempat predileksi, dapat mengenai bayi, anak dan dewasa.1 Klasifikasi (berdasarkan letak sumbatan dan gambaran klinis)1,2: 1. Miliaria kristalina (sudamina): di stratum korneum 2. Miliaria rubra (prickly heat): di stratum spinosum/mid-epidermis 3. Miliaria pustulosa: di stratum spinosum/mid-epidermis 4. Miliaria profunda: di dermo-epidermal junction

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Riwayat hiperhidrosis, berada di lingkungan panas dan lembab, bayi yang dirawat dalam inkubator.1-4 2. Miliaria kristalina terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm) subkorneal, tanpa tanda radang, mudah pecah dan deskuamasi dalam beberapa hari.1-5 3. Miliaria rubra merupakan jenis tersering, vesikel miliar atau papulovesikel di atas dasar eritematosa, tersebar diskret.1-5 4. Miliaria pustulosa berasal dari miliaria rubra yang menjadi pustul.1,2 5. Miliaria profunda merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih, tanpa tanda radang.1-5 Diagnosis Banding1,2 1. Campak (morbili) 2. Erupsi obat morbiliformis 3. Eritema toksikum neonatorum 4. Folikulitis Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk diagnosis.1-5 (D,5)

III.

Penatalaksanaan Prinsip Pengobatan simtomatik dan menghindari faktor pencetus Non medikamentosa Mandi setiap kali berkeringat Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambahkan antipruritus (mentol). 4 (D,5)

Dermatologi Non Infeksi

26

2. Miliaria rubra dengan inflamasi berat dapat diberikan kortikosteroid topikal, bila terdapat infeksi sekunder: antibiotik topikal.4 (D,5) 3. Miliria profunda diberikan lanolin anhidrous, bila luas dapat diberikan isotretinoin.5,6 (C,4)

IV.

Edukasi Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi memakai sabun. Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.1-5,7,8 (C,4)

V.

Prognosis1,3,4 Quo ad vitam Quo ad sanationam Quo ad functionam

VI.

: bonam : bonam : bonam

Kepustakaan 1. Paller AS, Mancini AJ Disorders of the Sebaceous and Sweat Glands. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-4. Canada: Elsevier; 2016.h.175-92. 2. Suh KN, Keystone JS. Helminthic infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Fealey RD, Hebert AA. Disorders of the eccrine sweat glands and sweating. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012.h.946. 3. Goddard DS, Gilliam AE, Frieden IJ. Vesicobullous and erosive diseases in newborn. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2012.h.5289. 4. Coulson IH, Wilson NJE. Disorders of sweat glands. Dalam: Griffiths C, Barker J, Bleiker T, Chalmer R, Creamer D. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-9. United Kingdom: Willey Blackwell; 2016.h.94.1-19. 5. Chadwick PW, HeymannWR.Miliaria. Dalam: Lebwohl MG, berth-Jones J, Heymann WR, Coulson I, editor. Treatment of skin disease.Comprehensive Theapeutic strategies.Edisi ke-4. London: Elsevier Saunders, 2014.h.457-9 6. Kirk JF, Wilson BB, Chun W, Cooper PH. Miliaria profunda. J Am Acad Dermatol. 1996;35:54-6. 7. Carter R, Garcia AM, Souhan BE. Patients presenting with miliaria while wearing ame resistant clothing in high ambient temperatures: a case series. J Med Case Reports. 2011;5:474. 8. Haas N, Martens F, Henz BM. Miliaria crystallina in an intensive care setting. Clinical and experimental dermatology. 2004;29:32-4

Dermatologi Non Infeksi

27

VII.

Bagan Alur Papulovesikel pada daerah tertutup dan gesekan Miliaria

Miliaria kristalina (vesikel miliar, tanpa radang, mudah pecah)

Miliaria rubra (vesikel/papulo vesikel di atas dasar eritematosa

Miliaria pustulosa (vesikel menjadi pustul)

Miliaria profunda (papul, mirip folikulitis, dapat pustul

Diagnosis Banding  Campak (morbili)  Erupsi obat morbiliformis  Eritema toksikum neonatorum  Folikulitis

Nonmedikamentosa: Mandi setiap kali berkeringat Medikamentosa:  Bedak kocok mengandung kalamin, dapat ditambahkan antipruritus (mentol).  Miliaria rubra dengan inflamasi berat dapat diberikan kortikosteroid topikal, bila terdapat infeksi sekunder: antibiotik topikal. Edukasi Menghindari banyak berkeringat, pilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup. Mandi memakai sabun. Pakai pakaian tipis dan menyerap keringat.

Dermatologi Non Infeksi

28

A.6 Pitiriasis Alba (L30.5) I.

Definisi Pitiriasis alba adalah suatu kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi dengan batas tidak tegas1,2 disertai skuama putih halus (powdery white scale) pada permukaannya, yang timbul terutama di daerah wajah, diduga berhubungan dengan riwayat pajanan sinar matahari.1,3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Terutama timbul pada anak dan remaja1-3, usia antara 3 sampai 16 tahun. angka kejadian pada lelaki dan perempuan sama.2  Umumnya asimtomatik, terdapat beberapa kasus dengan keluhan gatal atau rasa terbakar.1  Faktor yang diduga sebagai pencetus: pajanan sinar matahari, frekuensi mandi, dan pajanan air panas.3  Pitiriasis alba dapat menjadi gambaran klinis dari dermatitis atopik 2,3 ringan.3 2. Pemeriksaan fisik  Perjalanan klinis terdiri dari tiga fase: o Fase pertama yaitu timbul makula berwarna merah muda1-3 dengan tepi menimbul.1,3 o Fase kedua timbul dalam beberapa minggu berupa makula hipopigmentasi dengan skuama putih halus (powdery white scale) pada permukaannya.1-3 o Fase ketiga berupa makula hipopigmentasi tanpa skuama yang dapat menetap hingga beberapa bulan/tahun.2,3 Ketiga tahap tersebut dapat ditemukan secara bersamaan. 3  Lesi umumnya berukuran 0,5-3 cm.1 Dapat berbentuk bulat, oval1,2 atau ireguler.2  Tempat predileksi utama yaitu daerah wajah, dapat pula ditemukan di leher1-3, batang tubuh, dan ekstremitas.1,2 Diagnosis Banding 1. Hipopigmentasi pasca inflamasi1,3 2. Pitiriasis versikolor1 3. Nevus depigmentosus2,3 4. Nevus anemikus3 5. Vitiligo1,2,3 6. Mikosis fungoides2,3 7. Tuberosklerosis3

Dermatologi Non Infeksi

29

Pemeriksaan Penunjang 1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. 2. Apabila diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding dengan pemeriksaan histopatologi.4 3. Pemeriksaan menggunakan lampu Wood membantu untuk memperjelas lesi. 1

III.

Penatalaksanaan Non Medikamentosa Mengurangi/hindari pajanan sinar matahari.3 Medikamentosa Prinsip: secara umum, respons pitiriasis alba terhadap terapi seringkali tidak memuaskan2,3, terutama karena lamanya waktu pemulihan pigmentasi kulit. 2 Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal 4,5  Pelembab (C,4) 3-6  Kortikosteroid potensi ringan (C,4) 7  Salep takrolimus 0,1% dua kali sehari selama 8 minggu (A,1) 8  Krim pimekrolimus 1% dua kali sehari selama 12 minggu (C,4) 7  Salep kalsitriol 0,0003% dua kali sehari selama 8 minggu (A,1) 2. Fototerapi Terapi dengan laser excimer 308 nm dua kali seminggu selama 12 minggu.9 (C,4)

IV.

Edukasi3 1. Kelainan kulit dapat berulang. 2. Hindari pajanan sinar matahari dan gunakan tabir surya.

V.

Prognosis Quo ad vitam : ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Pemulihan hipopigmentasi dapat berlangsung lama2 dan dapat mengganggu secara estetik.4 Quo ad sanationam : dubia ad bonam Penyakit dapat sembuh spontan1,3 tetapi dapat rekuren dalam beberapa tahun, dan biasanya mengilang setelah pubertas. 2,3

Dermatologi Non Infeksi

30

VI.

Kepustakaan 1. Ortonne JP, Passeron T. Vitiligo and other disorders of hypopigmentation. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier Limited; 2012.h.1081. 2. Jones JB. Eczema, lichenification, prurigo and erythroderma. Dalam: Burn T, Breathnach S, Cox N, Griffith C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology. Edisi ke-8. Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2010.h.23.27-8. 3. Lapeere H, Boone B, De Schepper S, dkk. Hypomelanoses and hypermelanoses. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. Mc Grew Hill: New York; 2012.h 807-8. 4. Jadotte YT, Janniger CK. Pityriasis alba revisited: perspectives on an enigmatic disorder of childhood. Cutis. 2011;87:66-72. 5. Bassaly M, Miale A Jr, Prasad AS. Studies on pityriasis alba: a common facial skin lesion in Egyptian children. Arch Dermatol. 1963;88:272-275. 6. Gonzalez Ochoa A, Vargas Ocampo F. Treatment of pityriasis alba with a combination of coal tar, diiodohydroxyquinolin and hydrocortisone [in Spanish]. Med Cutan Ibero Lat Am. 1980;8:69-72. 7. Cruz BM, Alvarez BT, Blanco DH, Cazares PC. Double-blind, placebo-controlled, randomized study comparing 0,0003% calcitriol with 0,1% tacrolimus ointments for the treatment of endemic pityriasis alba. Dermatol Res Pract. 2012;1:1-6. 8. Fujita WH, McCormick CL, Parneix-Spake A. An exploratory study to evaluate the efficacy of pimecrolimus cream 1% for the treatment of pityriasis alba. Int J Dermatol. 2007;46(7):700-5. 9. Al-Mutairi N, Hadad AA. Efficacy of 308-nm xenon chloride excimer laser in pityriasis alba. Dermatol Surg. 2012;38(4):604-9.

Dermatologi Non Infeksi

31

VII.

Bagan Alur 



Didapatkan lesi kulit sebagai berikut: o Fase pertama: makula berwarna merah muda dengan tepi menimbul. o Fase kedua: timbul dalam beberapa minggu berupa makula hipopigmentasi dengan skuama putih halus (powdery white scale) pada permukaannya. o Fase ketiga: makula hipopigmentasi tanpa skuama yang dapat menetap hingga beberapa bulan/tahun. Ketiga tahap tersebut dapat ditemukan secara bersamaan. Tempat predileksi utama yaitu daerah wajah, dapat pula ditemukan di leher, batang tubuh, dan ekstremitas.

Singkirkan diagnosis banding dengan:  Anamnesis  Pemeriksaan fisik  Bila meragukan: pemeriksaan laboratorium sesuai diagnosis banding dan histopatologis

Diagnosis: PITIRISIS ALBA

Terapi bersifat simtomatis, dipilih sesuai indikasi: 1. Topikal:  Pelembab  Kortikosteroid potensi ringan  Salep takrolimus 0,1% dua kali sehari selama 8 minggu  Krim pimekrolimus 1% dua kali sehari selama 12 minggu  Salep kalsitriol 0,0003% dua kali sehari selama 8 minggu 2. Fototerapi:  Terapi dengan laser excimer 308 nm dua kali seminggu selama 12 minggu 3. Kortikosteroid sistemik (prednisolon 20-60 mg/hari selama beberapa hari, kemudian tapering off) bila tidak ada respon dengan terapi topikal.

Edukasi:  Kelainan kulit dapat berulang.  Hindari pajanan sinar matahari dan gunakan tabir surya.

Dermatologi Non Infeksi

32

A.7 Pitiriasis Rosea (L.42) I.

Definisi Pitiriasis rosea adalah suatu kelainan kulit akut yang diawali dengan timbulnya makula/plak soliter berwarna merah muda dengan skuama halus (“herald patch”), kemudian dalam beberapa hari sampai beberapa minggu timbul lesi serupa dengan ukuran lebih kecil di badan dan ekstremitas proksimal yang tersusun sesuai lipatan kulit (christmas tree pattern).1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, kelompok usia 10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan.1-3  Gejala subjektif biasanya tidak ditemukan, tetapi dapat disertai gatal ringan maupun sedang.3  Kelainan kulit diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder.1-3  Timbul lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi primer, tetapi umumnya dalam waktu 2 minggu. Kadang-kadang lesi primer dan sekunder timbul secara bersamaan.1  Dapat pula ditemukan demam yang tidak terlalu tinggi atau lemah badan. 3 2. Pemeriksaan fisik  Gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa makula/plak sewarna kulit/merah muda/salmon-colored2/hiperpigmentasi1 yang berbatas tegas, umumnya berdiameter 2-4 cm1,2 dan berbentuk lonjong atau bulat.1 Bagian tengah lesi memiliki karakteristik skuama halus, dan pada bagian dalam tepinya terdapat skuama yang lebih jelas membentuk gambaran skuama kolaret.2  Lesi primer biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang-kadang ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal1 seperti paha atas atau lengan atas.3 Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis1,3 atau kulit kepala berambut.3  Erupsi simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal.1  Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda3, multipel, berukuran lebih kecil dari lesi primer1,2, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti Langer lines sehingga pada punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern.2  Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.3 3. Varian Pitiriasis rosea atipikal2,3 Pada pitiriasis rosea atipikal herald patch dapat tidak ditemukan, berjumlah lebih dari satu, atau menjadi satu-satunya manifestasi klinis. Lesi dapat terdistribusi hanya di daerah perifer, mengenai wajah, kulit kepala berambut, atau lokalisata pada regio tertentu seperti telapak tangan, telapak kaki, aksila, vulva, dan lipat paha.1 Lesi dapat berupa urtika, erythema multiforme-like, vesikuler, pustular, dan purpura.2,3

Dermatologi Non Infeksi

33

Diagnosis Banding 1. Sifilis sekunder1-3 2. Tinea korporis1,2 3. Dermatitis numularis1,2 4. Psoriasis gutata1-3 5. Pityriasis lichenoides chronica1-3 6. Pitiriasis rosea-like drug eruption1,2 3 7. Dermatitis seboroik Pemeriksaan Penunjang 1. Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. 2. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding. 3. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan pada kasus yang tidak dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis.1

III.

Penatalaksanaan Nonmedikamentosa Tidak ada Medikamentosa Prinsip: penyakit dapat sembuh spontan, penglihatan bersifat simtomatis. 1 Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal Bila gatal sangat mengganggu:  Larutan anti pruritus seperti calamine lotion.2,4 (B,1)  Kortikosteroid topikal.1-3,5 (C,3) 2. Sistemik  Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan antihistamin seperti setirizin 1x10 mg per hari.4 (B,1)  Kortikosteroid sistemik.5 (C,3)  Eritromisin oral 4x250 mg/hari selama 14 hari.6 (A,1)  Asiklovir1,4 3x400 mg/hari per oral selama 7 hari6 diindikasikan sebagai terapi pada awal perjalanan penyakit yang disertai flu-like symptoms atau keterlibatan kulit yang luas.4 (B,1)  Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B (NB-UVB) dengan dosis tetap sebesar 250 mJ/cm2 3 kali seminggu selama 4 minggu.7 (B,1)

IV.

Edukasi1-3 1. Kelainan kulit dapat sembuh sendiri. 2. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala.

Dermatologi Non Infeksi

34

V.

VI.

Prognosis Quo ad vitam : ad bonam Penyakit PR tidak memiliki komplikasi yang serius.1 Quo ad functionam : ad bonam Lesi umumnya mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-10 minggu1, dan sebagian kecil bertahan hingga 3 bulan.3 Lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi dapat terjadi.1 Quo ad sanationam : dubia ad bonam Pitiriasis rosea dapat rekuren, tetapi jarang terjadi.1

Kepustakaan 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Blauvelt A. Pityriasis Rosea. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw Hill Companies Inc; 2012.h.458-63. Wood GS, Reizner GT. Other papulosquamous disorders. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2013.h.144-6. Sterling JC. Virus infections. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010.h.33.78-81. Das A, Sil A, Das NK, Roy K. Acyclovir in pityriasis rosea: An observer‑blind, randomized controlled trial of effectiveness, safety and tolerability. Indian Dermatol Online J. 2015;6(3):181-184. Tay Y, Goh C. One-year review of pityriasis rosea at the National Skin Centre, Singapore. Ann Acad Med Singapore. 1999;28(6):829-31. Sharma PK, Yadav TP, Gautam R dkk. Erythromycin in pityriasis rosea: a double-blind, placebocontrolled clinical trial. J Am Acad Dermatol. 2000;42:241-4. Jairath V, Mohan M, Jindal N, Gogna P, Syrty C dkk. Narrowband UVB phototherapy in pityriasis rosea. Indian Dermatol Online J. 2015;6(5):326–329.

Dermatologi Non Infeksi

35

VII.

Bagan Alur

  

Makula/plak sewarna kulit/merah muda/salmon-colored/hiperpigmentasi yang berbatas tegas, umumnya berdiameter 2-4 cm, berbentuk lonjong atau bulat di bagian badan yang tertutup baju (lesi primer). Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda, multipel, berukuran lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti Langer lines sehingga pada punggung membentuk gambaran Christmas-tree pattern. Bagian tengah lesi memiliki karakteristik skuama halus membentuk gambaran skuama kolaret.

Singkirkan diagnosis banding dengan:  Anamnesis  Pemeriksaan fisik  Bila meragukan: pemeriksaan laboratorium sesuai diagnosis banding dan histopatologis

Diagnosis: PITIRISIS ROSEA

1. Prinsip: Tidak diperlukan terapi spesifik karena penyakit dapat sembuh spontan. 2. Topikal Bila gatal sangat mengganggu:  Larutan anti pruritus  Kortikosteroid topikal potensi sedang 3. Sistemik:  Apabila gatal sangat mengganggu: Antihistamin  Eritromisin per oral  Asiklovir per oral bila disertai flu-like symptoms atau keterlibatan kulit yang luas.  Dapat pula dilakukan fototerapi: narrowband ultraviolet B (NB-UVB)

Edukasi:  Kelainan kulit dapat sembuh sendiri.  Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala.

Dermatologi Non Infeksi

36

A.8 Prurigo Aktinik (L57.0) I.

Definisi Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari. Kelainan ini bersifat persisten dan jarang.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Gambaran klinis: papul atau nodul disertai ekskoriasi dan krusta dapat soliter atau berkelompok, gatal. 2. Tempat predileksi: area terpajan sinar matahari seperti dahi, pipi, dagu, telinga, dan lengan. 3. Rasio perempuan:lelaki adalah 2:1. 4. Awitan pada anak terutama usia 10 tahun. 5. Riwayat penyakit prurigo aktinik dalam keluarga. Diagnosis Banding1 1. Polymorphic light eruption 2. Dermatitis atopik 3. Dermatitis seboroik 4. Insect bites 5. Prurigo nodularis Pemeriksaan Penunjang 1. Histopatologi: akantosis, spongiosis, eksositosis di epidermis disertai infiltrat limfohistiositik.1 2. Cutaneous phototesting.1,5

III.

Penatalaksanaan Prinsip: fotoproteksi dan antiinflamasi.1,3 Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Tabir surya1-5 (C,3)  Kortikosteroid potensi kuat untuk mengatasi inflamasi dan gatal1,3-5,6 (C,3)  Fototerapi NB-UVB atau PUVA1,3,5,7,8 (C,3)  Takrolimus atau pimekrolimus1 (D,5) 2. Sistemik  Imunosupresif misalnya kortikosteroid, azatioprin1,3,5,8 (C,4)  Pentoksifilin9 (C,4)  Tetrasiklin dan vitamin E5,10 (C,4)

IV.

Edukasi Menghindari pajanan sinar matahari.1-5 (C,3)

Dermatologi Non Infeksi

37

V.

Prognosis Penyakit cenderung kronik dan dapat persisten hingga dewasa, namun resolusi spontan dapat terjadi saat akhir usia remaja.1-3 (D,5) Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1. Vandergriff TW, Bergstresser PR. Abnormal responses to ultraviolet radiation: idiopathic, probably immunologic, and photoexacerbated. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012.h.1053-5. 2. Lim HW, Hawk JL. Photodermatologic disorders. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier; 2013.h.1470-1. 3. Paller AS, Mancini AJ. Photosensitivity and photoreactions. Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology. Edisi ke-5. Edinburgh: Elsevier; 2016.h.452-3. 4. Hawk JL, Young AR, Fergusson J. Cutaneous photobiology. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. Edisi ke-8. United Kingdom: Willey Blackwell; 2010.h.29.13-5. 5. Dawe RS. Actinic prurigo: (synonyms: hereditary polymorphic light eruption of American Indians, Hutchinson’s summer prurigo, photodermatitis in North American Indians).Dalam: Lebwohl MG, Hetmann WR, Jones JB, Coulson I, editors. Treatment of skin disease. Edisi ke4. China: Elsevier Sauders; 2014.h.18-20. 6. Lane PR, Moreland AA, Hogan DJ. Treatment of actinic prurigo with intermittent shortcourse topical 0.05% clobetasol 17-propionate: a preliminary report. Arch Dermatol 1990;126:1211–13. 7. Collins P, Ferguson J. Narrow-band UVB (TL-01) phototherapy: an effective preventative treatment for the photodermatoses. Br J Dermatol. 1995;132:956–63. 8. Ker KJ, Chong WS, Theng CS. Clinical characteristics of adult-onset actinic prurigo in Asians: A case series. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2013;79:783-8. 9. Pentoxifylline in the treatment of actinic prurigo: a preliminary report of 10 patients. TorresAlvarez B, CastanedoCazares JP, Moncada B. Dermatology. 2004; 208:198–201. 10. Duran MM, Ordonez CP, Prieto JC, Bernal J. Treatment of actinic prurigo in Chimila Indians. Int J Dermatol. 1996;35:413–6.

Dermatologi Non Infeksi

38

VII.

Bagan Alur



 

Erupsi papular atau nodular disertai ekskoriasi dan gatal terutama di area yang terpajan sinar matahari yang persisten Biasa pada anak usia 10 tahun Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (+) Tidak

Ya

Prurigo aktinik

Diagnosis banding: 1. Polymorphic light eruption 2. Dermatitis atopik 3. Dermatitis seboroik 4. Insect bites 5. Prurigo nodularis.

Prinsip: fotoproteksi dan antiinflamasi 1. Topikal:  Tabir surya

 Kortikosteroid potensi kuat  Fototerapi NB-UVB atau PUVA  Takrolimus atau pimekrolimus 2. Sistemik:  Imunosupresif misalnya kortikosteroid, azatioprin  Pentoksifilin  Tetrasiklin dan vitamin E

Dermatologi Non Infeksi

39

A.9 Prurigo Nodularis (L28.1) I.

Definisi Kelainan kronik ditandai nodus hiperkeratotik dan gatal akibat garukan berulang yang dapat terjadi pada semua usia, terutama usia 20-60 tahun.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1,2 1. Lesi berupa nodul diameter 0,5-3 cm, permukaan hiperkeratotik 2. Sangat gatal 3. Predileksi: ekstensor tungkai, abdomen, sakrum 4. Berhubungan dengan dermatitis atopik Diagnosis Banding1,2 1. Perforating disease 2. Liken planus hipertrofik 3. Pemfigoid nodularis 4. Prurigo aktinik 5. Keratoakantoma multipel Pemeriksaan Penunjang1,2 1. Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, hati dan tiroid untuk mengetahui kelainan penyebab gatal 2. Rontgen thoraks 3. Tes HIV 4. Histopatologi

III.

Penatalaksanaan Prinsip: menghambat siklus gatal-garuk dan mengatasi kemungkinan penyakit sistemik yang mendasari pruritus.1-3 Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Kortikosteroid dengan oklusi (dengan pengawasan dokter)3,4 (B,3) atau kortikosteroid superpoten3 (C,3)  Kalsipotriol5 (A,1)  Antipruritus non steroid, misalnya capsaicin3,6 (C,3), mentol, dan fenol1,2 (D,5)  Emolien1,2 (D,5)  Takrolimus1-3,7 (C,4) 2. Sistemik  Antihistamin sedatif1-3 (C,4) atau antidepresan trisiklik1,2 (D,5)  Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)1,2 (D,5)  Siklosporin3,8 (C,4) 3. Tindakan  Triamsinolon asetonid intralesi1,3 (C,4)  Bedah beku1,3,9 (C,4)

Dermatologi Non Infeksi

40



Fototerapi: broad band3,10 (C,4) atau narrow band ultraviolet B3,11(B,2), psoralen dengan ultraviolet A (PUVA)3,12 (B,1), dan fototerapi A-11,13(C,4)

IV.

Edukasi Hindari menggaruk lesi, kuku tangan dijaga tetap pendek.1-2

V.

Prognosis1,3 (C,3) Penyakit cenderung berjalan kronik dan persisten. Eksaserbasi dapat dipicu oleh stress emosional. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad malam

VI.

Kepustakaan 1. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies Inc; 2012.h.184-7. 2. Weisshar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Croplay TG. Pruritus and dysesthesia. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. New York: Elsevier;2012.h.114-5 3. Payne CR. Prurigo nodularis. Dalam: Lebwohl MG, Hetmann WR, Jones JB, Coulson I, editor. Treatment of skin disease. Edisi ke-4. China: Elsevier Sauders, 2014.h.615-8. 4. Saraceno R, Chiricozzi A, Nistico SP, Tiberti S, Chimenti S. An occlusive dressing containing betamethasone valerate 0.1% for the treatment of prurigo nodularis. J Dermatolog Treat 2010; 21:363–6. 5. Wong SS, Goh CL. Double-blind, right/left comparison of calcipotriol ointment and betamethasone ointment in the treatment of Prurigo nodularis. Arch Dermatol. 2000;136:807-8. 6. Stander S, Luger T, Metze D. Treatment of prurigo nodularis with topical capsaicin. J Am Acad Dermatol 2001;44:471–8. 7. Edmonds EV, Riaz SN, Francis N, Bunker CB. Nodular prurigo responding to topical tacrolimus.Br J Dermatol. 2004;150:1216-7. 8. Berth-Jones J, Smith SG, Graham-Brown RAC. Nodular prurigo responds to cyclosporine. Br J Dermatol. 1995;132:795-9. 9. Waldinger TP, Wong RC, Taylor WB, Voorhees JJ. Cryotherapy improves prurigo nodularis. Arch Dermatol. 1984;120:1598-600. 10. Sorenson E, Levin E, Koo J, Berger TG. Successful use of a modified Goeckerman regimen in the treatment of generalized prurigo nodularis. J Am Acad Dermatol. 2015;72(1):40-2. 11. Tamagawa-Mineoka R, Katoh N, Ueda E, Kishimoto S. Narrow-band ultraviolet B phototherapy in patients with recalcitrant nodular prurigo. J Dermatol. 2007;34(10):691-5. 12. Hammes S, Hermann J, Roos S, Ockenfels HM. UVB 308-nm excimer light and bath PUVA: combination therapy is very effective in the treatment of prurigo nodularis. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(7):799-803. 13. Bruni E, Caccialanza M, Piccinno R. Phototherapy of generalized prurigo nodularis. Clin Exp Dermatol. 2010;35(5):549-50.

Dermatologi Non Infeksi

41

VII.

Bagan Alur

 

Nodul hiperkeratotik, gatal Predileksi: ekstensor tungkai, sakrum

 

Riwayat tusukan dan garukan berulang Riwayat dermatitis atopik

abdomen,

Prurigo nodularis

Prinsip: mencegah siklus gatal-garuk 1. Topikal:

2.



Kortikosteroid dengan oklusi atau superpoten



Kalsipotriol



Antipruritus nonsteroid misalnya capsaicin, mentol dan fenol



Emolien

 Takrolimus Sistemik: 

Antihistamin sedatif atau antidepresan trisiklik



Sedating serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)



Talidomid

 Siklosporin 3. Triamsinolon asetonid intralesi 4. Bedah beku 5. BB-UVB, NB-UVB, PUVA, fototerapi UVA1

Dermatologi Non Infeksi

42

A.10 Pruritic Urticaria Papule and Plaque In Pregnancy (O26.8) I.

Definisi Dermatosis dengan gejala pruritus yang terjadi terutama pada primigravida dalam trimester akhir kehamilan.1 Sinonim: polymorphic eruption of pregnancy (PEP).1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis:  Terutama pada primigravida1, dan terjadi dalam trimester ketiga kehamilan.1,2 (B,3)  Dapat pula terjadi pada awal kehamilan atau atau segera setelah melahirkan.1  Erupsi dimulai di abdomen yaitu di dalam area striae gravidarum. 1  Pruritus biasanya timbul pararel dengan timbulnya erupsi, gatal yang berat dapat mengganggu tidur.1  Kelainan kulit dapat meluas ke paha, bokong, payudara dan lengan atas. 1,3 2. Pemeriksaan fisik  Predileksi pada abdomen, secara klasik lesi terdapat di dalam area striae gravidarum (pada kulit yang teregang). Dapat ditemukan perluasan lesi di paha, bokong, payudara dan lengan atas. Daerah periumbilikal biasanya tidak terdapat lesi.1  Lesi bersifat polimorfik, berupa lesi urtikaria, vesikular, purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa.1  Lesi tipikal berupa papula urtikarial berukuran 1-2 mm di kelilingi halo pucat1,3, yang dapat menyatu membentuk plak.3 Diagnosis Banding 1. Paling sering: pemfigoid gestasionis, atopic eruption of pregnancy, dermatitis kontak1 2. Pertimbangkan: erupsi obat, eksantem viral, pitiriasis rosea, dermatitis eksfoliativa atau ekzematosa1 3. Singkirkan: skabies1 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium: tidak menunjukkan abnormalitas.1 2. Pemeriksaan histopatologis dilakukan bila diagnosis meragukan, dan dapat ditemukan gambaran parakeratosis, spongiosis, dan kadang-kadang eksositosis eosinofil.1

Dermatologi Non Infeksi

43

III.

Penatalaksanaan Non Medikamentosa Untuk mengurangi gejala diberikan pelembap.3-6 (C,4) Medikamentosa Prinsip: Terapi bersifat simtomatis, walaupun dapat terjadi remisi dalam beberapa hari atau minggu.3-5 (C,3). Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Kortikosteroid topikal potensi rendah sampai dengan medium.3,7 (C,4) 2. Sistemik 3,4,6  Antihistamin anti H1 generasi pertama. (C,4)  Pada kasus PUPPP yang tidak ada respon dengan terapi topikal: kortikosteroid sistemik (prednisolon 20-60 mg/hari selama beberapa hari, kemudian tapering off).3,8 (C,3)

IV.

Edukasi Edukasi bahwa penyakit ini tidak membahayakan ibu maupun bayi dan dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu setelah melahirkan tanpa meninggalkan gejala sisa.1,3

V.

Prognosis Quo ad vitam : ad bonam PUPPP tidak memengaruhi morbiditas atau mortalitas bayi dan ibu. 1,3 Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam Dapat terjadi remisi spontan dalam beberapa hari setelah melahirkan. 1 Rekurensi jarang terjadi pada kehamilan berikutnya, tapi apabila terjadi cenderung tidak parah dibandingkan episode pertama.3,4

VI.

Kepustakaan 1. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in pregnancy. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. ed. 8. editor. Mc Grew Hill: New York, 2012.h.1204-12. 2. Regnier S, Fermand V, Levy P, Uzan S, Aractingi S. A case-control of polymorphic eruption of pregnancy. J Am Acad Dermatol. 2008;58:63-7. 3. Brandao P, Sousa-Faria B, Marinho C, Vieira-Enes P, Melo A, et al. Polymorphic eruption of pregnancy: review of literature. J Obstet Gynaecol. 2016:1-4. 4. Ahmadi S, Powell FC. Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy: current status. The Australasian Journal of Dermatology. 2005;46:53-58. 5. Rudolph CM, Al-Fares S, Vaughan-Jones SA, Mullegger RR, Kerl H, Black MM. Polymorphic eruption of pregnancy: clinicopathology and potential trigger factors in 181 patients. The British Journal of Dermatology. 2006;154:54-60. 6. Teixeira V, Coutinho I, Gameiro R, Vieira R, Gonc¸alo M. [Specific dermatoses of pregnancy]. Acta M_edica Portuguesa. 2013;26:593-600. 7. Scheinfeld N. Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy wholly abated with one week twice daily application of fluticasone propionate lotion: a case report and review of the literature. Dermatology Online Journal. 2008;14(4).

Dermatologi Non Infeksi

44

8. Ambros-Rudolph CM, Mullegger RR, Vaughan-Jones SA, Kerl H, Black MM. The specific dermatoses of pregnancy revisited and reclassified: results of a retrospective two-center study on 505 pregnant patients. Journal of the American Academy of Dermatology. 2006;54:395-404.

VII.

Bagan Alur

Wanita Hamil

Ditemukan lesi berupa:  Papula urtikarial berukuran 1-2 mm  Vesikular, purpurik, polisiklik, targetoid, atau ekzematosa Lokasi lesi:  Pada abdomen, secara klasik lesi terdapat di dalam area striae gravidarum Gejala subjektif:  Sangat gatal

Singkirkan diagnosis banding dengan:  Anamnesis  Pemeriksaan fisik  Bila meragukan: pemeriksaan laboratorium sesuai diagnosis banding dan histopatologis

Diagnosis: PRURITIC URTICARIA PAPUL AND PLAQUE IN PREGNANCY (PUPP)

Terapi bersifat simtomatis: 1. Topikal:  Pelembap  Kortikosteroid topikal potensi rendah sampai dengan medium 2. Sistemik:  Antihistamin anti H1 generasi pertama.  Kortikosteroid sistemik (prednisolon 20-60 mg/ hari selama beberapa hari, kemudian tapering off) bila tidak ada respon dengan terapi topikal.

 

Edukasi: Penyakit ini tidak membahayakan ibu maupun bayi. Dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu setelah melahirkan tanpa meninggalkan gejala sisa.

Dermatologi Non Infeksi

45

DERMATOLOGI INFEKSI B.1

Creeping eruption (Hookworm-related cutaneous larva migrans)

B.2

Dermatofitosis

B.3

Hand-Foot-Mouth Disease

B.4

Herpes zoster

B.5

Histoplasmosis

B.6

Kandidiasis/kandidosis

B.7

Kriptokokosis

B.8

Kusta

B.9

Kusta: Reaksi

B.10 Kusta: Fenomena Lusio B.11 Kusta: Relaps B.12 Malassezia folikulitis B.13 Mikosis profunda B.14 Moluskum kontagiosum B.15 Penisiliosis B.16 Pioderma B.17 Pitiriasis versikolor B.18 Skabies B.19 Staphylococcal scalded-skin syndrome (SSSS) B.20 Toxic shock syndrome (TSS) B.21 Tuberkulosis kutis B.22 Varisela B.23 Veruka

Dermatologi Infeksi

46

B.1 Creeping Eruption (Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans) (B76.9) I.

Definisi Penyakit yang disebabkan oleh cacing tambang yang seharusnya hidup pada hewan, contohnya Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, Uncinaria stenocephala, Bunostomum phlebotomum.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1-5 1. Lesi kulit biasanya muncul dalam 1-5 hari setelah pajanan berupa plak eritematosa, vesikular berbentuk linear dan serpiginosa. Lebar lesi kira-kira 3 mm dengan panjang 15-20 cm. Lesi dapat tunggal atau multipel yang terasa gatal bahkan nyeri. 2. Predileksi kelainan ini pada kaki dan bokong. 3. Karena infeksi ini memicu reaksi inflamasi eosinofilik, pada beberapa pasien dapat disertai dengan wheezing, urtikaria, dan batuk kering. Diagnosis Banding Infestasi parasit lain yaitu gnathostomiasis, dracunculiasis, skabies, tinea korporis, herpes zoster, dermatitis venenata.1-5

III.

Penatalaksanaan Non medikamentosa Tetap menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali sehari dengan sabun.1,3,5 Medikamentosa Prinsip: mematikan larva cacing.3 Terdapat beberapa obat/tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Topikal  Salep albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari.6,7 (C,4)  Salep thiabendazol 10-15%** dioleskan 3 kali sehari selama 5-7 hari. Dapat diberikan pada anak berusia kurang dari 2 tahun atau berat badan kurang dari 15 kg.6,8 (C,4) 2. Sistemik  Albendazol 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau >10 kg selama 3-7 hari berturut-turut.6,9 (C,4)  Thiabendazol 50 mg/kg/hari selama 2-4 hari.6,8 (C,4)  Ivermektin 200 µg/kg dosis tunggal, dosis kedua diberikan bila gagal. Sebaiknya tidak diberikan pada anak berusia kurang dari 5 tahun atau berat badan kurang dari 15 kg.6,10 (B,2) 3. Kombinasi Bedah beku dengan nitrogen cair atau etil klorida dapat dikombinasi albendazol.11 (B,3)

Dermatologi Infeksi

47

IV.

Edukasi12 (C,3) 1. Pada tempat endemik, gunakan pelindung berupa sepatu atau sandal. 2. Tidak duduk langsung di atas pasir/tanah atau alas yang terbuat dari bahan yang tipis. 3. Gunakan matras atau kursi sebagai alas duduk.

V.

Prognosis Penyakit ini sebenarnya bersifat swasirna setelah 1-3 bulan. Karena rasa gatal yang lama dan berat jika digaruk berisiko terjadi infeksi sekunder. 6,13 (C,3) Quo ad vitam : bonam Quo ad funtionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam

VI.

Kepustakaan 1. Suh KN, Keystone JS. Helminthic infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012.h.2544-60. 2. Bowman DD, Montgomery SP, Zajac AM, Eberhard ML, Kazacos KR. Hookworms of dogs and cats as agents of cutaneous larva migrans. Trends in Parasitology, 2010;26:162-7. 3. Sunderkötter C, von Stebut E, Schöfer H, Mempel M, Reinel D, Wolf G, et.al. S1 guideline diagnosis and therapy of cutaneous larva migrans (creeping disease). J Der Deutschen Dermatologischen Gesellschaft, 2014;12:86-91. 4. Muller ML. Pediatric cutaneous larva migran. Terakhir diperbarui 7 Oktober 2015. Tersedia di http://www.emedicine.medscape.com. 5. Kienast AK. Cutaneous larva migrans. Dalam: Irvine AD, Hoeger PH, Yan AC. Harper’s textbook of pediatric dermatology. Oxford: Blackwell publishing; 2011.h.68.1-5. 6. Lancet 2014, Dec 12. Cutaneous larva migrant. DynaMed ebscohost. Terakhir diperbarui 12 Des 2014. Tersedia dari http://www.congohealthconnection.org 7. Caumes E. Efficacy of albendazole ointment on cutaneous larva migrans in 2 young children. Clin Infect Dis. 2004;38(11):1647-8. 8. Blackwell V, Vega-Lopez F. Cutaneous larva migrans: clinical features and management of 44 cases presenting in the returning traveller. Br J Dermatol. 2001;145(3):434-7. 9. Veraldi S, Bottini S, Rizzitelli G, Persico MC. One-week therapy with oral albendazole in hookworm-related cutaneous larva migrans: a retrospective study on 78 patients. J Dermatolog Treat 2012;23:189-91 10. Caumes E, Carriere J, Datry A, Gaxotte P, Danis M, Gentilini M. A randomized trial of ivermectin versus albendazole for the treatment of cutaneous larva migrans. Am J Trop Med Hyg. 1993;49(5):641-4. 11. Kapadia N, Borhany T, Farooqui M. Use of liquid nitrogen and albendazole in successfully treating cutaneous larva migrans. J College Physicians and Surgeons Pakistan 2013;23(5): 319-21. 12. Hochedez P, Caumes E. Hookworm-related cutaneous larva migrans. J Travel Med, 2007;(14): 326-33 13. Szczecinska W, Anthony A. Cutaneous larva migrant. Dalam: Lebwohl MG, berth-Jones J, Heymann WR, Coulson I, editor. Treatment of skin disease. Comprehensive Theapeutic strategies. Edisi ke-4. London: Elsevier Saunders; 2014.h.160-1.

Dermatologi Infeksi

48

VII.

Bagan Alur

Pasien dengan lesi plak eritematosa vesikuler yang nyeri, panas, gatal

Serpiginosa

Ya

Cutaneous larva migrans

Tidak

Diagnosis banding: herpes zoster, dermatitis venenata, gnathostomiasis, dracunliasis, tinea kapitis, skabies

Tata laksana: Topikal:  Salep albendazol 10%  Salep thiabendazol 10-15% Sistemik:  Albendazol 400 mg 3-7 hari  Thiabendazol 50 mg/kg/hari selama 2-4 hari  Ivermectin 200 µg/kg dosis tunggal Kombinasi: Bedah beku dan albendazol

Dermatologi Infeksi

49

B.2 Dermatofitosis (B35) I.

Definisi Merupakan penyakit infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp., Epidermophyton sp. dan Microsporum sp).1 Terminologi “tinea” atau ringworm secara tepat menggambarkan dermatomikosis, dan dibedakan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Klasifikasi menurut lokasi: 1. Tinea kapitis (ICD 10: B35.0) 2. Tinea korporis (ICD 10: B35.4) 3. Tinea kruris (ICD 10: B35.6) 4. Tinea pedis (ICD 10: B35.3) 5. Tinea manum (ICD 10: B35.2) 6. Tinea unguium (ICD 10: B35.1) 7. Tinea imbrikata (ICD 10: B35.5)

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Tinea kapitis Terdapat tanda kardinal untuk menegakkan diagnosis tinea kapitis 2:  Populasi risiko tinggi  Terdapat kerion atau gejala klinis yang khas berupa skuama tipikal, alopesia dan pembesaran kelenjar getah bening. Tanda kardinal tersebut merupakan faktor prediksi kuat untuk tinea kapitis.2 (B,2) Anamnesis : gatal, kulit kepala berisisik, alopesia. 3 Pemeriksaan fisik : bergantung pada etiologinya.  Noninflammatory, human, atau epidemic type (“grey patch”) Inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abuabu dan tidak berkilat, rambut mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, dan berbatas tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi hijau dengan lampu Wood.1  Inflammatory type, kerion Biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik. Spektrum klinis mulai dari folikulitis pustular hingga furunkel atau kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial.1 Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri dan limfadenopati servikalis posterior. Fluoresensi lampu Wood dapat positif pada spesies tertentu.1  “Black dot” Disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik. Rambut mudah patah pada permukaan skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia. Skuama difus juga umum ditemui.1  Favus Bentuk yang berat dan kronis berupa plak eritematosa perifolikular dengan skuama. Awalnya berbentuk papul kuning kemerahan yang kemudian

Dermatologi Infeksi

50

membentuk krusta tebal berwarna kekuningan (skutula). Skutula dapat berkonfluens membentuk plak besar dengan mousy odor. Plak dapat meluas dan meninggalkan area sentral yang atrofi dan alopesia.3 2. Tinea korporis Anamnesis : ruam yang gatal di badan, ekstremitas atau wajah.4 Pemeriksaan fisik : Mengenai kulit berambut halus, keluhan gatal terutama bila berkeringat, dan secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).1,4 3. Tinea kruris Anamnesis : Ruam kemerahan yang gatal di paha bagian atas dan inguinal. Pemeriksaan fisik : Lesi serupa tinea korporis berupa plak anular berbatas tegas dengan tepi meninggi yang dapat pula disertai papul dan vesikel. Terletak di daerah inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum, perianal dan bokong. Area genital dan skrotum dapat terkena pada pasien tertentu. Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi sekunder.1 4. Tinea pedis Anamnesis : Gatal di kaki terutama sela-sela jari. Kulit kaki bersisik, basah dan mengelupas. 5 Pemeriksaan fisik :  Tipe interdigital (chronic intertriginous type) Bentuk klinis yang paling banyak dijumpai. Terdapat skuama, maserasi dan eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari lateral. Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian dorsum pedis. Oklusi dan ko-infeksi dengan bakteri dapat menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau athlete’s foot).1,5  Tipe hiperkeratotik kronik Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki, lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.” Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm. Tinea manum unilateral umumnya berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”.1,5  Tipe vesikobulosa Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul, atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. Jarang dilaporkan pada anak-anak.1,5  Tipe ulseratif akut Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam.1,5

Dermatologi Infeksi

51

5. Tinea manum Biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk:  Dishidrotik: lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada telapak tangan,jari tangan, dan tepi lateral tangan.1  Hiperkeratotik: vesikel mengering dan membentuk lesi sirkular atau iregular, eritematosa, dengan skuama difus. Garis garis tangan menjadi semakin jelas. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.1 6. Tinea unguium Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts).1 Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis:1  Onikomikosis subungual proksimal (OSP)  Onikomikosis subungual distal lateral (OSDL)  Onikomikosis superfisial putih (OSP)  Onikomikosis endoniks (OE)  Onikomikosis distrofik totalis (ODT) Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis, onikolisis, debris subungual, perubahan warna kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.1 7. Tinea imbrikata Penyakit ditandai dengan lapisan stratum korneum terlepas dengan bagian bebasnya menghadap sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris tersusun seperti susunan genting. Bila kronis, peradangan sangat ringan dan asimtomatik. Tidak pernah mengenai rambut. Diagnosis Banding 1. Tinea kapitis Dermatitis seboroik, psoriasis, dermatitis atopik, liken simpleks kronik, alopesia areata, trikotilomania, liken plano pilaris1 2. Tinea pedis dan manum Dermatitis kontak, psoriasis, keratoderma, skabies, pompoliks (eksema dishidrotik)1 3. Tinea korporis Psoriasis, pitiriasis rosea, Morbus Hansen tipe PB/ MB, eritema anulare centrifugum, tinea imbrikata, dermatitis numularis1 4. Tinea kruris Eritrasma, kandidosis, dermatitis intertriginosa, dermatitis seboroik, dermatitis kontak, psoriasis, lichen simpleks kronis1 5. Tinea unguium Kandidosis kuku, onikomikosis dengan penyebab lain, onikolisis, 20-nail dystrophy (trachyonychia), brittle nail, dermatitis kronis, psoriasis, lichen planus1 6. Tinea imbrikata Tinea korporis

Dermatologi Infeksi

52

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora.6,7 (A,1) Pengambilan spesimen pada tinea kapitis dapat dilakukan dengan mencabut rambut, menggunakan skalpel untuk mengambil rambut dan skuama, menggunakan swab (untuk kerion) atau menggunakan cytobrush.1,8,9 (B,2) Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi. 2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic): pada suhu 280C selama 1-4 minggu (bila dihubungkan dengan pengobatan, kultur tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium).6,7 (A,1) 3. Lampu Wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali M.gypsium).2 (D,5*)

III.

Penatalaksanaan Nonmedikamentosa 1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab 2. Mencegah penularan Medikamentosa Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut. Tinea kapitis 1. Topikal: tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja.2 (B,2)  Rambut dicuci dengan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 24 kali/minggu10 (B,2) atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu8 (B,2) 2. Sistemik Spesies Microsporum  Obat pilihan: griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.10-11 (A,1)  Alternatif: o Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu.9,11 (A,1) o Terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu.10-11 (A,1) Spesies Trichophyton:  Obat pilihan: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu10-11 (A,1)  Alternatif : o Griseofulvin 8 minggu9-10 (A,1) o Itrakonazol 2 minggu11-12 (A,1) o Flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu11-12 (B,1) Tinea korporis dan kruris 1. Topikal:  Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari

Dermatologi Infeksi

53



selama 1-2 minggu.13 (A,1) Alternatif Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.14-15 (A,1)

2. Sistemik: Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi  Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu1.5,18 (A,1)  Alternatif: o Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu15,18 (A,1) o Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu15,18 (A,1) o Ketokonazol 200 mg/hari15,18 (A,1) Catatan:  Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis  Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol  Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun2 (D,5*)

Tinea imbrikata  Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu.15,19 (A,1)  Griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.15,19 (A,1) Tinea pedis 1. Topikal:  Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin**) sekali sehari selama 1-2 minggu.13 (A,1)  Alternatif: o Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.14-15 (A,1) o Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis16-18 (A,1) 2. Sistemik:  Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu.16,19 (A,1)  Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama 4 minggu.15,18,20 (A,1) Tinea unguium 1. Obat pilihan: terbinafin 1x250 mg/hari selama 6 minggu untuk kuku tangan dan 12-16 minggu untuk kuku kaki.21-22 (A,1) 2. Alternatif: itrakonazol dosis denyut (2x200 mg/hari selama 1 minggu, istirahat 3 minggu) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki atau 200 mg/hari selama 2 bulan untuk kuku tangan dan minimal 3 bulan untuk kuku kaki. 21-22 (A,1)

Dermatologi Infeksi

54

IV.

Edukasi 1. Menjaga kebersihan diri.4,5 (D,5) 2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.4,5 (D,5) 3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.4,5 (D,5) 4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur.23 (D,5) 5. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi. 5 (D,5) 6. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi.4,5 (D,5) 7. Skrining keluarga2,24 (B,2) 8. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur2 (C,4) atau menggunakan disinfektan lain.2 (D,5).

V.

Prognosis Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.4 Tinea pedis menjadi kronik dan rekuren bila sumber penularan terus menerus ada. (D,5) Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam

VI.

Kepustakaan 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.3247-3264 2. Fuller LC, Barton RC, Mustapa MFM, Proudfoot LE, Punjabi SP, Higgins EM. British Association of Dermatologists’ guideline for the management of tinea capitis 2014. BJD. 2014;171:454-63. 3. Mohrenschlager M, Seidl HP, Ring J, Abeck D. Pediatric tinea capitis: Recognition and management. Am J Clin Dermatol. 2005;6(4):203-13. 4. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20. 5. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis and management of tinea infections. Am Fam Physician. 2014 Nov 15;90(10):702-10. 6. Karimzadegan-Nia M, Mir-Amin-Mohammandi A, Bouzari N, Firooz A. Comparison of Direct Smear, Culture, and Histology for The Diagnosis of Onychomycosis. Australian Journal of Dermatology. 2007;48:18-21. 7. Velasquez-Agudelo V, Cardona-Arias JA. Meta-analysis of the utility of culture, biopsy, and direct KOH examination for the diagnosis of onychomycosis. BMC Infectious Disease. 2017;17(166):1-11. 8. Ghosh SK, Ghosal L, Bhunia D, Ghosal AM. Trends in Tinea Capitis in an Irish Pediatric Population and a Comparison of Scalp Brushings Versus Scalp Scrapings as Methods of Investigation. Pediatric Dermatology. 2014;31(5):622. 9. Bonifaz A, Isa-Isa R, Araiza J, Cruz C, Hernandez MA, Ponce RM. Mycopathologia. 2007; 163:309-13. 10. Gupta AK, Drummond-Main C. Meta-analysis of randomized controlled trials comparing particular dose of griseofulvin and terbinafine for the treatment of tinea capitis. Pediatric Dermatology. 2013;30(1):1-6 11. Gonzalez U, Seaton T, Bergus G, Jacobson J, Martinez-Monzon C. Systemic antifungal therapy for tine capitis in children. Evid-Based Child Health. 2009;4:132-221.

Dermatologi Infeksi

55

12. Roberts BJ, FriedIander SF. Tinea capitis: A treatment update. Pediatric annals. 2005 Mar 1;34(3):191-200. 13. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, Riveros BS, Bernardo NLMC, Correr CJ. Efficacy of Topical Antifungals in The Treatment of Dermatophytosis: A Mixed-Treatment Comparison Metaanalysis Involving 14 Treatments. JAMA Dermatol. 2013;149(3):341-9. 14. Rotta I, Sanchez A, Goncalves PR, Otuki MF, Correr CJ. Efficacy and safety of topical antifungals in the treatment of dermatomycosis: A systematic review. BJD.2012;166:927-33. 15. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A comprehensive review. Indian dermatology online journal. 2016 Mar;7(2):77. 16. Gupta AK, Skinner AR, Cooper EA. Interdigital tinea pedis (dermatophytosis simplex and complex) and treatment with ciclopirox 0.77% gel. The International Journal of Dermatology. 2003;42(1):23-7. 17. Gupta AK, Skinner AR, Cooper EA. Evaluation of the efficacy of ciclopirox 0.77% gel in the treatment of tinea pedis interdigitalis (dermatophytosis complex) in a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. International Journal of Dermatology. 2005;44:590-3. 18. Bell-Syer SEM, Khan SM, Torgerson DJ. Oral treatments for fungal infections of the skin of the foot. The Cochrane Collaborations. 2012. 1-63. 19. Wingfield AB, Fernandez-Obragon AC, Wignall FS, Greer DL. Treatment of Tinea Imbricata: a randomized clinical trial using ggriseofulvin, terbinafine, itraconazole and fluconazole. British Association of Dermatology. 2004;150:119-26. 20. Dias MF, Quaresma-Santos MV, Bernardes-Filho F, Amorim AG, Schechtman RC, Azulay DR. Update on therapy for superficial mycoses: Review article part I. Anais brasileiros de dermatologia. 2013 Oct;88(5):764-74. 21. Madan V, Mohd Mustapa MF, Richardson M. British Association of Dermatologists' guidelines for the management of onychomycosis 2014. British Journal of Dermatology. 2014 Nov;171(5):937-58. 22. Gupta AK, Ryder JE, Johnson AM. Cumulative meta-analysis of systemic antifungal agents for the treatment of onychomycosis. British Journal of Dermatology. 2004;150:537-44. 23. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physician. 2003 Jan 1;67(1):101-8 24. White JML, Higgins EM, Fuller LC. Screening for asymptomatic carriage of Trichophyton tonsurans in household contacts of patients with tinea capitis: Results of 209 patients from South London. JEADV. 2007;21:1061-64.

Dermatologi Infeksi

56

VII.

Bagan Alur

Pasien dengan gambaran klinis dan gejala Suspek dermatofitosis Tidak

Ya

Diagnosis banding lainnya

Tinea korporis/ kruris/ imbrikata

Diagnosis Pemeriksaan klinis, mikroskopis, kultur, memastikan diagnosis

Tinea kapitis

Tinea pedis/ manum

Tinea unguium

Nonmedikamentosa  Edukasi pasien Medikamentosa  Topikal  Sistemik (mempertimbangkan luas dan berat, rekuren, rekalsitran, lokasi)

Dermatologi Infeksi

57

B.3 Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD) (B08.4) I.

Definisi Penyakit yang disebabkan enterovirus nonpolio, paling sering coxsackievirus A16 dan enterovirus 71. Selain itu dapat pula disebabkan oleh coxsackievirus A5, A7, A9, B2, dan B5. Penyakit ini umumnya ditemukan pada anak-anak.1-4

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1,4 1. Gejala yang dikeluhkan adalah demam 38-390C selama 1-2 hari, malaise, nyeri perut, dan gejala ISPA. 2. Kelainan tersering berupa lesi multipel disertai nyeri pada lidah, mukosa bukal, palatum durum, ataupun orofaring. Lesi oral diawali makula dan papul berwarna merah muda yang berkembang menjadi vesikel kecil dengan eritema di sekelilingnya. Lesi mudah terkikis dan menjadi erosi berwarna kuning keabuan dikelilingi eritema. 3. Lesi kulit muncul setelah lesi oral, terutama di telapak dan sisi tangan dan kaki, bokong, kadang genitalia eksterna serta wajah. Lesi kulit berkembang mirip dengan lesi oral. Lesi yang sudah berkrusta akan sembuh dalam waktu 7-10 hari. Diagnosis Banding1 1. Herpangina 2. Varisela 3. Erupsi obat 4. Eritema multiforme 5. Herpes gingivostomatitis Pemeriksaan Penunjang Biasanya tidak diperlukan. Jika terjadi epidemik, dapat dilakukan kultur atau PCR untuk menentukan strain.1,4

III.

Penatalaksanaan Non medikamentosa5 1. Isolasi orang yang sedang sakit. 2. Asupan cairan yang cukup untuk mencegah dehidrasi. Cairan intravena diberikan kepada pasien dengan dehidrasi atau tidak dapat makan/minum. Medikamentosa Prinsip: pengobatan bersifat suportif dan bila perlu diberikan pengobatan simtomatik.1,4,5 Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi: 1. Topikal  Lidokain topikal6 (A,1)  Interferon α2β spray memberikan hasil yang baik7 (A,1)

Dermatologi Infeksi

58

2. Sistemik Hingga saat ini belum ada antivirus yang efektif untuk HFMD. Jika terdapat demam atau nyeri dapat diberikan obat-obatan over the counter.1,4,5

IV.

Edukasi5 1. Berikan makanan yang lembut misalnya sup, mashed potato, dan es krim. 2. Menjaga higiene oral.

V.

Prognosis Penyakit ini biasanya bersifat swasirna dan jarang menimbulkan komplikasi. 5,8 (A,1) Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam

VI.

Kepustakaan 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012; h.2360-562 2. Zhang Y, Zhu Z, Yang W, Ren J, Tan X, Wang Y. et al. An emerging recombinant human enterovirus 71 responsible for the 2008 outbreak of Hand Foot and Mouth Disease in Fuyang city of China. Virology Journal 2010;7:94. 3. Wong SS, Yip CC, Lau SK, Yuen KY. Human enterovirus 71 and hand, foot and mouth disease. Epidemiol Infect 2010;138:1071-89. 4. Nervi SJ, Schwartz SA, Kapila R, Talavera F, Kerkering TM, Bronze MF. Hand, foot, and mouth disease. Medscape Reference [internet]. 15 Agustus 2016. [disitasi 20 Juni 2017]. Tersedia di://http.www.emedicine.medscape.com. 5. Minor DS, van Zuuren EJ, Erlich A. Hand, foot, and mouth disease. 29 Oktober 2016. [disitasi 20 Juni 2017]. Tersedia dari://http. web.ebscohost.com. 6. Hopper SM, McCarthy M, Tancharoen C, Lee KJ, Davidson A, Babl FE. Topical lidocaine to improve oral intake in children with painful infectious mouth ulcers: a blinded, randomized, placebo-controlled trial. Ann Emerg Med. 2014;63(3):292-9. 7. Lin H, Huang L, Zhou J, Lin K, Wang H, Xue X, et.al. Efficacy and safety of interferon-α2b spray in the treatment of hand, foot, and mouth disease: a multicenter, randomized, double-blind trial. Arch Virol. 2016;161(11):3073-80. 8. Fang Y, Wang S, Zhang L, Guo Z, Huang Z, Tu C, et.al. Risk factors of severe hand, foot and mouth disease: a meta-analysis. Scand J Infect Dis. 2014; 46(7):515-22.

Dermatologi Infeksi

59

VII.

Bagan Alur

Makula, papul eritematosa, vesikel dengan sekeliling eritema, erosi, di lidah, mukosa bukal, palatum yang terasa nyeri, didahului demam 38o 39 C

Lesi serupa di telapak tangan, kaki, bokong, kadang genitalia eksterna, wajah

Ya

HFMD

Tata laksana: Suportif dan simtomatik

Dermatologi Infeksi

Tidak

Diagnosis banding: 1. Herpargina 2. Varisela 3. Erupsi obat 4. Eritema mulforme 5. Herpes gingivostomatitis

60

B.4 Herpes Zoster (B02) I.

Definisi Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella zoster yang laten endogen di ganglion sensoris radiks dorsalis setelah infeksi primer.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Masa tunas 7-12 hari, lesi baru tetap timbul selama 1-4 hari dan kadangkadang selama ±1 minggu.1 2. Gejala prodromal berupa nyeri dan parestesi di dermatom yang terkait biasanya mendahului erupsi kulit dan bervariasi mulai dari rasa gatal, parestesi, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi, hingga rasa ditusuk-tusuk.1,2 Dapat pula disertai dengan gejala konstitusi seperti malaise, sefalgia, dan flu like symptoms yang akan menghilang setelah erupsi kulit muncul.3 3. Kelainan diawali dengan lesi makulopapular eritematosa yang dalam 12-48 jam menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema. Vesikel berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan hingga 2-3 minggu.1-3 4. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan.1-3 5. Bentuk khusus:  Herpes zoster oftalmikus (HZO): timbul kelainan pada mata dan kulit di daerah persarafan cabang pertama nervus trigeminus2  Sindrom Ramsay-Hunt: timbul gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea, juga gangguan pengecapan2 6. Neuralgia pasca herpes (NPH) didefinisikan sebagai nyeri menetap pada dermatom yang terkena setelah erupsi herpes zoster (HZ) menghilang. Batasan waktunya adalah nyeri yang menetap hingga 3 bulan setelah erupsi kulit menyembuh.1-3 Diagnosis Banding1,2 1. Herpes simpleks 2. Dermatitis venenata 3. Dermatitis kontak 4. Bila terdapat nyeri di daerah setinggi jantung, dapat salah diagnosis dengan angina pektoris pada herpes zoster fase prodromal Pemeriksaan Penunjang 1. Identifikasi antigen/asam nukleat dengan metode PCR.1 (D,5) 2. Tzank test pada fase erupsi vesikel (tidak spesifik) menunjukkan gambaran multinucleated giant cells.1 (D,5)

Dermatologi Infeksi

61

III.

Penatalaksanaan Terdapat beberapa obat yang dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1. Sistemik Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada3: (D,5*)  Usia >50 tahun  Dengan risiko terjadinya NPH  HZO/sindrom Ramsay Hunt/HZ servikal/HZ sakral  Imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi  Anak-anak, usia 4 minggu. Pasien usia lanjut dan imunokompromais membutuhkan waktu yang lebih lama untuk resolusi. Dalam studi kohort retrospektif, pasien herpes zoster yang dirawat di rumah sakit memiliki mortalitas 3% dengan berbagai penyebab.33 Tingkat rekurensi herpes zoster dalam 8 tahun sebesar 6,2%.34 Prognosis tergantung usia. 1. Usia 50 tahun dan imunokompromais: Ad vitam bonam Ad functionam dubia ad bonam Ad sanactionam dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2012;2383. 2. Maibach HI & Grouhi F. Evidence Based Dermatology. Edisi ke-2. USA: People’s Meical Publishing House; 2011.h.337-345. 3. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, et al. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2014. 4. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, et al. Recommendations for the management of herpes zoster. Clin Infect Dis. 2007;44(suppl 1):S1-S26. 5. Wood MJ, Kay R, Dworkin RH, et al. Oral acyclovir therapy accelerates pain resolution in patients with herpes zoster: a meta-analysis of placebo-controlled trials. Clin Infect Dis. 1996;22(2):341-347. 6. Ono F, Yasumoto S, Furumura M, Hamada T, Ishii N, Gyotoku T, et al. Comparisons between famciclovir and valacyclovir for acute pain in adult japanese immunocompetent patients with herpes zoster. Journal of Dermatology. 2012;39:1-7. 7. Tyring S, Barbarash RA, Nahlik JE, et al. Famciclovir for the treatment of acute herpes zoster: effects on acute disease and postherpetic neuralgia: a randomized, double-blind, placebocontrolled trial. Ann Intern Med. 1995;123:89-96. 8. Shafran SD, Tyring SK, Ashton R, et al. Once, twice, or three times daily famciclovir compared with aciclovir for the oral treatment of herpes zoster in immunocompetent adults: a randomized, multicenter, double-blind clinical trial. J Clin Virol. 2004;29:248-53. 9. Lin WR, Lin HH, Lee SSJ, et al. Comparative study of the efficacy and safety of valaciclovir versus acyclovir in the treatment of herpes zoster. J Microbiol Immunol Infect. 2001; 34:138-42. 10. Balfour H, Bean B, Laskin OL, Ambinder RF, Meyers JD, Wade JC, et al. Acyclovir halts progression of herpes zoster in immunocompromised patients. NEJM. 1983;308(24):1448-53. 11. Wutzler P, De Clercq E, Wutke K, Farber I. Oral Brivudin vs. Intravenous Acyclovir in the Treatment of Herpes Zoster in Immunocompromised Patients: A Randomized Double-blind trial. Journal of Medical Virology. 1995;46:252-7. 12. Reiff-Eldridge R, Heffner CR, Ephross SA, Tennis PS, White AD, Andrews EB. Monitoring pregnancy outcomes after prenatal drug exposure through prospective pregnancy registries: A pharmaceutical company commitment. Am J Obstet Gynecol. 2000;182(1):159-63.

Dermatologi Infeksi

64

13. Saurbrei A, Wutzler P. Herpes simplex and varicella-zoster virus infections during pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 2: Varicella-zoster virus infections. Med Microbiol Immunol. 2007;196:95-102. 14. Fashner J, Bell AL. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Prevention and Management. American Family Physician. 2011;83(12):1432-7. 15. Bowsher D. The Effects of Pre-Emptive Treatment of Post Herpetic Neuralgia with Amitriptyline: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Trial. Journal of Pain and Symptom Management. 1997;13(6):327-31. 16. Finnerup NB, Otto M, McQuay HJ, Jensen TS, Sindrup SH. Algorithm for neuropathic pain treatment: An evidence based proposal. Pain. 2005;118:289-305. 17. Colin J, Prisant O, Cochener B, Lescale O, Rolland B, Hoang-Xuan T. Comparison of the Efficacy and Safety of Valaciclovir and Acyclovir for the Treatman of Herpes Zoster Ophtalmicus. Ophtalmology. 2000:107(18):1507-11. 18. da Costa Monsanto R, Bittencourt AG, Neto NJB, Beilke SCA, Lorenzetti FTM, Salomone R. Treatment and Prognosis of Facial Palsy on Ramsay Hunt Syndrome: Results Based on a Review of the Literature. Int Arch Otolaryngol. 2016;20:394-400. 19. Ahmed AM, Brantley S, Madkan V, Mendoza N, Tyring SK. Managing herpes zoster in immunocompromised patients. Herpes. Sep 2007;14(2):32-6. 20. Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit PKUI. 2010.h110-111. 21. Plaghki L, Andriansen H, Morlion B, Lossignol D, Devulder J. Systematic Overview of the Pharmacological Management of Postherpetic Neuralgia. Dermatology. 2004;208:206-16. 22. Sabatowski R, Galvez R, Cherry DA, Jacquot F, Vincent E, Maisonobe P, et al. Pregabalin reduces pain and improves sleep and mood disturbances in patients with post-herpetic neuralgia: result of randomized, placebo-controlled trial. Pain. 2004;109:26-35. 23. Galer BS, Jensen MP, Ma T, Davies PS, Rowbotham MC. The Lidocaine Patch 5% Effectively Treats All Neuropathic Pain Qualities: Resultsof a Randomized, Double-Blind, VehicleControlled, 3-Week Efficacy Study With Use of the Neuropathic Pain Scale. The Clinical Journal of Pain. 2002;18:297-301. 24. Boureau F, Legallicier P, Kabir-Ahmadi M. Tramadol in post-herpetic neuralgia: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Pain. 2003;104:323-31. 25. Ing MR, Hellreich PD, Johnson DW, Chen JJ. Transcutaneous electrical nerve stimulation for chronic post-herpetic neuralgia. International Journal Of Dermatology. 2015; 54: 476-60. 26. Barbarisi M, Pace MC, Passavanti MB, Maisio M, Mazzariello L, Pota V, et al. Pregabalin and transcutaneous electrical stimulation for postherpetic neuralgia treatment. Clin J Pain. 2010;26:567-72. 27. Green AL, Nandi D, Armstrong G, Carter H, Aziz T. Post-herpetic trigeminal neuralgia treated with deep brain stimulation. Journal of Clinical Neuroscience. 2003;10(4):512-4. 28. Pereira EAC, Aziz TZ. Neuropathic pain and deep brain stimulation. Neurotherapeutics. 2014;11:496-507. 29. Wang S. Treatment of 30 Cases of Post-herpetic Neuralgia by Acupuncture Combined with Point Injection. J. Acupunct Tuina. Sci. 2008;8:182-3. 30. Zhang DY. Treatment of 21 cases of Post-herpetic Neuralgia by Warm Acupuncture. J. Acupunct Tuina. Sci. 2005;3(2):50-1. 31. Tseng HF, Harpaz R, Luo Y, Hales CM, Sy LS, Tartof SY, Bialek S, Hechter RC, Jacobsen SJ. Declining Effectiveness of Herpes Zoster Vaccine in Adults Aged ≥60 Years. J Infect Dis. Jun 2016;213(12);1872-5. 32. Godeaux O, Kovac M, Shu D, Grupping K, Campora L, Douha M, et al. Immunogenicity and safety of an adjuvanted herpes zoster subunit candidate vaccine in adults ≥ 50 years of age with a prior history of herpes zoster: A phase III, non-randomized, open-label clinical trial. Hum Vaccin Immunother. Jan 2017;9:1-8. 33. Schmidt SA, Kahlert J, Vestergaard M, Schonheyder HC, Sorensen HT. Hospital-based herpes zoster diagnoses in Denmark: rate, patient characteristics, and all-cause mortality. BMC Infect Dis. Mar 2016;16(99):1-9. 34. Yawn BP, Wollan PC, Kurland MJ, St Sauver JL, Saddier P. Herpes zoster reccurrences more frequent than previously reported. Mayo Clin Proc. Dec 2011;86(2):88-93.

Dermatologi Infeksi

65

VII.

Bagan Alur

Gejala & pemeriksaan fisik

Sesuai

Herpes zoster

HZO/sindrom RH/organ viseral/dengan keterlibatan motorik

Tidak

Diagnosis banding lainnya

Ya

Terapi antiviral oral Rujuk ke spesialis terkait

Tidak

Faktor risiko NPH?

Ya

Terapi antiviral oral ditambah analgesik asetaminofen + amitriptilin atau gabapentin atau pregabalin

Tidak

Terapi antiviral oral ditambah analgesik asetaminofen/NSAID

Terapi suportif  Mempertahankan lesi kulit bersih dan kering  Rasa tidak nyaman: kompres basah/dingin/losio kalamin  Infeksi sekunder: antibiotik topikal atau oral  Asiklovir topikal tidak direkomendasikan

Dermatologi Infeksi

66

B.5 Histoplasmosis (B39) I.

Definisi Histoplasmosis adalah infeksi jamur dimorfik, bisa disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum var capsulatum.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Infeksi dimulai dari infeksi paru dan biasanya asimtomatik dan swasirna pada sebagian besar pasien. Lesi kulit muncul karena terbentuk kompleks-imun pada infeksi primer atau akibat penyebaran langsung dari paru. Inokulasi langsung ke kulit sangat jarang terjadi. Walaupun asimtomatik, hasil pemeriksaan histoplasmin pada kulit akan menunjukkan hasil yang positif. 1 2. Pasien dengan histoplasmosis paru akut ditandai dengan batuk, nyeri dada, demam, nyeri sendi, dan ruam yang dapat berupa eritema toksik, eritema multiforme, atau eritema nodusum.1 3. Pasien dengan histoplasmosis progresif akut mengalami penyebaran infeksi ke berbagai organ seperti hati dan limpa. Terjadi penurunan berat badan yang cepat, hepatosplenomegali, anemia, dan lesi kulit berupa papul, nodul kecil, atau seperti moluskum kecil, serta ulkus oral atau faringeal pada pasien kronik, dapat pula ditemukan penyakit Addison jika kelenjar adrenal sudah terinfiltrasi. Paling sering terjadi pada pasien dengan AIDS.1 Diagnosis Banding1 1. Moluskum kontagiosum 2. Kriptokokosis 3. Infeksi yang disebabkan P.marneffei (Penicilliosis) 4. Blastomikosis 5. Kala-azar Pemeriksaan Penunjang1,2 (D,5) 1. Pemeriksaan sputum, darah perifer, sumsum tulang, atau spesimen biopsi untuk menemukan sel intraselular yang seperti ragi (histoplasma) 2. Kultur jika diperlukan (perlu kehati-hatian) 3. Tes serologi jika diperlukan 4. Histoplasmin skin test

III.

Penatalaksanaan Terdapat beberapa obat yang dapat dipilih sesuai dengan indikasi sebagai berikut:  Amphotericin B liposomal intravena 3 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu lebih efektif dibandingkan dengan amphotericin B deoxycholate 0,7 mg/kgBB/hari. Terapi IV tersebut dilanjutkan dengan terapi oral itrakonazol 3x200 mg selama 3 hari kemudian 2x200 mg selama paling sedikit 12 bulan untuk infeksi berat dengan penyebaran luas.3-6 (A,1)  Untuk infeksi ringan sampai sedang direkomendasikan terapi itrakonazol oral

Dermatologi Infeksi

67



3x200 mg selama 3 hari kemudian 2x200 mg selama 6-12 minggu.3,7-9 (B,2) Itrakonazol 1x200 mg/hari juga dapat digunakan sebagai profilaksis dan direkomendasikan pada pasien HIV dengan CD4 10, dengan nilai indeks keparahan area psoriasis (Psoriasis Area Severity Index/PASI) >10, disertai dengan salah satu dari 4 kriteria berikut: o Pasien yang tidak memberikan respon baik dengan minimal 2 terapi sistemik standar seperti: CsA, etretinat/asitresin, MTX, termasuk fototerapi (PUVA, UVB). o Riwayat efek samping/hipersensitivitas pengobatan sistemik. o Kontraindikasi terhadap terapi sistemik konvensional. o Pada pasien psoriasis artritis karena potensi terjadinya kerusakan sendi. 

Keadaan khusus: pada konferensi mengenai Konsensus Internasional diketahui adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi dan mengajukan proposal mengenai pasien psoriasis dengan derajat keparahan ringan (ditentukan dengan physician global assessment/PGA) yang juga dapat menjadi kandidat dari pengobatan sistemik dalam keadaan khusus, diantaranya: o Keterlibatan area luas pada kulit kepala yang tidak respon dengan obat topikal o Keterlibatan daerah yang tampak, seperti tangan (palmo plantar) dan wajah o Keterlibatan area yang resisten terhadap pengobatan topikal.

Kontraindikasi Umum Penggunaan Agen Biologik3 1. Kehamilan 2. Laktasi 3. Usia 10% luas permukaan tubuh

Terapi sistemik Lini 1: • Metotreksat • Asitretin • Siklosporin Lini 2: • Agen biologik • Mikofenolat mofetil • Sulfasalazin

Psoriasis kronis tipe plak

Sedang 3-10% luas permukaan tubuh

Fototerapi Lini 1: • NB-UVB • BB-UVB Lini 2: • PUVA

Psoriasis guttata: • Tanpa terapi • NB-UVB • BB-UVB • Terapi topikal o Analog Vit D3 o Steroid topikal

Ringan pria 3. Ras: Kaukasian > Negroid 4. Diet: karbohidrat dan lemak > 5. Olahraga: minim gerak 6. Hormonal: estrogen, prolaktin, insulin Stadium: 1. Stadium 0 : permukaan kulit rata, tes cubit 2. Stadium I : permukaan kulit masih rata saat berdiri atau berbaring, tes cubit + 3. Stadium II : permukaan kulit rata waktu berbaring namun tampak berbenjol waktu berdiri, tes cubit ++ 4. Stadium III : permukaan kulit tampak berbenjol saat tidur maupun berdiri, tes cubit +++ Diagnosis Banding2 1. Obesitas 2. Lipodistrofi

Dermatologi Kosmetik

263

Pemeriksaan Penunjang1 Biopsi

III.

Penatalaksanaan3 (A,1) 1. Massage 2. Body wrapping 3. Krim topikal:  Kafein: kadar kafein 5% selama 3 minggu dapat menurunkan lemak adipose sebanyak 15%  Visnadin, ruskogenin, escin, troxerutin  Retinoid topikal: retinol selama 6 bulan  AHA (Alpha Hidroxy Acids) 4. Subsisi 5. Liposuction 6. Lainnya: Infrared, diode laser, radiofrekuensi, mesotherapy

IV.

Edukasi1,4 1. Olahraga secukupnya 2. Diet rendah karbohidrat, lemak dan kalori

V.

Prognosis5 Quo ad vitam Quo ad sanactionam Quo ad cosmeticum Quo ad functionam

VI.

: bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

Kepustakaan 1. 2.

3. 4. 5. 6.

Gasbarro V, Vettorello GF. Treating Cellulite. Cosmetic & Toiletries. 1992;107:64-6. Vessabhinanta V, Obagi S, Singh A, Baumann L. Fat and The Subcutaneous Layer. In: Leslie Baumann. Cosmetic Dermatology. Principles and Practice. New York: McGraw-Hill Co; 2008.h.14-21. Hexsel DM, Mazzuco R. Subcision: a treatment for cellulite. International Journal of Dermatology. 2000;39:539-44. Rona C, Berardesca E. Anti Cellulite. Dalam: Cosmetics, Controlled Efficacy Studies and Regulation. Elsner P, Merk F, Maibach HI eds. Berlin: Springer; 1999.h.167-74. Cindy Wassef, Babar K. Rao: The science of cellulite treatment and its long-term effectiveness, Journal of Cosmetic and laser Therapy. 2012;14:50-58. J sheldon Artz, Melvyn I Dinner: Treatment of cellulite deformities of the thighs with the topical Amynophylline gel. can J plast surg. 1995;3(4).

Dermatologi Kosmetik

264

VII.

Bagan Alur

Pasien dengan keluhan selulit

Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang

Diagnosis

Penatalaksanaan

Non Pembedahan:

   

Massage Body wrapping Krim topikal: kafein, visnadin, ruskogenin, escin, troxerutin, retinoid topikal: retinol, AHA, aminophylin Infrared, Diode laser, radiofrekuensi, Mesotherapy.

Perbaikan

Lanjutkan terapi

Tidak ada perbaikan

Pembedahan:

1. 2.

Subsisi Liposuction

Perbaikan

Edukasi

Pembedahan

Edukasi

Dermatologi Kosmetik

265

E.5 Freckles (L.81.2) I.

Definisi Hipermelanosis superfisial berupa bercak miliar sampai lentikular, tersebar di wajah. Penyebab pasti tidak diketahui, kemungkinan memiliki predisposisi genetik dan pencetus pajanan sinar matahari. 1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1 Bercak kecoklatan miliar sampai lentikular batas tegas, ireguler, tersebar, predileksi di wajah. Diagnosis Banding1,2 1. Hiperpigmentasi pasca inflamasi 2. Melasma 3. Lentigo senilis Pemeriksaan Penunjang1,2 1. Lampu Wood 2. Biopsi

III.

Penatalaksanaan Terapi perlu waktu lama.2 Tidak dianjurkan pada ibu hamil dan menyusui.2 1. Topikal:  Tretinoin 0,025-0,1%3 (A,1)  Hidroquinon 2-5 %2 (D,5)  Asam azelaik 20%2 (D,5)  Asam kojik 4%2 (D,5)  Tabir surya: SPF minimal 152 (D,5) 2. Tindakan : 2  Bedah listrik (D,5) 3  Bedah kimia (peeling): alpha hydroxy acid (A,1), Jessner, trichloroacetic acid  Bedah Laser: o Q switched Alexandrite4 (A,1) o Q switched Nd:Yag dengan panjang gelombang 532 nm2 (D,5)

IV.

Edukasi1,2 1. Hindari pajanan langsung sinar matahari terutama antara pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. 2. Gunakan tabir surya berspektrum luas dengan SPF minimal 30 bila keluar rumah. 3. Menghilangkan faktor pencetus.

Dermatologi Kosmetik

266

V.

VI.

Prognosis2 Quo ad vitam Quo ad sanactionam Quo ad functionam Quo ad kosmetikum

: ad bonam : dubia ad malam : dubia ad bonam : dubia ad malam

Kepustakaan 1. Park HY, Yaar M. Disorder of Melanocytes: Biology of Melanocytes. Dalam: Lowell AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, Klaus W, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Edisi ke-8. United State: McGraw-Hill Companies; 2012.h.847-9 2. Bishop JAN. Lentigos, Melanocytic Naevi and Melanoma: The freckle or ephelis. Dalam: Tony B, Stephen B, Neil C, Christoper G, editors. Rook’s Textbook of Dermatology 8 th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2010.h.54.1-3 3. Qadim H, Nejad S, Golfroushan F, Azimi H, Azadi A. Comparison of the efficacy of 0.05% tretinoin with 7% alpha-hydroxy acid cream in the treatment of ephelides: A controlled clinical trial. JDC. 2013;137-142. 4. Wang C, Sue Y, Yang C, Chen K. A comparison of Q-switced alexandrite laser and intense pulsed light for the treatment of freckles and lentigines in Asia person, A randomized, physicianblinded, split face, comparative trial. J Am Acad Dermatol. 2004;804-810.

Dermatologi Kosmetik

267

VII.

Bagan Alur

Pasien dengan keluhan freckles

DIAGNOSIS Apakah anamnesis & gambaran klinis Sesuai freckles

Tida k

Diagnosis banding

Ya

 



Dermatologi Kosmetik

Edukasi pasien Farmakoterapi: o Tabir surya o Tretinoin o Asam alfa hidroksi o Hidroquinon o Asam azeleat o Asam kojik Tindakan lain: o Bedah kimia o Laser o Bedah listrik, dll

268

E.6 Hiperhidrosis (L.74.8) I.

Definisi Produksi keringat dari kelenjar ekrin yang berlebihan selama minimal 6 bulan.1 Jenis: 1. Hiperhidrosis primer: tanpa sebab yang jelas dan tidak dihubungkan dengan penyakit sistemik. 2. Hiperhidrosis sekunder: kelainan produksi keringat disebabkan penyakit sistemik, dapat bersifat dapat lokal atau umum.

II.

Kriteria Diagnostik Klinis10 1. Fokal, tampak keringat berlebih 2. Berlangsung lebih dari 6 bulan 3. Tidak ditemukan penyebab sistemik (primer) Dapat pula ditemukan penyebab sistemik (sekunder) 4. Setidaknya dua dari hal berikut:  Bilateral dan simetris  Berkeringat mengganggu kegiatan sehari-hari  Paling sedikit satu episode per pekan  Awitan usia 200 mm, tipe tidak homogen, kehadiran dari C. albicans, adanya displasia epitel.

Tumor Kulit

298

Kepustakaan 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor.Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke8. Philadelphia : Lippincott-Roven, 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2008. 3. Kayalvizhi E, Lakshman G, Yoga S,Kanmani R, Megalai. Oral Leukoplakia: A review and its update. Journal of Medicine Radiology, Pathology & surgery. 2016:2(2):18-22.

Tumor Kulit

299

F.3 Penyakit Bowen (D00-D09) I.

Definisi Penyakit Bowen (PB) atau KSS in situ pada kulit merupakan penyakit neoplasia sel keratinosit terbatas pada epidermis yang dihubungkan dengan pajanan sinar ultraviolet, arsenik, radiasi pengion, dan infeksi HPV. 1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Eritematosa Tipe tersering, berbentuk plak eritematosa sirkumskrip hingga iregular, disertai skuama kasar, krusta kekuningan, yang membesar perlahan. Sepintas dapat menyerupai plak psoriasis atau dermatitis, namun pada PB akan refrakter terhadap terapi kortikosteroid.1 2. Hiperkeratotik/verukosa Tipe ini tampak berupa plak eritematosa tertutup hiperkeratosis atau permukaannya verukosa.1 3. Pigmented PB pigmented akan tampak berupa plak eritematosa disertai hiperpigmentasi kecoklatan difus pada sebagian atau seluruh permukaan lesi, dapat disertai skuama atau hiperkeratosis fokal.1,3 4. Intertriginosa Gambaran plak eritematosa madidans menyerupai dermatitis. 1 5. Subungual/periungual Gambaran plak tipis eritematosa di sekitar margin kutikula kuku, disertai skuama, dapat ditemukan erosi dan krusta kekuningan. Kuku dapat terlibat dan mengalami perubahan berupa longitudinal melanonikia, nail bed hyperkeratosis, destruksi kuku, dan onikolisis.1,4 Diagnosis Banding Diagnosis banding PB, antara lain:1,3,4 1. Tipe eritematosa: KSB superfisial, keratosis seboroik teriritasi, dan KSS invasif. 2. Tipe hiperkeratotik/verukosa: veruka vulgaris, keratosis seboroik, diskoid lupus eritematosus, liken planus hipertrofik, dan KSS invasif. 3. Tipe pigmented: pigmented KA, liken planus-like keratosis, melanoma, dan bowenoid papulosis. 4. Tipe intertriginosa: dermatitis seboroik, psoriasis inversa, kandidosis intertriginosa, penyakit Paget, dan penyakit Hailey-Hailey. 5. Tipe subungual/periungual: nail matrix nevus, melanoma maligna, infeksi jamur atau HPV, dan karsinoma sel skuamosa.

Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi Dotted glomerular vessels yang berkelompok dan fokal, disertai surface scales putih atau kekuningan, pada red-yellowish background.5 Pada PB pigmented

Tumor Kulit

300

dapat ditemukan brown-gray dots dengan distribusi linear atau fokal.3 Bila ditemukan multiple atypical (polymorphous) vessel dan struktur white circle maka perlu dicurigai adanya kemungkinan perubahan menjadi KSS invasif.5 2. Histopatologi Ditemukan sel keratinosit atipik disertai mitosis abnormal dan diskeratosis pada seluruh lapisan epidermis. Sel tersebut memenuhi/prominen di daerah intraepidermal kelenjar pilosebasea (akrotrikia, infundibulum folikel, dan kelenjar sebasea).6

III.

Penatalaksanaan Medikamentosa 1. 5-Fluorourasil** (B,1)9 2. Imiquimod** (B,1)9 Tindakan 1. PDT dengan ALA/MAL9** (A,1) 2. Bedah beku9 (B,1) 3. Bedah listrik dengan kuretase10 (B,4) 4. Bedah eksisi10,11 (B,4) 5. Laser ablasi12,13 (C,4) 6. Bedah mikrografik Mohs11,14 (C,4) 7. Radioterapi10,15 (C,4) Catatan: **Menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan

IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pencegahan terhadap sinar matahari 3. Penyakit Bowen terutama muncul pada tempat yang terpajan sinar matahari.7 4. Pemakaian tabir surya8 (B,3)  dianjurkan dari penelitian kanker kulit nonmelanoma. 5. Suplementasi vitamin D8 (B,3) 6. Pilihan terapi dan efek samping

V.

Prognosis Qua ad vitam : dubia-dubia ad bonam Qua ad fuctionam : dubia-dubia ad malam Qua ad sanactionam : dubia-dubia ad malam Sebanyak 3-5% penyakit ini dapat berubah menjadi karsinoma yang invasif.

Tumor Kulit

301

VI.

Kepustakaan 1. Duncan KO, Geisse JK, Leffel DJ. Epithelial precancerous lessions. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies; 2012.h.1261-76. 2. Harwood CA, Surentheran T, McGregor JM, Spink PJ, Leigh IM, Breuer J, dkk. Human papillomavirus infection and non-melanoma skin cancer in immunosuppressed and immunocompetent individuals. J Med Virol. 2000;61:289-97. 3. Cameron A, Cliff Rosendahl C, Tschandi P, Riedl E, Kittler H. Dermatoscopy of pigmented Bowen’s disease. J Am Acad Dermatol. 2010;62:597-604. 4. Ohishi K, Nakamura Y, Ohishi Y, Yokomizo E, Ohara K, Takasaki M, dkk. Bowen’s disease of the nail apparatus and association with various high-risk human papillomavirus types. J Dermatol Sci. 2011;63:62-72. 5. Lallas A, Argenziano A, Zendri E, Moscarella E, Longo C, Grenzi L, dkk. Update on nonmelanoma skin cancer and the value of dermoscopy in its diagnosis and treatment monitoring. Expert Rev Anticancer Ther. 2013;13(5):541-58. 6. Röewert-Huber J, Stockfleth E, Kerl H. Pathology and pathobiology of actinic (solar) keratosis an update. Br J Dermatol 2007; 157(Suppl. 2):18–20. 7. Kossard S, Rosen R. Cutaneous Bowen’s disease: An analysis of 1001 cases according to age, sex, and site. J Am Acad Dermatol.1992;27:406-10. 8. Ulrich C, Jurgensen JS, Degen A, Hackethal M, Ulrich M, Patel MJ, dkk. Prevention of nonmelanoma skin cancer in organ transplant patients by regular use of a sun-screen: a 24 months, prospective, case-control study. Br J Dermatol. 2009;161:78–84. 9. Bath-Hextall FJ, Matin RN, Wilkinson D, Leonardi-Bee J. interventions for cutaneous Bowen’s disease. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013. Issue 6. Art. No.: CDOO7281. 10. Stevens DM, Kpof AW, Gladstein A, Bart RS. Treatment of Bowen’s disease with granz rays. Int J Dermatol.1977;16:329-39. 11. Hansen J, Drake AL, Wailing HW. Bowen’s disease: A four years retrospective review of epidemiology and treatment at a university center. Dermatol Surg. 2008;34:878-83. 12. Tantikun N. Treatment of Bowen’s disease of the digit with carbon dioxide laser. J Am Acad Dermatol. 2000;43:1080-3. 13. Gordon KB, Garden JM, Robinson JK. Bowen’s disease of the distal digit. Outcome of treatment with carbon dioxide laser vaporization. Dermatol Surg. 1996;22:273-8. 14. Leibovitch I, Huilgol SC, Selva D, Richards S, Paver R. Cutaneous squamous carcinoma in situ (Bowen’s disease): Treatment with Mohs micrographic surgery. J Am Acad Dermatol. 2005;52:997-1002. 15. Cox NH, Dyson P. wound healing on the lower leg after radiotherapy or cryotherapy of Bowen’s disease and other malignant skin lesions. Br J Dermatol. 1995;133:60-5.

Tumor Kulit

302

F.4 Siringoma (D23.9) I.

Definisi Tumor jinak adneksa yang terbentuk dari elemen duktus berdiferensiasi ke arah eccrine acrosyringium.2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis2 1. Papul multipel, padat, sewarna kulit atau agak kekuningan 2. Pada wajah terutama kelopak mata bawah 3. Lebih sering pada wanita dewasa 4. Siringoma eruptif, ditandai dengan papul multipel, diseminata, kadang berkonfluens terutama pada tubuh bagian setengah atas biasanya mengenai gadis pubertas atau dewasa muda Diagnosis Banding2 1. Trikoepitelioma 2. Hiperplasia sebasea 3. Steatosistoma multiplex Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan histopatologi: pada dermis ditemukan gambaran duktus ekrin multipel menyerupai tanda koma (comma-like) atau tadpoles.1

III.

Penatalaksanaan Non medikamentosa 1. Elektrokauter (bedah listrik) (A,1) 2. Bedah laser (B,2) 3. Bedah eksisi (D,5) 4. Dermabrasi (D,5) Medikamentosa Isotretinoin oral, terutama untuk tipe eruptif

IV.

V.

Edukasi 1. Perjalanan penyakit 2. Tatalaksana 3. Prognosis

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

Tumor Kulit

: bonam : bonam : dubia ad bonam 303

VI.

Kepustakaan 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor.Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke8. Philadelphia : Lippincott-Roven, 1977. 2. Taylor R Stan, Perone Jennifer B. Appendage Tumors and Hamartoma of the Skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2008; 1076-77 3. Langtry James AA. Carruthers A. True Electrocautery in the Tretment of Syringomas and other Benign Cutaneous Lesions. Dalam: Journal Cutan Med Surg. 1997 July. 2(1); 60-63.

VII.

Bagan Alur

Papul, multipel, sewarna kulit pada wanita Pada kelopak mata bawah

   

Elektrokauter Bedah laser Bedah eksisi Dermabrasi

Pada tubuh bagian setengah atas

Diagnosis histopatologi

Isotretinoin

Tumor Kulit

304

F.5 Trikoepitelioma (D23.9) I.

Definisi1 Tumor jinak folikel rambut, merupakan varian dari trikoblastoma.

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1 Terdiri dari 3 bentuk, yaitu: 1. Soliter Terutama papul, kecil (diameter 5-8 mm), sewarna kulit. Lokasi pada wajah terutama sekitar hidung, bibir atas dan pipi. Kadang lesi juga timbul pada badan, leher, dan skalp. Dapat membesar terutama pada paha dan regio perianal. Sering ditemukan pada pasien usia lanjut. 2. Multipel Biasa timbul pada remaja, pada sindrom Brooke-Spiegler, berupa papul padat, mengkilat dalam jumlah banyak pada wajah dengan predileksi di bibir atas, lipatan nasolabial dan kelopak mata. Dapat juga tampak pada sindrom Rombo, lupus eritematosus sistemik dan myasthenia gravis. 3. Desmoplastik Biasa terjadi pada wanita muda, berupa plak anular sklerotik, soliter padat, sewarna kulit sampai putih keabuan dengan depresi sentral terletak di pipi atas atau sudut bibir. Berukuran 1 cm dan asimtomatik. Diagnosis Banding 1. Trikoepitelioma 2. Hiperplasia sebasea 3. Steatosistoma multipleks Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan histopatologi, terutama pada tipe desmoplastik yang mirip dengan karsinoma sel basal. Ditemukan kista tanduk (horn cyst) dalam berbagai ukuran dan pulau basaloid.2

III.

Penatalaksanaan Medikamentosa 1. Imiquimod topikal4** 2. Tretinoin4 Catatan: **Obat menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Tindakan 1. Bedah listrik6 (C,4) 2. Bedah eksisi6 (C,4) 3. Bedah beku5 (C,4) 4. Bedah laser3 (C,4)

Tumor Kulit

305

IV.

V.

VI.

Edukasi 1. Perjalanan penyakit 2. Diagnosis penyakit 3. Prognosis

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: bonam : bonam : dubia ad bonam

Kepustakaan 1. Srivastava D. Taylor R S. Appendage Tumors and Hamartomas of the Skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill, 2012:1357-8. 2. Ahmed TSS, Del Friore J, Seykore JT. Tumors of Epidermal Appendages. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, Jhon B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincot-William & Wilkins; 2009.h.851-910. 3. Retamar, R. A., Stengel, F., Saadi, M. E., Kien, M. C., Della Giovana, P., Cabrera, H. and Chouela, E.N. Brooke–Spiegler syndrome – report of four families: treatment with CO2 laser. International Journal of Dermatology. 2007;46:583-586. 4. Urquhart, J.L. and Weston, W.L. Treatment of Multiple Trichoepitheliomas with Topical Imiquimod and Tretinoin. Pediatric Dermatology. 2005;22:67-70. 5. DUHRA, P. and PAUL, J.C. Cryotherapy for Multiple Trichoepithelioma. The Journal of Dermatologic Surgery and Oncology. 1998;14:1413-15. 6. Mohammadi AA, Seyed Jafari SM. Trichoepithelioma: A Rare but Crucial Dermatologic Issue. World Journal of Plastic Surgery. 2014;3(2):142-145.

Tumor Kulit

306

F.6 Keratosis Seboroik (L82.1) I.

Definisi Merupakan tumor jinak epidermal yang paling sering terjadi. Lesi umumnya terjadi pada usia pertengahan, namun dapat muncul pada awal masa remaja.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Terdapat banyak varian klinis. Pada lesi awal terdapat batas yang tegas, permukaan rata, kusam, dan berwarna kecoklatan. Seiring perkembangannya, lesi menjadi berbentuk papul, permukaannya verukosa, stuck-on, mengkilat, dan terdapat kista pseudohorn.1-3 Jenis varian:4 1. Stucco keratosis 2. Dermatosis papulosa nigra 3. Inverted follicular keratosis 4. Lichenoid keratosis 5. Large cell acanthoma 6. Flat seborrheic keratosis Diagnosis Banding5 1. Lentigo senilis/solaris 2. Nevus melanositik 3. Melanoma maligna 4. Karsinoma sel basal Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi Milia-like cysts, comedo-like openings, light-brown fingerprint-like structures, cerebriform pattern(gyrus & sulci).6 2. Histopatologi Tampak akantosis, papillomatosis, kista pseudohorn, dan hiperkeratosis.2,3

III.

Penatalaksanaan 1. Kuretase, krioterapi2 (A,4) 2. Bedah listrik (elektrodesikasi) memiliki efektivitas yang sama dibanding laser CO2 dengan biaya yang lebih murah.7 (A,3) 3. Laser CO2 ablatif Laser CO2 ablatif memiliki efikasi yang hampir sama seperti tindakan bedah listrik (elektrodesikasi) dan memiliki outcome yang memuaskan.7,8 (A,3) 4. Potassium-titanyl-phosphate (KTP) laser memperlihatkan perbaikan yang serupa dalam tatalaksana dermatosis papulosa nigra pada 14 subjek. 9 (B,4) 5. QS Nd: YAG 1064 mm (long pulsed) Penggunaannya pada untuk keratosis seboroik mencapai resolusi sebesar 70-

Tumor Kulit

307

90% pada dua orang pasien.10 (B,4)

IV.

V.

VI.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: bonam : bonam : bonam-dubia ad bonam

Kepustakaan 1. Thomas VD, Snavely NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas, and hyperplasias. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies; 2012.h.1319-37. 2. Ingraffea A. Benign skin neoplasms. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):21-32. 3. Luba MC, Bangs SA, Mohler AM, Stulberg DL. Common benign skin tumors. Am Fam Physician. 2003;67(4):729-38. 4. Noiles K, Vender R. Are all seborrheic keratoses benign. J Cutan Med Surg. 2008;12(5):20310. 5. Endrizzi B. Benign tumors and vascular lesions. Dalam: Soutor C, Hordinsky MK, penyunting . A Lange medical book clinical dermatology. Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill Education; 2013. h.141-52. 6. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, dkk. Dermoscopy of pigmented skin lesions: Result of concensus meeting via internet. J Am Acad Dermatol. 2013;48:679-93. 7. Ali Basma MM, El-tatawy RA, Ismael MA, Gawdat AM. Electrocautery versus ablative CO2 laser in the treatment of seborrheic keratoses: a clinical and histopathological study. J Egypt Women Dermatol Soc. 2014;11:136-141. 8. Ali FR, Bakkour W, Ferguson JE, Madan V. Carbon dioxide laser ablation of dermatosis papulosa nigra: high satisfaction and few complications in patients with pigmented skin. Lasers Med Sci. 2016;31(3):593-5. 9. Kundu RV, Joshi SS, Suh KY, Boone SL, Huggins RH, Alam M, dkk. Comparison of electrodesiccation and potassium-titanyl-phosphate laser for treatment of dermatosis papulosa nigra. Dermatol Surg. 2009;35:1079-83. 10. Schweiger ES, Kwasniak L, Aires DJ. Treatment of dermatosis papulosa nigra with a 1,064nm Nd:YAG laser: report of two cases. J Cosmet Laser Ther. 2008;10:120–2.

Tumor Kulit

308

F.7 Kista Epidermoid (L72.0) I.

Definisi Kista dengan dinding berasal dari epidermis atau epitel folikel rambut. Lesi berkembang dari folikel pilosebasea dan berisikan keratin. Umumnya ditemukan pada wanita atau pria dewasa. Nama lain yaitu follicular cyst-infundibular type, keratin cyst, epidermal inclusion cyst, dan epithelial cyst. Milia secara histopatologi merupakan kista epidermoid yang berukuran kecil.1-4

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Nodul dermis atau subkutan yang dapat digerakkan (mobile) dengan jaringan bawah kulit dan memiliki pungtum pada tengah lesi. Lesi yang tidak berkaitan dengan trauma biasanya berlokasi pada dada bagian atas, punggung bagian atas, leher, dan kepala sedangkan lesi yang berkaitan dengan trauma berada pada telapak tangan, telapak kaki, dan bokong. Lesi biasanya sewarna kulit dan terdapat bau yang tidak sedap seperti keju. Kista biasanya tumbuh secara lambat, asimtomatik, namun sering pecah. Pada kista yang pecah dapat meradang dan nyeri1,2 Diagnosis Banding1,2 1. Steatocystoma multiplex 2. Kista pilar 3. Lipoma 4. Bisul (furunkel, karbunkel) atau acne cyst 5. Furunkulosis Pemeriksaan Penunjang 1. Histopatologi Nampak epitel skuamosa berlapis dengan lapisan granular yang intak dengan kista yang berisi debris keratin eosinofilik.1 2. Ultrasonografi Nampak massa hyphoechoic pada bidang subkutan dengan muara punctum di epidermis.5

III.

Penatalaksanaan Medikamentosa Antibiotik golongan sefalosporin untuk Staphylococcus pada kista epidermal yang mengalami inflamasi (C,4).6 Tindakan 1. Surgical excision Insisi, pengeluaran isi keratin, dan eksisi dari dinding kista merupakan teknik yang paling sering dilakukan. Rekurensi sebanyak 3%. 3 Minimal insisi dengan besar 3 mm dapat digunakan pada kista epidermoid pada wajah dengan

Tumor Kulit

309

diameter kurang dari 1 cm. Pada metode ini didapatkan luka yang minimal dan hasil kosmetik yang lebih baik.7 (B,4) 2. Laser  Laser karbon dioksida Untuk melakukan eksisi minimal dilaporkan dapat menghilangkan secara total kista epidermoid pada 21 pasien.8 (B,4)  Laser erbium: yttrium aluminum garnet (Er:YAG) Dilaporkan dapat mengecilkan kista epidermoid tanpa bekas luka pada 23 (92%) dari 25 pasien.9 (C,4)

IV.

V.

VI.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Cara pencegahan 3. Pilihan terapi dan efek samping 4. Prognosis

Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam3 : bonam-dubia ad bonam Menghilangkan semua dinding kista diperlukan untuk mencegah berulangnya penyakit.

Kepustakaan 1. Thomas VD, Snavely NR, Lee KK, Swanson NA. Benign epithelial tumors, hamartomas, and hyperplasias. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill Companies; 2012.h.1319-37. 2. Endrizzi B. Benign tumors and vascular lesions. Dalam: Soutor C, Hordinsky MK, penyunting. Clinical dermatology. A Lange medical book. Edisi ke-1. US: McGraw-Hill Education; 2013.h.141-152. 3. Pandya KA, Radke F. Benign skin lesions: Lipomas, epidermal inclusion cysts, muscle and nerve biopsies. Surg Clin North Am. 2009;89(3):677-87. 4. Ingraffea A. Benign skin neoplasms. Facial Plast Surg Clin North Am. 2013;21(1):21-32. 5. Bhatt KD, Tambe SA, Jerajani HR, Dhurat RS. Utility of high-frequency ultrasonography in the diagnosis of benign and malignant skin tumors. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2017;83:162-82. 6. Kim MS, Shin BS, Na CH, Choi KC, Song SH. The aerobic bacterial culture and antibiotic susceptibility of epidermal cysts in Korea. J Am Acad Dermatol. 2013;68:AB65. 7. Yang H-J, Yang KC. A new method for facial epidermoid cyst removal with minimal incision. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2009;23:887-890. 8. Song SW, Burm JS, Yang WY, Kang SY. Minimally invasive excision of epidermal cysts through a small hole made by a CO2 laser. Arch Plast Surg. 2014;41:85-88. 9. Feng CJ, Ma H. Treatment of epidermal cysts with erbium: YAG laser fenestration: An alternative to surgical intervention. Ann Plast Surg. 2015;74(Suppl 2):S89-92.

Tumor Kulit

310

F.8 Nevus Verukosus (Q82.5) I.

Definisi Tumor epidermal yang ditandai dengan hiperkeratosis dari keratinosit dan permukaan verukosa.

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1 1. Nevus verukosus ditandai dengan papul verukosus terlokalisasi atau difus, rapat, sewarna kulit, coklat atau coklat keabuan, yang dapat menyatu membentuk plak papilomatosa yang berbatas tegas. Konfigurasi linear sering ditemukan di ekstremitas dengan distribusi pada garis Blaschko’s atau relaxed skin tension lines. 2. Systemized epydermal nevus adalah nevus verukosus dengan distribusi luas (ektensif) termasuk didalamnya nevus unius lateris yaitu nevus epidermal dengan distribusi setengan badan dan histriks ikhtiosis, nevus epidermal dengan distribusi bilateral. Umumnya konfigurasi transversal di tubuh dan linear di ekstremitas. 3. Inflammatory linear verrocous epidermal nevus (ILVEN) adalah varian nevus verukosus yang ditandai pruritus, eritema dan sisik. Terutama ditemukan di bokong dan ekstremitas bawah. Diagnosis Banding1 1. Liken striatus 2. Linear Darier disease 3. Linear porokeratosis 4. Liken planus linear 5. Psoriasis 6. Inkontinensia pigmenti Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan histopatologi: ditemukan gambaran akantosis, papilomatosis dan hiperkeratosis, serta elongasi dari rete ridges.1,2 Pada ILVEN menunjukkan infiltrat peradangan kronik di dermis, hiperplasia epidermal psoriasiform dan parakeratosis 1

III.

Penatalaksanaan Medikamentosa 1. 5-FU topikal 2. Podofilin 3. Tretinoin topikal (C,4) 4. Calcitriol3 (C,4)

Tumor Kulit

311

Tindakan 1. Bedah beku5 (C,4) 2. Bedah laser4 (B,2) 3. Bedah eksisi

IV.

V.

VI.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

Kepustakaan 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor.Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke8. Philadelphia: Lippincott-Roven; 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill, 2008. 3. M. Bohm, T.A. Luger, H. Traupe, Successful treatment of inflammatory linear verrucous epidermal naevus with topical natural vitamin D3 (calcitriol). British Journal of Dermatology. 2003;148(4):824. 4. Osman MAR, Kassab AN. Carbon dioxide laser versus erbium:YAG laser in treatment of epidermal verrocous nevus: a comparative randomized clinical study. Journal of Dermatological Treatment. 2016:1-6. 5. Fox, B. J. and Lapins, N. A. (1983), Comparison of Treatment Modalities for Epidermal Nevus: A Case Report and Review. The Journal of Dermatologic Surgery and Oncology. 9: 879–885.

Tumor Kulit

312

F.9 Dermatofibroma (D23.9) I.

Definisi Tumor jinak fibrohistiositik kulit yang sering ditemukan.1 Nama lain: fibroma simpleks, nodular subepidermal fibrosis, histiositoma, dermal dendrositoma, histiositoma fibrosa, sklerosing hemangioma.1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Tumor padat, ”dome shaped” berupa papul/nodulus/nodul, asimptomatik, berukuran beberapa mm hingga 10 mm, dapat mencapai 2 cm sebagai ukuran terbesar. Tumor dapat timbul soliter, multipel maupun eruptif. Pada umumnya warna tumor hiperpigmentasi, kecoklatan namun dapat pula berwarna pink, eritema atau sewarna kulit. Etiologi diduga trauma, pasca-insect bite. Tumor ini banyak ditemukan pada orang dewasa, wanita lebih sering, dengan predileksi tersering pada tungkai bawah. Pada palpasi, tumor teraba melekat pada kulit hingga lapisan subkutan; apabila dilakukan “pinching”/cubitan dari tepi, lesi akan melekuk ke dalam kulit, disebut dimple sign. Diagnosis Banding 1. Nevus melanositik 2. Kista fibrosis atau neoplasia mesenkimal lain 3. Dermatofibrosarkoma protuberans (apabila lesi besar, multilobular dan tidak berbatas tegas) Pemeriksaan Penunjang 1. Histopatologi (C,4) 2. Dermoskopi (C,4)

III.

Penatalaksanaan 1. Tidak diperlukan terapi khusus karena asimtomatik (C,4) 2. Tindakan bedah pisau untuk biopsi dan eksisi keseluruhan jaringan tumor, apabila: (C,4)  Lesi dicurigai ganas. Biasanya lesi dengan pertumbuhan cepat dan besar. Margin dari lesi disarankan mencapai 3 mm serta hingga terangkat lapisan subkutan. Kemudian dilanjutkan: pemeriksaan imunohistokimia.  Menyebabkan keluhan subjektif (gatal/nyeri).  Bila terdapat di lokasi yang rentan trauma berulang. 3. Shave excision (C,4) 4. Bedah beku (bertujuan untuk mendatarkan lesi) (C,4) 5. Pulsed dye laser 600 nm (C,4) 6. Injeksi triamsinolon asetonid (C,4) 7. Laser CO2 (untuk lesi multipel di wajah) (C,4)

Tumor Kulit

313

IV.

Edukasi 1. Menjelaskan dan meyakinkan pasien bahwa dermatofibroma merupakan tumor jinak sehingga tidak perlu dilakukan tindakan apapun. 2. Tindakan menghilangkan lesi dermatofibroma yang secara klinis jinak, dengan tujuan estetik tidak direkomendasikan. Namun demikian apabila terdapat kecurigaan keganasan, pertumbuhan yang cepat, bentuk yang iregular serta lokasi yang tidak biasa diperlukan tindakan pembedahan.

V.

Prognosis Dermatofibroma adalah tumor jinak. Meskipun ada yang mengalami percepatan pertumbuhan, namun sebagian besar akan statis bertahun-tahun. Sebagian tumor ada pula yang mengalami regresi spontan meninggalkan makula hipopigmentasi. Pertumbuhan lesi menjadi ganas terjadi pada 20% kasus namun jarang bermetastasis. Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, et al. penyunting. Bolognia. Edisi ke-2. 2003. Philadelphia; Mosby.h.1865-67. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill; 2008. 3. Parish L, Yazdanian, Lambert WC, Lambert PC. Dermatofibroma: a curious tumor. 2012. Diunduh dari: http://jdc.jefferson.edu/dcbfp 4. Kim JH, Kim IH. A 3-mm margins completely removes dermatofibroma: a study of 151 cases. Derm Surg. 2015;41:283-6. 5. Senel ES, Karabulut YY, Senel SD. Clinical, histopathological, dermatoscopic and digital microscopic features of dermatofibroma: a retrospective analysis of 200 lesions. JEADV. 2015; 29:1958-6. 6. Wang SQ dan Lee PK. Treatment of dermatofibroma with a 600 nm pulsed dye laser. Dermatol Surg. 2006;32:532-5. 7. Dermoscopy of Dermatofibromas A Prospective Morphological Study of 412 Cases Pedro Zaballos, MD; Susana Puig, PhD; Alex Llambrich, MD; Josep Malvehy, MD. Arch Dermatol. 2008;144(1):75-83. 8. Luzar B dan Calonje B. Cutaneous fibrohistiocytic tumours – an update. Histopathology. 2010; 56:148-65.

Tumor Kulit

314

VII.

Bagan Alur Bagan Alur Tatalaksa Membedakan Dermatofibroma (DF) dengan Dermatofibrosarkoma Protuberans (DFSP)1

Pemeriksaan klinis

Predileksi lebih sering pada tungkai/lengan Papula hiperpigmentasi berbatas tegas, “static” (ukuran < 1 cm)

Predileksi lebih sering batang tubuh Nodul tumbuh meluas disertai plak keloidalis, berwarna merah atau biru

Mengalami pertumbuhan

Biopsi

Menunjang DFSP

Observasi

Menunjang DF

Tumor Kulit

CD34 negatif Faktor XIIIa positif

CD34 positif Faktor XIIIa negatif

Menunjang DF

Menunjang DFSP

315

F.10 Fibroma Mole (D21.9) I.

Definisi Tumor lunak jaringan ikat.

II.

Kriteria Klinis Klinis Tumor lunak bertangkai, permukaan licin atau tidak teratur, letak di kelopak mata, leher, aksila. Diagnosis Banding Neurofibroma Pemeriksaan Penunjang Histopatologi

III.

Penatalaksanaan 1. Bedah listrik 2. Bedah pisau 3. Bedah laser

IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis

V.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

VI.

: bonam : bonam : dubia ad bonam

Kepustakaan 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor .Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-8. Philadelphia : Lippincott- Roven, 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York : Mc Graw-Hill, 2008

Tumor Kulit

316

F.11 Keloid (L91.0) I.

Definisi Salah satu manifestasi penyembuhan luka abnormal berupa jaringan parut timbul atau tumbuh melebihi batas luka. Pada keloid terjadi ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen. Faktor risiko, antara lain: kulit yang gelap, faktor genetik (ras kulit hitam, ras Asia, dan ras Hispanik), riwayat keluarga, umur di bawah 30 tahun, tingginya kadar hormon pada puberitas maupun kehamilan, golongan darah A, hyper-immunoglobulin (IgE) syndrome, luka bakar, luka yang membutuhkan waktu untuk sembuh lebih dari tiga minggu, dan luka yang terdapat pada kulit di daerah sternum, pundak, lengan atas, daun telinga, dan pipi.1-5

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Nodul maupun plak yang keras, berwarna merah muda, keunguan, maupun hiperpigmentasi, memiliki permukaan yang umumnya halus dan mengkilat, dapat terjadi ulkus, pinggir yang tidak rata, dapat disertai telangiektasia, serta menimbulkan nyeri dan gatal. Awitan terjadinya keloid biasanya tidak langsung terjadi setelah perlukaan, melebihi batas awal luka, jarang terjadi regresi spontan, dapat rekurens, dan kadang memiliki bentuk yang terdistorsi. 1,5 Diagnosis Banding2,6 1. Karsinoma sel basal tipe morfeaformis 2. Dermatofibrosarcoma protuberans 3. Foreign body granuloma 4. Trichilemmal carcinoma 5. Apocrine cystadenoma 6. Adult-onset juvenile xanthogranuloma 7. Follikulitis kronik Pemeriksaan Penunjang Histopatologi: gambaran histopatologi didapatkan kumpulan kolagen I dan kolagen III hiposeluler yang tebal, eosinophilic, berukuran besar, dan disorganisasi. Terdapat juga matriks mukoid yang banyak dan fibroblas pada dermis. 1,2,4,5

III.

Penatalaksanaan Pencegahan 1. Mencegah terjadinya luka4,5 2. Silikon gel7 (C,1) 3. Pressure garment therapy8 (C,1) 4. Calcipotriol topikal9 (D,1) Medikamentosa 1. Triamcinolone acetonide injeksi10 (B,1) Pilihan terapi baik tunggal maupun kombinasi dengan terapi lainnya.

Tumor Kulit

317

2. Injeksi intralesi lainnya  Lima-fluorourasil (5-FU)11 (B,1)  Bleomycin12 (B,1)  Botulinum toxin A13 (C,4)  Interferon14 (C,3)  Krim imiquimod 5%15,16 (C,1**) Catatan: **menunggu persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia

Tindakan: 1. Bedah pisau17,18 (B,4) Bedah pisau dengan graft dikombinasi dengan injeksi triamcinolone acetonide. 2. Terapi laser  Pulse dye laser19 (C,1) Merupakan terapi kombinasi dengan lainnya.  Laser CO220 (C,4) 3. Bedah beku10,21 (C,4) Pilihan terapi kombinasi dengan terapi lainnya.

IV.

Edukasi 1. Menjelaskan mengenai penyakit dan penyebabnya. 2. Menjelaskan cara pencegahan. 3. Menjelaskan mengenai pilihan terapi dan kemungkinan efek samping serta hasilnya. 4. Menjelaskan mengenai prognosis.

V.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

VI.

: bonam : bonam : dubia ad malam

Kepustakaan 1. Ko CJ. Dermal hypertrophies and benign fibroblastic/myofibroblastic tumors. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, PallerAS,LeffellDJ,Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.707-17. 2. Endrizzi B. Benign tumors and vascular lesions. Dalam :Soutor C, Hordinsky MK, editor . A Lange medical book clinical dermatology. Edisi ke-1. Minnesota: McGraw-Hill Education;2013.h.141-52. 3. Juckett G, Hartman-Adams H. Management of keloids and hypertrophic scars. Am Fam Physician. 2009;80(3):253-60. 4. Arno AI, Gauglitz GG, Barret JP, Jeschke MG. Up-to-date approach to manage keloids and hypertrophic scars: A useful guide. Burns. 2014;40(7):1255-66. 5. Gauglitz GG, Korting HC, Pavicic T, Ruzicka T, Jeschke MG. Hypertrophic scarring and keloids: Pathomechanisms and current and emerging treatment strategies. Mol Med. 2011;17(1-2):11325. 6. Ogawa R, Akaishi S, Hyakusoku H. Differential and exclusive diagnosis of diseases that resemble keloids and hypertrophic scars.Ann Plast Surg. 2009;62:660–4. 7. O’Brien L, Jones DJ. Silicone gel sheeting for preventing and treating hypertrophic and keloid scars.Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 9. Art. No.: CD003826.

Tumor Kulit

318

8. Anzarut A, Olson J, Singh P, Rowe BH, Tredget EE. The effectiveness of pressure garment therapy for the prevention of abnormal scarring after burn injury: A meta-analysis. Journal of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgery. 2009;62:77-84. 9. Van der Veer VM, Jacobs XE, Waardenburg IE, Ulrich MM, Niessen FB. Topical calcipotriol for preventive treatment of hypertrophic scars: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Arch Dermatol. 2009;145(11);1269-75. 10. Sharma S, Bhanot A, Kaur A, Dewan SP. Role of liquid nitrogen alone compared with combination of liquid nitrogen and intralesional triamcinolone acetonide in treatment of small keloids. J Cosmet Dermatol. 2007;6(4):258-61. 11. Manuskiatti W, Fitzpatrick RE. Treatment response of keloidal and hypertrophic sternotomy scars: Comparison among intralesional corticosteroid, 5-fluorouracil, and 585-nm flashlamppumped pulsed-dye laser treatments. Arch Dermatol. 2002;138(9):1149-55. 12. Naeini FF, Najafian J, Ahmadpour K. Bleomycin tattooing as a promising therapeutic modality in large keloids and hypertrophic scars. Dermator Surg. 2006;32(8):1023-9. 13. Zhibo X, Miaobo Z. Intralesional botulinum toxin type A injection as a new treatment measure for keloids. Plast Reconstr Surg. 2009;124(5):275e-7e. 14. Lee JH, Kim SE, and Lee AY. Effects of interferon- α2b on keloid treatment with triamcinolone acetonideintralesional injection. Int J Dermatol.2008;47(2):183-6. 15. Cação FM, Tanaka V, Messina MC. Failure of imiquimod 5% cream to prevent recurrence of surgically excised trunk keloids. Dermatol Surg. 2009;35(4):629-33. 16. Berman B, Harrison-Balestra C, Perez OA, Viera M, Villa A, Zell D, dkk. Treatment of keloid scars post-shave excision with imiquimod 5% cream: A prospective, double-blind, placebocontrolled pilot study [abstract]. J Drugs Dermatol. 2009;8(5):455-8. 17. Park TH, Park JH, Chang CH. Clinical features and outcomes of foot keloids treated using complete surgical excision and full thickness skin grafting followed by corticosteroid injections. J Foot Ankle Res. 2013;6:26. 18. Park TH, Seo SW, Kim JK, Chang CH. Clinical characteristics of facial keloids treated with surgical excision followed by intra- and postoperative intralesional steroid injections. Aesth Plast Surg. 2012;36:169–73 19. Asilian A, Darougheh A, Shariati F. New combination of triamcinolone, 5-fluorouracil, and pulsed-dye laser for treatment of keloid and hypertrophic scars. Dermatol Surg. 2006;32(7):90715. 20. Nicoletti G, De Francesco F, Mele CM, Cataldo C, Grella R, Brongo S, dkk. Clinical and histologic effects from CO2 laser treatment of keloids. Lasers Med Sci. 2013;28(3):957-64. 21. Har-Shai Y, Amar M, Sabo E. Intralesional cryotherapy for enhancing the involution of hypertrophic scars and keloids. Plast Reconstr Surg. 2003;111(6):1841-52.

Tumor Kulit

319

F.12 Angiokeratoma (D23.9) I.

Definisi Dilatasi kapiler disertai hiperkeratosis dengan etiologi malformasi limfatik-vaskular kapiler.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Papul verukosus, eritema keunguan/hiperpigmentasi, dapat timbul zosteriform, unilateral menyerupai garis Blaschko.1 Diagnosis Banding1 1. Limfangioma 2. Melanoma maligna Pemeriksaan Penunjang Histopatologi (D,5)

III.

Penatalaksanaan 1. Eksisi (bedah pisau) (C,4) 2. Elektrokauter (bedah listrik) (D,5) 3. Laser CO2 (bedah laser) (D,5) 4. Krioterapi (bedah beku) (D,5)

IV.

Edukasi 1. Menjelaskan mengenai penyakit dan penyebabnya 2. Menjelaskan mengenai pilihan terapi dan kemungkinan hasilnya 3. Menjelaskan mengenai prognosis

V.

Prognosis1 Ad vitam : bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad malam

Tumor Kulit

320

VI.

Kepustakaan 1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012.h.2088-9. 2. Mittal R, Aggarwal A, Srivastata G. Angiokeratoma circumscriptum: a case report and review of the literature. Int Jou Dermatol 2005;44:1031-4. 3. Yang CH, Ohara K. Successful surgical treatment of verrucous hemangioma: a combined approach. Dermatol Surg. 2002; 28:913-20. 4. Sadana D, Sharma YK, Dash K, Chaudari ND, Dharwadkar AA, Dogra BB. Angiokeratoma circumcriptum in a young male. Indian Jour Dermatol Venereol. 2014;59(1):85-7. 5. Ozdemir R, Karaaslan O, Tiftikcioglu YO, Kocer U. Angiokeratoma circumscriptum. Dermatol Surg. 2004; 30:1364-6.

Tumor Kulit

321

F.13 Granuloma Piogenikum (L98.0) I.

Definisi Tumor vaskular yang sering ditemukan, bisa timbul spontan atau setelah trauma.3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Papul/nodus eritema bertangkai, mudah berdarah. Nodul, bisa berbentuk pedunculated berwarna merah, permukaan lembut atau sessile, mudah berdarah, krusta atau ulserasi. Lokasi sering pada intraoral: marginal gingiva, palatum, mukosa bukal, lidah, dan bibir. Lokasi di kulit di wajah, leher, ekstremitas atas dan bawah, mukosa membran di hidung, dan kelopak mata.6 Diagnosis Banding Jaringan granulasi, hemangioma, peripheral giant cell granuloma, peripheral ossifying fibroma, metastatic carcinoma dan amelanotic melanoma.6 Pemeriksaan Penunjang Histopatologi5,6 (C, 4)

III.

Penatalaksanaan 1. Bedah pisau3 (C,4) 2. Bedah listrik3 (C,4) 3. Bedah laser CO24 (C,2), Er: YAG5 (D,3), Diode, Nd:YAG 4. Krioterapi3 (C,4)

IV.

Edukasi 1. Edukasi mengenai penyakitnya 2. Edukasi mengenai rekurensi granuloma piogenikum 3. Edukasi mengenai kebersihan dari luka, karena infeksi berperan terhadap tumor vaskular (infeksi Streptococcus, Staphylococcus, Bartonella henselae, B. Quintana, dan HHV 8)6

V.

Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam

Tumor Kulit

322

VI.

Kepustakaan 1. Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke8. Philadelphia: Lippincott-Roven; 1977. 2. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw-Hill; 2008. 3. Hon KLE, Shen PCH , Li X, Chow CM, Luk DC. Pediatric Vascular Anomalies: An Overview of Management. Clinical Medicine Insights. Dermatology. 2014;7:1–7. 4. Zonungsangan. Pyogenic granuloma treated with continuous wave CO2 laser followed by ultrapulsed CO2 laser ablation. Our Dermatol Online. 5. 2014;6(2):160-2. 6. Feurazad, Khoei, Hanieh. Pyogenic granuloma: Surgical treatment with Er: YAG laser. J laser Med Sci. 2014:5(4):199-205. 7. Rai S, Kaur M, Bhatnagar P. Laser: a powerful tool for treatment of pyogenic granuloma. J Cutan Aesthet Surg. 2011;4(2):144–147.

Tumor Kulit

323

F.14 Hemangioma Infantil (D18.0) I.

Definisi Tumor jinak pembuluh darah, berupa proliferasi endotelial. Terdiri dari tiga fase, yaitu fase proliferasi, stabil, dan involusi. Lesi ini didapatkan kurang lebih pada 4% anak usia 1 tahun. Lesi ini lebih sering terjadi pada perempuan, bayi prematur, ras kaukasia, kehamilan yang multipel, dan usia ibu di atas 30 tahun. Nama lain lesi ini antara lain vascular tumor, vascular birthmark, strawberry birthmark, strawberry hemangioma dan juvenile hemangioma.1-4

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Lesi biasanya muncul pada usia 1-8 minggu, pertumbuhan yang cepat selama 612 bulan, dilanjutkan dengan fase involusi selama 5-9 tahun. Jenis dari hemangioma dibedakan menjadi:2,4,5 1. Bentuk (fokal, multifokal, segmental, indeterminate) 2. Tipe (superfisial, dalam, kombinasi, retikular/abortif/perkembangan minimal)  Lesi superfisial: makula eritematosa yang terang, papul, maupun plak muncul pada usia 1-4 minggu.  Lesi dalam: berwarna ungu, biru, maupun sewarna kulit muncul pada usia 2-3 bulan. Diagnosis Banding5 Lesi vaskular: Tumor vaskular 1. Tufted angioma 2. Spindle-cell hemangioma 3. Hemangioma epiteloid 4. Kaposiform hemangioendothelioma 5. Sarkoma kaposi 6. Retiform hemangioendothelioma 7. Papillary intralymphatic angioendothelioma 8. Composite hemangioendothelioma 9. Angiosarkoma 10. Epithelioid hemangioendothelioma 11. Malformasi vaskular 12. Malformasi kapiler 13. Malformasi limfatik 14. Malformasi vena 15. Malformasi arterio-vena Lesi nonvaskular: 1. Miofibroma 2. Spitz nevus 3. Juvenile xanthogranuloma 4. Kista dermoid

Tumor Kulit

324

5. 6. 7. 8. 9. 10.

Encephalocele Rhabdomiosarkoma Fibrosarkoma infantil Histiositosis sel Langerhans Neuroblastoma Leukemia kutis kongenital

Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi Red lacunas, reddish homogenous areas.6 2. Radiologi Beberapa modalitas yang dapat digunakan antara lain ultrasonography dengan doppler, magnetic resonance imaging (MRI), dan computed tomography (CT) scan.2,3 Pemeriksaan MRI dan CT-scan dilakukan pada lesi yang ekstensif (dicurigai terkait pembuluh darah besar) atau bila direncanakan terapi reseksi operasi pada tahap proliferasi. 3. Tes darah Bila hemangioma terkait sindrom PHACE, atau terdapat kecurigaan hemangioma hepar maka pemeriksaan darah yang berhubungan dengan penyakit endokrin harus dilakukan contoh pemeriksaan hormon tiroid maupun hormon pertumbuhan.2,3 Pemeriksaan darah terkait pemberian terapi sistemik. 4. Histopatologi Gambaran berupa lobular architecture dengan sel endotel yang tampak bulat (plump) dan gambaran proliferasi endotel yang signifikan pada fase proliferasi. Hasil pewarnaan imunohistokimia pada glucose transporter 1 protein (GLUT-1) positif.2,3

III.

Penatalaksanaan Sebagian besar hemangioma dapat sembuh secara spontan tanpa terjadi sekuele yang signifikan. Observasi tanpa pemberian terapi dapat dilakukan pada kasus yang berukuran kecil, lokasi jauh dari organ vital, dan tanpa penyulit. Indikasi diperlukannya tata laksana antara lain: bila terjadi ulkus, lesi dapat mengganggu organ vital seperti mata, mulut, hidung, genitalia, dan perianal, yang berpotensi menimbulkan kecacatan, dan perdarahan.2,4,7 Medikamentosa 1. Propanolol Pengobatan hemangioma infantil pada fase proliferasi dengan menggunakan propanolol dosis 3 mg/kgBB/hari selama 6 bulan terbukti aman dan efektif.8 (A,1) Pengobatan hemangioma infantil dengan propanolol dosis 2 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6 bulan terbukti dapat mengurangi ukuran, ketebalan, dan warna kemerahan pada lesi.9 (A,1) 2. Topikal ß blockers Timolol maleat topikal 0,5% dapat mengurangi volume dan warna kemerahan pada hemangioma infantil tipe superfisial.10 (B,2) Timolol maleat topikal 0,5% dapat mengurangi ukuran hemangioma infantil tipe superfisial maupun campuran.11 (B,2)

Tumor Kulit

325

3. Kortikosteroid Prednison oral dilaporkan dapat mengurangi pertumbuhan hemangioma infantil.12 (B,4) 4. Imiquimod 5% topikal13** (C,4) 5. Interferon-α Terapi yang efektif untuk hemangioma yang resisten terhadap steroid, yang dapat membahayakan fungsi organ tubuh seperti mata, dan dapat mengancam hidup.14 (A,4) 6. Kemoterapi  Vincristine15 (B,4)  Siklofosfamid16 (B,5) Catatan: **Obat menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Tindakan 1. Operasi Eksisi sirkular dengan penutupan purse-string mengurangi ukuran luka pascaoperasi hemangioma infantil.17 (B,2) Reseksi satu tahap dilaporkan sukses menghilangkan lesi hemangioma infantil pada telinga.18 (B,4) 2. Pulse dye laser Pulse dye laser tidak efektif dalam mengobati lesi awal hemangioma dan dihubungkan dengan atrofi kulit dan hipopigmentasi.19 (D,1) Konsultasi 1. Spesialis anak divisi kardiologi Skrining gangguan kardiologi sebelum pemberian propranolol. 2. Spesialis anak divisi onkologi Terapi interferon-α14 (A,4) dan kemoterapi (vincristine15 (B,4) siklofosfamid16 (B,5)) pada hemangioma yang membahayakan jiwa.

IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping

V.

Prognosis Quo ad vitam : bonam-dubia ad bonam Quo ad functionam : bonam-dubia ad bonam Quo ad sanactionam : bonam

VI.

Kepustakaan

dan

1. Mathes EF, Frieden IJ. Vascular tumors. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1456-65. 2. Liang MG, Frieden IJ. Infantile and congenital hemangiomas. Semin Pediat Surg. 2014;23(4):162-7. 3. Ballah D, Cahill AM, Fontalvo L, Yan A, Treat J, Low D, et al. Vascular anomalies: What they are, how to diagnose them, and how to treat them. Curr Probl Diagn Radiol. 2011;40(6):233-47.

Tumor Kulit

326

4. George A, Mani V, Noufal A. Update on the classification of hemangioma. J Oral Maxillofac Pathol. 2014;18(supplement 1):117-20. 5. ISSVA classification for vascular anomalies. International society for the study of vascular anomalies 2014. Diakses pada 11 Maret 2017. Tersedia di http://www.issva.org/classification. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: results of a concensus meeting via the internet. J Am Acad Dermatol. 2003;48:679-93. 6. Püttgen KB. Diagnosis and management of infantile hemangiomas. Pediatr Clin North Am. 2014;61(2):383-402. 7. Leaute-Labreze C, Hoeger P, Mazereeuw-Hautier J, Guibaud L, Baselga E, Posiunas G, dkk. A randomized, controlled trial of oral propranolol in infantile hemangioma. N Engl J Med. 2015;372:735-46. 8. Hongeling M, Adams S, Wargon O. A randomized controlled trial of propranolol for infantile hemangiomas. J Pediatr. 2011;128:e259-e266. 9. Chan H, McKay C, Adams S, Wargon O. RCT of timolol maleate gel for superficial infantile hemangiomas in 5 to 24-week-olds. Pediatrics. 2013;131:1739-47. 10. Chambers CB, Katowitz WR, Katowitz JA, Binenbaum G. A controlled study of topical 0.25% timolol maleate gel for the treatment of cutaneous infantile capillary hemangiomas. Ophthal Plast Reconstr Surg. 2012;28:103-6. 11. Grrene AK, Couto RA. Oral prednisolone for infantile hemangioma: Efficacy and safety using a standardized treatment protocol. Plast Reconstr Surg. 2011;128:743-52. 12. Jiang CH, Hu XJ, Ma G, Chen D, Jin Y, Chen H. A prospective self-controlled phase II study of imiquimod 5% cream in the treatment of infantile hemangioma. Pediatr Dermatol. 2011;28(3):259-66. 13. Jimenez-Hernandez E, Duenas-Gonzalez MT, Quintero-Cuiel JL, Velasquez-Ortega J, Magana-Perez JA, Berges-Garcia A, et al. Treatment with interferon-α-2b in children with lifethreatening hemangiomas. Dermatol Surg. 2008;34:640-47. 14. Glade RS. Vinson K, Becton D, Bhutta S, Buckmiller LM. Management of complicated hemangiomas with vincristine/vinblastine: Quantitative response to therapy using MRI. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2010;74:1221-1225. 15. Sovinz P, Urban C. Life-threatening hemangiomatosis of the liver in an infant: Multimodal therapy including cyclophosphamide and secondary acute myeloid leukemia. Pediatr Blood Cancer. 2006;47:972-3. 16. Mulliken JB, Rogers GF, Marler JJ. Circular excision with purse-string closure: The smallest possible scar. Plast Reconstr Surg. 2002;109(5):1544-54. 17. Daramola OO, Chun RH, Kerschner Je. Surgical management of auricular infantile hemangiomas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;138(1):72-75. 18. Batta K, Goodyear HM, Moss C, Williams HC, Hiller L, Waters R. Randomised controlled study of early pulsed dye laser treatment of uncomplicated childhood haemangiomas: Results of a 1year analysis. Lancet. 2002;360:521-27.

Tumor Kulit

327

F.15 Limfangioma (D18.1) I.

Definisi Hiperplasia dan dilatasi pembuluh limfe akibat kelainan kongenital malformasi sistem limfatik. Kelainan dapat bermanifestasi berbentuk vesikel yang berisikan cairan limfe, biasanya terdapat pada daerah wajah dan ditemukan pada usia kurang dari dua tahun. Nama lainnya adalah lymphangioma circumscriptum.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Lesi berupa kumpulan vesikel yang berisikan cairan bening maupun cairan serohemoragik. Lesi mempunyai batas difus dan dapat menyerang struktur disekitarnya.1 Diagnosis Banding1 1. Angiokeratoma 2. Hemangioma 3. Malformasi vena 4. Limfangiektasia/limfangioma akuisita Pemeriksaan Penunjang 1. Histopatologi Pada sediaan terlihat dilatasi dari pembuluh limfe dengan endotelium yang datar dan tidak ditemukan sel darah.1 2. Ultrasonography (USG) Menyingkirkan malformasi arteriovenosa (highflow). Pada limfangioma didapatkan jenis slow-no flow dan dapat dinilai ekstensi dan luas malformasi. 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI).2-4 Bila terdapat kecurigaan kelainan melibatkan pembuluh besar dan memerlukan tindakan berbeda. 4. Dermoskopi Red-blue lacunas, red-bluish to red black homogenous areas.5

III.

Penatalaksanaan 1. Bedah pisau6 (B,4) 2. Skleroterapi 7  Dengan menggunakan OK-432 (D,2) 8  Dengan menggunakan bleomisin A5 (B,4) 3. Prosedur destruktif 9  Radiofrequency ablation (C,4) 10  Bedah laser CO2 (B,1)

Tumor Kulit

328

IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pilihan terapi dan efek samping 3. Prognosis

V.

Prognosis Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : bonam-dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1. Boon LM, Vikkula M. Vascular malformations. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,Leffell DJ,Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill; 2012.h.2076-94. 2. Ibrahim M, Hammoud K, Maheshwari M, Pandya A. Congenital cystic lesions of the head and neck. Neuroimaging Clin N Am. 2011;21(3):621-39. 3. Ballah D, Cahill AM, Fontalvo L, Yan A, Treat J, Low D, dkk. Vascular anomalies: What they are, how to diagnose them, and how to treat them. Curr Probl Diagn Radiol. 2011;40(6):233-47. 4. Tracy TF Jr, Muratore CS. Management of common head and neck masses. Semin Pediatr Surg. 2007;16(1):3-13. 5. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: results of a concensus meeting via the internet. J Am Acad Dermatol. 2003;48:679-93. 6. Okazaki T, Iwatani S, Yanai T, Kobayashi H, Kato Y, Marusasa T. Treatment of lymphangioma in children: Our experience of 128 cases. J Pediatr Surg. 2007;42:386-389. 7. Giguere CM, Bauman NM, Sato Y, Burke DK, Greinwald JH, Pransky S, dkk. Treatment of lymphangiomas with OK-432 (picibanil) sclerotherapy: A prospective multi-institutional trial. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2002;128(10):1137-44. 8. Yang Y, Sun M, Ma Q, Cheng X, Ao J, Tian L, dkk. Bleomycin A5 sclerotherapy for cervicofacial lymphatic malformations. J Vasc Surg. 2011;53(1):15-5. 9. Kim SW, Kavanagh K, Orbach DB, Alomari AL, Mulliken JB, Rahbar R. Long-term outcome of radiofrequency ablation for intraoral microcystic lymphatic malformation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;137(12):1247-50. 10. Savas JA, Ledon J, Franca K, Chacon A, Zaiac M, Nouri K. Carbon dioxide laser for the treatment of microcystic lymphatic malformations (lymphangioma circumscriptum): A systematic review. Dermatol Surg. 2013;39(8):1147-57.

Tumor Kulit

329

F.16 Nevus Flameus (Q82.5) I.

Definisi Malformasi kutaneus vaskular, yang melibatkan postcapillary venule.1-3 Nama lain: port wine stain

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Lesi berupa makula eritematosa atau kebiruan, tepi ireguler, muncul sejak lahir dan tidak pernah hilang spontan. Umumnya ditemukan pada wajah di area persarafan nervus trigeminus. Seiring bertambahnya usia, warna lesi akan bertambah gelap dan dapat disertai munculnya papul dan nodus vaskular diatasnya. Diagnosis Banding 1. Sarkoma Kaposi 2. Nevus Unna Pemeriksaan Penunjang Histopatologi: telangiektasia dapat ditemukan secara histologis setelah usia 10 tahun. Dilatasi kapiler pada lapisan dermis superfisial yang seiring dengan bertambahnya usia akan merambah ke pembuluh kapiler di lapisan dermis yang lebih dalam hingga subkutan.

III.

Penatalaksanaan Bedah laser pulse dye3 (A,1)

IV.

Edukasi4 1. Edukasi mengenai penyakitnya, nevus flammeus tidak bisa berinvolusi seperti hemangioma, progesivitas dari nevus flammeus, bisa terjadi: perubahan warna, lebih gelap atau keunguan, dan terbentuk papul atau nodul vaskular (cobble stone formation). Terapi lebih awal memberikan hasil yang memuaskan. 2. Nevus flammeus bisa berdiri sendiri atau merupakan tanda dari beberapa sindrom, yakni Sturge-Weber syndrome (SWS; encephalotrigeminal angiomatosis), Klippel-Trenaunay syndrome, Cobb syndrome, dan Proteus syndrome (PS). 3. Pasien dengan nevus flammeus lokasi yang luas di area wajah, patut dicari adanya gangguan pada mata, dan nervus trigeminal, dapat dilakukan MRI pada kepala untuk mencari lesi intrakranial (Sturge-Weber syndrome SWS; encephalotrigeminal angiomatosis). 4. Nevus flameus dengan lokasi di ekstremitas, diperlukan pemerikaan lengkap seperti ultrasonography, ultrasonografi Doppler, MRI, lymphoscintigraphy untuk mencari adanya trombus di ekstremitas. 5. Nevus flameus dengan kelainan nevus epidermal, makrosomia lokal, limb gigantism, hipoplasia dermal, cerebriform palmar atau hiperplasia palmar, choristomas pada mata, visceral hamartomas, dan deposisi lemak abnormal

Tumor Kulit

330

merupakan sindrom Proteus.

V.

Prognosis Bila hanya malformasi kapiler saja: Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam Bila merupakan gejala dari sindrom: Quo ad vitam : dubia ad malam Quo ad functionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad malam

VI.

Kepustakaan 1. Calonie E. Vascular tumors and tumor like condition of blood vessels and lymphatics. Dalam: Elder D, Eletritsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor.Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke10. Philadelphia : Lippincott William & wilkins, 2009:1007-56. 2. Boon LM, Vikkula M. Vascular Malformation. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York : Mc Graw-Hill, 2012:20076-93. 3. Brightman LA, Geronemus RG, Reddy KK. Laser tretatment of Port wine stains. Clin cosmet investing Dermatol. 2015;8:27-33 4. Ortiz, Nelson MD. Port-Wine Stain Laser Treatments and Novel Approaches. Facial Plast Surg 2012;28:611–620.

Tumor Kulit

331

F.17 Nevus Melanositik (D22.9) I.

Definisi Spektrum neoplasia nevomelanositik yang berkembang pada waktu anakanak/dewasa muda.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis2 1. Bentuk: makula/papul (papilomatosa, papul berbentuk kubah/dome shape, bertangkai/pedunculated, atas datar/flat-topped). 2. Warna: sewarna kulit, merah jambu, kecoklatan Diagnosis Banding2 1. Lentigo solaris 2. Keratosis seboroik 3. Fibroma mole 4. Neurofibroma 5. Karsinoma sel basal 6. Melanoma maligna Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi: umumnya pola retikular, pigment network regular, globular dan homogen4 2. Histopatologi1:  Nevus junctional Kumpulan sel nevus setinggi dermo-epidermal junction  Nevus compound Kumpulan sel nevus terdapat di dermis dan epidermis  Nevus intradermal Kumpulan sel nevus terletak di dermis

III.

Penatalaksanaan3 1. Bedah pisau (A,1) 2. Bedah listrik (A,1) 3. Bedah laser (A,1)

IV.

Edukasi5 1. Edukasi mengenai penyakit 2. Proteksi dari paparan sinar UV, dengan menggunakan tabir surya 3. Pasien di edukasi mengenai risiko keganasan, apabila bentuk tidak simetris, permukaan kasar, mudah berdarah, warna tidak lagi homogen. 4. Pasien dengan lesi nevus melanositik yang besar berisiko lebih besar terhadap keganasan.

Tumor Kulit

332

V.

Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1.

2.

3. 4. 5.

Elder D, Elenitsas R, Murphy GF, Xu X. Benign pigmented lesions and malignant melanoma. Dalam: Elder D, Elenitsas R, Jaworsky C, John B Jr, editor. Lever’s Histopathology of the Skin. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009.h.699-790. Grichnick JM, Rhodes AR, Sober AJ. Benign neoplasia and Hyperplasia of Melanocytes. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012.h.1377-1416. Vourc’h-Jourdan M, Martin M, Barbarot S. Large congenital melanocytic nevi: Therapeutic management and melanoma risk. A systematic review. J Am Acad Dermatol. 2013;68:493-8. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, McCarthy WH. Dermoscopy an atlas. Edisi ke-3. Mc Graw-Hill Australia; 2009.h.189-91. Zaludeck C. Classifiying Melanocytic Nevi. Dalam: Longo, Argenziano, Zalaudeck editor. Nevogenesis. Berlin: Springer; 2012.h.25-40.

Tumor Kulit

333

F.18 Karsinoma Sel Basal (C44) I.

Definisi Tumor ganas yang berasal dari lapisan epidermis, tumbuh secara lambat, dan lokal invasif. Merupakan kanker kulit tipe non-melanoma yang paling sering terjadi. Penyakit ini berhubungan dengan pajanan sinar matahari dan jarang terjadi metastasis.1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Nodular Paling sering terjadi dan muncul di daerah yang sering terpajan sinar matahari. 2. Berpigmen Mempunyai kemiripan dengan tipe nodular namun berwarna (biru, hitam, dan kecoklatan) karena mengandung melanin. 3. Superfisial Tipe lesi yang paling tidak agresif, namun sering multifokal, dan biasanya muncul di badan maupun ekstremitas. 4. Morfeaformis Lesi yang paling jarang terjadi dan sering ditemukan pada wajah. Menyerupai skar atau keloid berbatas difus, merupakan tipe risiko tinggi. 5. Ulseratif Termasuk ulkus rodens dan ulkus terebrans, berhubungan dengan destruksi lokal. 6. Varian lain Yaitu: basoskuamosa, keratotik, dan fibroepitelioma pinkus. Diagnosis Banding1-3 1. Keratosis aktinik 2. Karsinoma sel skuamosa 3. Penyakit Bowen 4. Keratoacanthoma 5. Melanoma 6. Dermatitis 7. Psoriasis 8. Tinea korporis 9. Keratosis seboroik 10. Moluskum kontagiosum 11. Angiokeratoma 12. Karsinoma sebasea 13. Morphea/skleroderma lokalisata Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi Gambaran blue-black globules, leaf like structures, spoke wheels, ulcers, dan arborizing vessel.4

Tumor Kulit

334

2. Histopatologi Dilakukan jika secara klinis masih terdapat diagnosis banding, lesi kulit berada pada daerah risiko tinggi seperti daerah tengah wajah (sekitar mulut, mata, telinga, dan hidung), dan pada kasus yang memerlukan gambaran histopatologi lesi untuk menentukan pilihan terapi dan prognosis.2,3 3. Computed tomography (CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI) Bila ditemukan tanda dan gejala menunjukkan keterlibatan tulang, saraf yang besar, mata, dan kelenjar parotis.2,6

III.

Penatalaksanaan Medikamentosa 1. Imiquimod** Dihubungkan dengan perbaikan pada gambaran histopatologi.18 (C,1) Namun, pada penelitian yang lain disebutkan penggunaan krim imiquimod memiliki tingkat keberhasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan operasi.19 (C,1) 2. Sonidegib20** (B,1) 3. Vismodegib21** (B,1) 4. 5-fluorouracil (5-FU) 22** (A,4) 5. Topical tazarotene 0.1%23** (B,2) 6. Zycure** (0.005% mixture of solasodine glycosides)24 (A,1) Tindakan 1. Bedah eksisi 2,6  Baik dilakukan pada karsinoma sel basal primer. (B,4) 18  Lebih efektif dibandingkan radiasi. (A,1)  Lebih efektif dibandingkan photodynamic therapy (PDT) dengan 5aminolevullinic acid (5ALA) (-PDT 5-ALA) untuk penanganan karsinoma sel basal tipe nodular.25 (A,1)  Lebih efektif dalam menghilangkan karsinoma sel basal tipe nodular namun penampakan kosmetik dapat lebih buruk dibandingkan dengan pemakaian PDT dengan methyl-aminolevulinate (MAL).26 (B,1) 2. Mohs micrographic surgery 2  Pilihan pada karsinoma sel basal yang primer maupun sekunder. (A,4)  Sebesar 3% lesi primer yang diterapi dengan bedah eksisi berbanding 2% lesi primer yang diterapi bedah mikrografik Mohs mengalami rekurensi dalam pemantauan 30 bulan.  Biaya yang dikeluarkan bedah mikrografik Mohs secara signifikan lebih tinggi dibandingkan bedah eksisi.27  Namun, angka cost-effective bedah mikrografik Mohs vs bedah eksisi belum mencapai 50%.28 3. Destructive surgical techniques 4. Kauter dan kuret Pilihan yang baik untuk low-risk karsinoma sel basal.1,29 (A,3) 5. Cryosurgery Aman dan efektif pada kanker kulit non-melanoma.30 (B,2) 6. Carbon dioxide laser ablation Dapat digunakan pada low-risk karsinoma sel basal.31 (C,4)

Tumor Kulit

335

7. Photodynamic therapy (PDT) (B,1)26,32 Terapi kombinasi dengan ALA** atau MAL** Catatan: ** Menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Konsultasi 1. Radioterapi: terkait tatalaksana radioterapi 2. Hematologi dan onkologi medik: terkait tatalaksana kemoterapi IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Pencegahan:  Proteksi terhadap sinar matahari7 Dengan penggunaan tabir surya SPF 15 menunjukkan pengurangan insidens karsinoma sel skuamosa berikutnya namun tidak tidak terdapat proteksi yang signifikan pada karsinoma sel basal.8,9 (C,1)  Celecoxib Dapat mengurangi berkembangnya karsinoma sel basal.12 (B,1)  Strategi pencegahan pada pasien dengan risiko tinggi: o Obat anti inflamasi non-steroid dihubungkan dengan berkurangnya risiko karsinoma sel basal pada pasien dengan risiko tinggi.13 (B,1) o Penggunaan nikotinamid oral aman dan efektif dalam mengurangi kemunculan kanker kulit non-melanoma dan keratosis aktinik pada pasien dengan risiko tinggi.14 (A,1) 3. Pilihan terapi dan efek samping 4. Prognosis

V.

Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad fuctionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad malam. Pasien dengan kanker non-melanoma mempunyai mendapatkan lesi yang kedua dalam waktu 5 tahun. 6

VI.

angka

30-50%

untuk

Kepustakaan 1. Carucci JA, Leffell DJ, Pettersen J. Basal cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,Leffell DJ,Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8 New York: McGraw-Hill. 2012;h.1294-1303. 2. Telfer NR, Colver GB, Morton CA. Guidelines for the management of basal cell carcinoma. Br J Dermatol. 2008;159(1):35-48. 3. Rubin AI, Chen EH, Ratner D. Basal-cell carcinoma. N Engl J Med. 2005;353(21):2262-2269. 4. Argenziano G, Soyer HP, Chimenti S, Talamini R, Corona R, Sera F, et al. Dermoscopy of pigmented skin lesions: result of concensus meeting via internet. J Am Acad Dermatol. 2013;48:679-93. 5. Buljan M, Bulat V, Situm M, Mihić LL, Stanić-Duktaj S. Variations in clinical presentation of basal cell carcinoma. Acta Clin Croat. 2008;47(1):25-30. 6. Bichakjian CL, Olencki T, Aasi SZ. Basal cell skin cancer. [diakses pada 21 Februari 2017]. Tersedia di https://www.nccn.org/professionals/physician_gls/f_guidelines.asp. 7. Prevent Skin Cancer. American Academy of Dermatology. [Diakses pada 21 Februari 2017]

Tumor Kulit

336

Tersedia di https://www.aad.org/public/spot-skin-cancer/learn-about-skin-cancer/prevent. 8. Van Der Pols J, Williams G, Pandeya N, Logan V, Adele G. Prolonged prevention of squamous cell carcinoma of the skin by regular sunscreen use. Cancer Epidemiol Biomarkers. 2006;15(12):2546-8. 9. Sanchez G, Nova J, Rodriguez-Hernandez AE, Medina RD, Solorzano-Restrepo C, Gonzalez J, dkk. Sun protection for preventing basal cell and squamous cell skin cancers. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2016;7. 10. Green A, Williams G, Neale R, Hart V, Leslie D, Parsons P, dkk. Daily sunscreen application and betacarotene supplementation in prevention of basal-cell and squamous-cell carcinomas of the skin: A randomized controlled trial. The Lancet. 1999;354:723-9. 11. Frieling UM, Schaumberg DA, Kupper TS, Muntwyler J, Hennekens C. A randomized, 12-year primary-prevention trial of beta carotene supplementation for nonmelanoma skin cancer in the physicians health study. Arch Dermatol. 2000;136:179-84. 12. Elmets CA, Viner JL, Pentland AP, Cantrell W, Lin HY, Bailey H, dkk. Chemoprevention of nonmelanoma skin cancer with celecoxib: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J Natl Cancer Inst. 2010;102:1835-1844. 13. Muranushi C, Olsen CM, Green A, Pandeya N. Can oral nonsteroidal antiinflammatory drugs play a role in the prevention of basal cell carcinoma? A systematic review and metaanalysis. J Am Acad Dermatol. 2015:1-13. 14. Chen AC, Martin AJ, Choy B, Fernandez-Penas P, Dalziell RA, Mckenzie CA, dkk. A phase 3 randomized trial of nicotinamide for skin-cancer chemoprevention. N Engl J Med. 2015;373:1618-26. 15. Weinstock MA, Bingham SF, DiGiovanna JJ, Rizzo AE, Marcolivio K, Hall R, ET AL. Tretinoin and the prevention of keratinocyte carcinoma (basal and squamous cell carcinoma of the skin): A veterans affairs randomized chemoprevention trial. J Invest Dermatolog. 2012;132:1583-90. 16. Bath-Hextall FJ, Leonardi-Bee J, Somchand N, Webster AC, Delitt J, Perkins W. Interventions for preventing non-melanoma skin cancers in high-risk groups. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007;4. 17. Kadakia KC, Barton DL, Loprinzi CL, Sloan JA, Otley CC, Diekmann BB. Randomized controlled trial of acitretin versus placebo in patients at high risk for basal cell or squamous cell carsinoma of the skin (north central cancer treatment group study 969251). Cancer. 2012;118:2128-37. 18. Bath-Hextall FJ, Perkins W, Bong J, Williams HC. Interventions for basal cell carcinoma of the skin. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007;1. 19. Bath-Hextall F, Ozolins M, Armstrong SJ, Colver GB, Perkins W, Miller PSJ, dkk. Surgical excision versus imiquimod 5% cream for nodular and superficial basal-cell carcinoma (SINS): A multicentre, non-inferiority, randomized controlled trial. Lancet Oncol. 2014;15:96-105. 20. Migden MR, Guminski A, Gutzmer R, Dirix L, Lewis KD, Combemale P, dkk. Treatment with two different doses of sonidegib in patient with locally advanced or metastatic basal cell carcinoma (BOLT): A multicentre, randomized, double-blind phase 2 trial. Lancet Oncol. 2015;16:716-28. 21. Jacobsen AA, Aldahan AS, Hughes OB, Shah VV, Strasswimmer J. Hedgehog pathway inhibitor therapy for locally advanced and metastatic basal cell carcinoma: A systematic review and pooled analysis of interventional studies. JAMA Dermatol.2016. 22. Gross K, Kircik L, Kricorian G. 5%-Fluorouracil cream for the treatment of small superficial basal cell carcinoma: Efficacy, tolerability, cosmetic outcome, and patient satisfaction. Dermatol Surg. 2007;33:433-40. 23. Bianchi L, Orlandi A, Campione E, Angeloni C, Costanzo A, Spagnoli LG. Topical treatment of basal cell carcinoma with tazarotene: A clinicopathological study on al large series of cases. Br J Dermatol. 2004;151:148-56. 24. Punjabi S, Cook LJ, Kersey P, Marks R, Cerio R. Solasodine glycoalkaloids: A novel topical therapy for basal cell carcinoma: A double-blind, randomized, placebo-controlled, parallel group, multicenter study. Int Jof Dermatol. 2008;47:78-82. 25. Mosterd K, Nelemans TP, Kelleners-smeets, Janssen, Broekhof, Neumann, dkk. Fractionated 5-aminolaevulinic acid–photodynamic therapy vs. surgical excision in the treatment of nodular basal cell carcinoma: Results of a randomized controlled trial. Br J Dermatol. 2008;159:864-70. 26. Rhodes LE, De Rie MA, Leifsdottir R, Yu RC, Bachmann I, Goulden V, dkk. Five-year follow-up of a randomized, prospective trial of topical methyl aminolevulinate photodynamic therapy vs surgery for nodular basal cell carcinoma. Arch Dermatol.2007;143(9):1131-36. 27. Smeets NWJ, Krekels GAM, Ostertag JU, Essers BAB, Dirksen CD, Niemen FHM, dkk. Surgical excision vs Mohs’ micrographic surgery for basal cell carcinoma of the face:

Tumor Kulit

337

Randomised controlled trial. Lancet. 2004;364:1766-72. 28. Essers BAB, Dirksen CD, Nieman FHM, Smeets NWJ, Krekels GAM, Prins MH, dkk. Costeffectiveness of Mohs’ micrographic surgery vs surgical excision for basal cell carcinoma of the face. Arch Dermatol. 2006;142:187-94. 29. Barlow JO, Zalla MJ, Kyle A, DiCaudo DJ, Lim KK, Yiannias JA. Treatment of basal cell carcinoma with curettage alone. J Am Acad Dermatol. 2006;54:1039-45. 30. Kuflik EG. Cryosurgery for skin cancer : 30-year experience and cure rates. Dermatol Surg. 2004;20:297-300. 31. Nouri K, Chang A, Trent JT, Jimenez GP. Ultrapulse CO2 used for the successful treatment of basal cell carcinomas found in patients with basal cell nevus syndrome. Dermatol Surg. 2002;28(3).287-90. 32. Rhodes LE, De Rie M, Enstrom Y, Groves Y, Morken T, Goulden V, et al. Photodynamic therapy using topical methyl aminolevulinate vs surgery for nodular basal cell carcinoma. Result of a multicenter randomized prospective trial. Arch Dermatol. 2004;140:17-23.

Tumor Kulit

338

VII.

Bagan Alur

Karsinoma sel basal

Primer

Tumor non agresif pada badan atau ekstremitas

Tumor agresif pada badan atau ekstremitas

Rekuren

Tumor yang berlokasi di kantus, nasolabial, periorbital atau retroaurikuler

Pilihan terapi:  Bedah eksisi  Bedah mikrografik Mohs

Pilihan terapi:  Bedah eksisi  Radioterapi  Terapi ablatif (bedah listrik, bedah beku, bedah laser)  PDT dengan ALA/MAL**  Kemoterapi topikal  5-Florourasil topikal**  Imiquimod topikal**  Tazarotene topikal**  Zycure topikal**

Ukuran berapa saja atau lokasi dimana saja

Pilihan terapi dengan atau tanpa adjuvant radioterapi atau kemoterapi:  Bedah eksisi atau  Bedah mikrografik Mohs Kemoterapi  Sonidegib**  Vismodegib**

Keterangan: **Obat menunggu persetujuan BPOM

Tumor Kulit

339

F.19 Karsinoma Sel Skuamosa (C44) I.

Definisi Tumor ganas non-melanoma yang berasal dari keratosit epidermis supra-basal. Umumnya timbul pada bagian tubuh yang terpajan matahari dan sebagian besar timbul dari lesi prekursor seperti keratosis aktinik, penyakit Bowen, luka bakar dan penyakit kulit kronis lain.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Faktor Predisposisi1 1. Lesi prekursor (keratosis aktinik, penyakit Bowen) 2. Pajanan ultraviolet 3. Pajanan radiasi ionisasi 4. Pajanan terhadap karsinogen lingkungan 5. Imunosupresi 6. Skar 7. Luka bakar atau pajanan panas yang lama 8. Ulkus kronik atau dermatosis inflamasi 9. Infeksi human papilloma virus 10. Genodermatosis (albinism, xeroderma pigmentosum, epidermolisis bulosa) 11. Mutasi P53, Bcl2, dll

porokeratosis,

Gambaran Klinis1 Pada populasi kulit putih lesi kulit biasanya ditemukan pada daerah yang terpajan sinar matahari seperti kepala, leher, dan punggung tangan. Pada populasi kulit berwarna terdapat distribusi yang sama baik ditempat yang sering terpajan matahari maupun tidak. Tumor biasanya soliter, merupakan kelanjutan dari lesi prekursor. Gambaran Tumor Risiko Tinggi (NCCN 2012) 1. Area M ≥10 mm 2. Area H ≥6 mm 3. Poorly defined 4. Rekurensi 5. Imunosupresi 6. Site of prior RT atau proses inflamasi kronis 7. Tumor yang berkembang dengan cepat 8. Gejala neurologi 9. Patologi  Moderately or poorly differentiated histology  Subtipe akantolitik, adenoskuamosa atau desmoplastik 10. Kedalaman: ≥2 mm atau Clark levels IV,V 11. Keterlibatan perineural atau vaskular

Tumor Kulit

340

Dikatakan tumor risiko tinggi apabila ada salah satu tanda diatas M: “medium” risk  daerah kening, kulit kepala, pipi, dan leher H: “High” risk  wajah bagian tengah, telinga, periaurikular, kelopak mata, periorbital, hidung, pelipis, dan bibir Diagnosis Banding2-5 1. Keratosis aktinik 2. Penyakit Bowen 3. Karsinoma sel basal 4. Melanoma tipe amelanotik nodular 5. Keratoakantoma 6. Karsinoma sebasea 7. Pioderma gangrenosum atipikal Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi Struktur vaskular polimorfik berupa linear ireguler/serpentine, hairpin/looped, glomerular/coiled dan dotted. Sedangkan struktur keratin berupa white circle, white pearl/clod central keratin, dan central keratin with blood spot.6,7 2. Biopsi Spesimen diambil pada bagian lesi yang dicurigai infiltrasi lebih dari superfisial (NCCN kategori 2A).1-5 3. Histopatologi Pada pemeriksaan harus mencantumkan subtipe perubahan morfologi pada sel, derajat diferensiasi, dalamnya tumor dalam millimeter, kedalaman invasi, dan pemeriksaan keterlibatan saraf, vaskular, dan kelenjar getah bening. (NCCN kategori 2A).1-5 4. Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) Dilakukan bila terdapat kecurigaan perluasan penyakit pada tulang, saraf maupun jaringan lunak lain (NCCN kategori 2A).1-5 Pemeriksaan kelenjar getah bening (NCCN kategori2A).1-5

III.

Penatalaksanaan 1. Pencegahan pajanan sinar ultraviolet:  Konseling kebiasaan dalam pencegahan kanker kulit.8 (C,5)  Penggunaan tabir surya  Penggunaan tabir surya dengan SPF 15 dapat mengurangi insidens karsinoma sel skuamosa dalam penilaian 4,5 tahun.9 (B,2)  Pemakaian tabir surya dihubungkan dengan penurunan risiko karsinoma sel skuamosa pada 8 tahun follow up (rate ratio 0,62 95% CI 0,38-0,99).10 (A,1)  2. Pencegahan pada populasi risiko tinggi:  Asitretin oral Mengurangi risiko kanker kulit non-melanoma pada pasien transplantasi ginjal.11 (B,1)  Tretinoin topikal Tidak dapat mencegah karsinoma sel skuamosa pada pasien dengan

Tumor Kulit

341

 

risiko.12 (C,1) Nikotinamid oral13 (B,1) Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)14 (B,1) Celexocib15 (B,1) Cyclic photodynamic therapy dengan ALA16* (C,4)

3. Pencegahan pada populasi risiko rendah:

 

Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)17 (B,4) Beta carotene Penggunaan beta carotene tidak terbukti memiliki manfaat namun tidak menimbulkan efek samping.8,18 (D,1)

4. Medikamentosa Krim imiquimod 5%19** (B,4) Catatan: **Menunggu persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan

5. Tindakan  Bedah pisau Angka rekurensi sebesar 5% pada yang belum metastasis.20 (B,3) Merupakan terapi pilihan pada sebagian besar kasus karsinoma sel skuamosa.3-5 (A,4)  Mohs micrographic surgery (MMS)3-5 (B,4)  Superficial ablative techniques  Kuret dan bedah listrik (BL) Sekitar 1,7% pasien mengalami rekurensi setelah dilakukan kuret dan BL pada karsinoma sel skuamosa tipe risiko rendah.20 (B,3)  Bedah beku Sekitar 0,8% pasien dilaporkan mengalami rekurensi setelah dilakukan cryotherapy pada karsinoma sel skuamosa risiko rendah.20 (B,3) 6. Konsultasi  Konsultasi spesialis radioterapi  Terapi radiasi Sekitar 6,4% pasien dilaporkan mengalami rekurensi setelah dilakukan terapi radiasi pada karsinoma sel skuamosa yang tidak metastasis.20 (C,3)  Adjuvant radiation therapy Sekitar 18% pasien dilaporkan mengalami rekurensi lokal pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa dengan perineural invasion.20 (C,3)  Konsultasi spesialis bedah onkologi Bila terdapat penyebaran regional.  Konsultasi hematologi onkologi medik Bila terdapat metastasis

IV.

Edukasi 1. Penyakit dan penyebabnya 2. Cara pencegahan 3. Pilihan terapi dan efek samping

Tumor Kulit

342

4. Prognosis V.

Prognosis Quo ad vitam : dubia Quo ad fuctionam : dubia ad malam Quo ad sanactionam : dubia ad malam Pasien karsinoma sel skuamosa mempunyai risiko tinggi untuk mengalami karsinoma sel basal, melanoma, dan rekurensi karsinoma sel skuamosa. 21

VI.

Kepustakaan 1. Grossman D, Leffell DJ. Squamous cell carcinoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1283-94. 2. Firnhaber JM. Diagnosis and treatment of basal cell and squamous cell carcinoma. Am Fam Physician. 2012;86(2):161-8. 3. Madan V, Lear JT, Szeimies RM. Non-melanoma skin cancer. Lancet. 2010;375(9715):673-85. 4. British Association of Dermatologists (BAD). Multi-professional guidelines for the management of the patient with primary cutaneous squamous cell carcinoma. 5. Cancer Council Australia and Australian Cancer Network (CCA/ACN). Basal cell carcinoma, squamous cell carcinoma and related lesions - a guide to clinical management in Australia. CCA/ACN, 2008. 6. Zalaudek I, Cameron A, Rosendahl C. Actinic keratosis, Bowen’s disease, keratoacanthoma, and squamous cell carcinoma. Dalam: Marghoob AA, Malvehy J, Braun R P. Atlas of dermoscopy, Edisi ke-2. USA: CRC Press Book; 2012.h.48-57. 7. Rosendahl C, Cameron A, Argenziano G, Zalaudek I, Tschandl P, Kittler H. Dermoscopy of squamous cell carcinoma and keratoakanthoma. Arch Dermatol. 2012;148(2):1386-92. 8. Moyer V. Behavioral counseling to prevent skin cancer: U.S. Preventive Services Task Force recommendation statement. Annals of Internal Medicine.2012;157(1):59-65. 9. Green A, Williams G, Neake R, Hart V, Leslie D, Parsons P, et al. Daily sunscreen application and betacarotene supplementation in prevention of basal-cell and squamous-cell carcinomas of the skin: a randomised controlled trial. Lancet.1999;354:723-29. 10. Van Der Pols J, Williams G, Pandeya N, Logan V, Green A. Prolonged prevention of squamous cell carcinoma of the skin by regular sunscreen use. Cancer Epidemiol Biomarkers. 2006;15(12):2546-8. 11. Bath-Hextall F, Leonardi-Bee J, Somchand N, Webster A, Delitt J, Perkins W. Interventions for preventing non-melanoma skin cancers in high-risk groups. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007;4. 12. Weinstock M, Bingham S, DiGiovanna J, Rizzo A, Marcolivio K, Hall R, dkk Tretinoin and the prevention of keratinocyte carcinoma (basal and squamous cell carcinoma of the skin): A veterans affairs randomized chemoprevention trial. J Invest Dermatol. 2012;132:1583-90. 13. Chen A, Martin A, Choy B, Fernandez-Penas P, Dalziell R, Mckenzie C, dkk. Phase 3 randomized trial of nicotinamide for skin-cancer chemoprevention. N Engl J Med. 2015;373:1618-26. 14. Muranushi C, Olsen C, Pandeya N, Green A. Aspirin and nonsteroidal anti-inflammatory drugs can prevent cutaneous squamous cell carcinoma: A systematic review and meta-analysis. J Invest Dermatol. 2015;135:975-83. 15. Elmets CA, Viner JL, Pentland AP, Cantrell W, Lin HY, Bailey H, dkk. Chemoprevention of nonmelanoma skin cancer with celecoxib: A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J Natl Cancer Inst. 2010;102:1835-44. 16. Willey A, Mehta S, Lee P. Reduction in the incidence of squamous cell carcinoma in solid organ transplant recipients treated with cyclic photodynamic therapy. Dermatol Surg. 2010;36:652-8. 17. Johannesdottir SA, Chang ET, Mehnert F, Schmidt M, Olesen AB, Sorensen HT. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and the risk of skin cancer: A population-based case-control study. Cancer 2012. American Cancer Society. 18. Frieling UM, Schaumberg DA, Kupper TS, Muntwyler J, Hennekens CH. A randomized, 12-year

Tumor Kulit

343

primary-prevention trial of beta carotene supplementation for nonmelanoma skin cancer in the physician's health study. Arch Dermatol. 2000;136(2):179-84. 19. Warshauer E, Warshauer BL. Clearance of basal cell and superficial squamous cell carcinomas after imiquimod therapy. J Drugs Dermatol. 2008;7(5):447-51. 20. Lansbury L, Bath-Hextall F, Perkins W, Stanton W, Leonardi-Bee J. Interventions for nonmetastatic squamous cell carcinoma of the skin: Systematic review and pooled analysis of observational studies. BMJ. 2013;347:13-14. 21. Bichakjian CL, Olencki T, Aasi SZ. Squamous cell skin cancer. Version 1.2017. In National Comprehensive Cancer Network (NCCN). Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines).

Tumor Kulit

344

VII.

Bagan Alur Karsinoma sel skuamosa

Anamnesis  Keluhan sesuai KSS  Faktor predisposisi

Pemeriksaan klinis Lesi sesuai gambaran KSS

Histopatologi

Tidak sesuai KSS

Tatalaksana sesuai diagnosis

Sesuai KSS

 

Staging sesuai kriteria NCCN Edukasi penyakit, cara pencegahan, dan deteksi dini

KSS insitu/non high risk

1. Eksisi luas 2. Terapi ablatif (non bedah) 3. Topikal, misal: 5FU, imiquimod

High risk/metastasis

1. 2. 3. 4.

Eksisi luas Kemoterapi Radiasi Bedah Mohs

Pertemuan dan konsultasi ke bidang terkait: 1. Dept. Radioterapi 2. Dept. Bedah Onkologi 3. Dept. IPD (HOM) 4. Dept. Bedah Plastik Rekonstruksi 5. Dept. Rehabilitasi Medik

Tumor Kulit

345

F.20 Melanoma Maligna (C43) I.

Definisi Tumor ganas melanosit yaitu sel yang menghasilkan melanin dan berasal dari neural crest. Sebagian besar melanoma maligna (MM) muncul pada kulit tapi dapat juga timbul di permukaan mukosa, misalnya uvea.

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Faktor risiko 1. Pajanan sinar ultraviolet  Pajanan sinar UV high levels intermiten atau sporadik  Pajanan kronik berlebihan 2. Karakteritik fenotip  Kulit terang, ketidakmampuan menjadi kecoklatan (tan), kecenderungan terbakar surya atau efelid (skin phototype I dan II)  Mata biru atau hijau  Rambut merah atau pirang  Mempunyai nevus melanositik yang banyak, dan atau lebih dari satu nevus melanositik atipik  Nodular melanoma kongenital besar 3. Riwayat melanoma sebelumnya 4. Riwayat melanoma dalam keluarga 5. Mutasi p16, BRAF atau MC1R 6. Xeroderma pigmentosum 7. Supresi imun (kontroversi) Gambaran klinis 1. Superficial spreading melanoma (SSM) 2. Nodular melanoma (NM) 3. Lentigo malignant melanoma (LLM) 4. Acral lentigo melanoma (ALM) Gambaran MM dini/ABCD (Tidak berlaku untuk NM) A = asimetris B = border/tepi yang tidak teratur C = color/warna yang bermacam-macam D = diameter sama atau lebih dari 6 mm, atau terdapat perbedaan penampilan, misal “ugly duckling” E = elevasi Diagnosis Banding 1. SSM  Nevus atipik  Nevus melanositik  Keratosis seboroik

Tumor Kulit

346

 Karsinoma sel basal 2. NM Berpigmen  Nevus melanositik  Nevus biru  Nevus Spitz berpigmen  Karsinoma sel basal berpigmen Amelanotik  KSB  Hemangioma  Granuloma piogenik  Karsinoma sel Merkel 3. LLM  Lentigo solaris  Keratosis aktinik berpigmen  Keratosis seboroik datar  KSB superfisialis berpigmen 4. ALM termasuk ALM subungual  Veruka plantaris  Hematoma  Nevus palmoplantar  Melanokhia longitudinal  Onikomikosis  Granuloma piogenik Pemeriksaan Penunjang 1. Dermoskopi: umumnya pola asimetris dengan warna yang bermacam-macam. Dicurigai melanoma bila didapatkan paling sedikit satu gambaran sebagai berikut: blue white veil, broadened network, irregular streaks/radial streaming, pseudopods, scar like depigmentation/regression structures, peripheral black dots and globules, multiple brown dots, multiple blue gray dots dan atypical vessels. 2. Histopatologi  Radial (horizontal) growth phase  Vertical growth phase 3. Pulasan (pewarnaan) khusus untuk diagnostik  S 100  HMB 45  Melan-A (apabila fasilitas tersedia) 4. Pulasan (pewarnaan) khusus untuk prognostik apabila fasilitas tersedia  BRAF  P16 5. Pemeriksaan radiodiagnostik  Foto thoraks  USG/CT scan abdomen  Bone scan  CT scan kepala (bila ada indikasi)  CT scan lesi Tumor Kulit

347

6. Sentinel lymph node biopsy (bergantung pada adanya indikasi/fasilitas) Tabel 1. Klasifikasi Tumor Nodes Metastasize (TNM) melanoma T Ketebalan (mm) Ulserasi T1 4,0 a. Tanpa ulserasi b. Dengan ulserasi N Jumlah KGB metastasis N1

1

N2

2-3

4 atau lebih KGB, atau KGB kusut (matted nodes) atau in-transite/ KGB satelit M Lokasi M1a Kulit jauh, subkutan atau metastasis KGB Metastasis paru M1b Metastasis viseral yang lain M1c Metastasis jauh lainnya

a. b. a. b. c.

Mikrometastasis Makrometastasis Mikrometastasis Makrometastasis In-transite metastasis atau satelit tanpa KGB metastasis

N3

Tumor Kulit

Serum lactate dehydrogenase Normal Normal Normal Meningkat

348

Tabel 2. Pentahapan (Penentuan Stadium) American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010 Berdasarkan TNM (Tumor, Node, Metastasis) Pentahapan klinis Pentahapan patologik T N M T N M 0 T1s N0 M0 T1s N0 M0 IA T1a N0 M0 T1a N0 M0 IB T1b N0 M0 T1b N0 M0 T2a N0 M0 T2a N0 M0 IIA T2b N0 M0 T2b N0 M0 T3a N0 M0 T3a N0 M0 IIB T3b N0 M0 T3b N0 M0 T4a N0 M0 T4a N0 M0 IIC T4b N0 M0 T4b N0 M0 III T apa saja N1 M0 N2 N3 IIIA T1-4a N1a M0 T1-4a N2a M0 IIIB T1-4b N1a M0 T1-4b N2a M0 T1-4a N1b M0 T1-4a N2b M0 T1-4 a/b N2c M0 IIIC T1-4b N1b M0 T1-4b N2b M0 T apa saja N3 M0 IV T apa saja N apa saja M1 apa T apa saja N apa saja M1 apa saja saja

Tabel 3. Ketahanan hidup untuk melanoma TNM Tahap I-III American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2010 Tahap Tumor KGB Beban KGB tumor Ketahanan hidup 5 tahun (%) IA T1a NO 97 IB T1b N0 94 IB T2a N0 91 IIA T2b N0 82 IIA T3a N0 79 IIB T3b N0 68 IIB T4a N0 71 IIC T4b N0 53 IIIA T1-T4a N1a/N2a mikroskopik 78 IIIB T1-T4b N1a/N2a mikroskopik 55 IIIB T1-T4a N1b/N2b makroskopik 48 IIIC T1-T4b N1b/N2b/N3 Makroskopik atau 38 4+ KGB apa saja IIIC T1-T4a N3 4+ KGB apa saja 47

Tumor Kulit

349

III.

Penatalaksanaan Sesuai dengan stadium 1. Tindakan bedah:  Eksisi dengan evaluasi tepi lesi (A,1)  Mohs micrographic surgery (stadium I dan II) (B,1) 2. Terapi sistemik (A,1) Stadium I dan II:  Interferon-alpha dosis rendah: 3 mU s.c 3x seminggu selama 18-24 bulan Interferon-alpha dosis tinggi: 15-20 mU/m2 i.v (atau i.m) 5 hari/minggu selama 4 minggu atau 10 mU/m2 s.c 3x/minggu  Injeksi BCG subkutan 0,375mg, diulang setiap 1-3 bulan Stadium III dan IV sesuai dengan performance status (ECOG 0-4)  Hasil kurang baik cukup diberikan kemoterapi single: dacarbazine dosis 1000 mg/m2 (hari 1, intravena) atau dacarbazine dosis 250 mg/m2 (hari 1-5, intravena)  Hasil baik diberikan kombinasi kemoterapi (CVD) o Cisplatin dosis 20 mg/m2 (hari 1-4, intravena) o Vinblastin dosis 1,2-4 mg/m2 (hari 1-4, intravena) o Dacarbazine dosis 20 mg/m2 (hari 1, intravena) Bila terdapat metastasis ke otak, diberikan temozolamide dosis 200 mg/m2 (hari 1-5, oral) 3. Terapi radiasi (B,2) Tindak lanjut: Setiap 3 bulan dalam 1 tahun pertama. Selanjutnya setiap 6 bulan seumur hidup.

IV.

Edukasi 1. Edukasi dan informasi kepada pasien tentang penyakit melanoma, upaya diagnosis, dan penatalaksanaannya. 2. Edukasi tentang manfaat dan efek samping pengobatan (eksisi luas, diseksi KGB, kemoterapi, radioterapi, terapi lokal). 3. Monitoring respon pengobatan:  Setidaknya pemeriksaan kulit tahunan seumur hidup  Edukasi pasien untuk pemeriksaan kulit mandiri secara berkala serta pemeriksaan KGB untuk stadium IA-IV NED  Pemeriksaan darah rutin tidak direkomendasikan  Pencitraan radiologis diindikasikan untuk menginvestigasi tanda atau gejala spesifik USG KGB regional dapat dipertimbangkan pada pasien dengan pemeriksaan fisik KGB tidak jelas, pasien yang ditawarkan namun tidak menjalani SLNB, atau pasien dengan SLNB positif yang tidak menjalani diseksi KGB lengkap.  Ultrasonografi KGB basin bukan merupakan penganti SLNB.  Jadwal tindak-lanjut dipengaruhi oleh risiko rekurensi, melanoma primer sebelumnya, dan riwayat keluarga melanoma, dan meliputi faktor-faktor lain, seperti moles atipik/nevi displastik, dan kepentingan pasien/dokter

Tumor Kulit

350

V.

VI.

Prognosis Ad vitam Ad sanationam Ad fungsionam

: dubia ad bonam/malam : dubia ad bonam/malam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan 1. Bailey EC, Sober AJ, Tsao H, Mihm MC, Jr., Johnson TM. Cutaneous melanoma. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K editor. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012.h.1417-44. 2. Menzies SW, Crotty KA, Ingvar C, McCarthy WH. Dermoscopy. An atlas. Edisi ketiga. Sydney: McGraw-Hill; 2009. 3. Goulard JM, Halpern AC. Management of the patient with melanoma. Dalam: Rigel DS. Robinson JK, Ross M, Friedman RJ, Cockerell CJ, Lim HW, dkk. Cancer of the skin. Edisi ke-2. New York: Elsevier-Saunders; 2011.h.318-26 4. NCCN.org. Melanoma. NCCN clinical practice guidelines in oncology (NCCN Guidelines®). Version 4, 2014. 5. National Cancer Institute (US). Cancer.gov. Melanoma Treatment (PDQ®): Health professional version. Modifikasi terakhir 11 Juli 2014 [Diunduh tgl 27 April 2017]. Tersedia di: http://www.Cancer.gov/templates/page_print.aspx. 6. Balch CM, dkk. Melanoma of the skin. Dalam: Edge SE, Byrd DR, Carducci MA, Compton CC. AJCC cancer staging manual. Edisi ke-7. New York: Springer; 2010. 7. Berrocal A, Arrance A, Espinoza E, Castano AG, Cao MG, Larriba JLG, dkk. SEOM guidelines for management of malignant melanoma 2015. Clin Trans Oncol. 2015;17:1030-35.

Tumor Kulit

351

VII.

Bagan Alur Primer Biopsi eksisi

Biopsi insisi

MM insitu

Ketebalan

2 mm

Batas bebas

Batas bebas

Batas bebas

Batas bebas

Batas bebas

-

Pengawasan

Pertimbangkan SLNB

Lesi nodus tersangka

+

FNA/biopsi terbuka

+

-

CLND dan penetapan (mis CXR, LDH, CT)

+

Pertimbangkan IFN α2b atau percobaan klinik atau observasi

Dugaan penyakit tersebar

-

FNA dengan petunjuk CT atau biopsi terbuka

Soliter terbatas

Observasi ulang

Tidak ada perubahan

Progresif

SLNB CLND CXR PET

Pertimbangkan eksisi

Pengawasan

Tersebar

Metastasis SSP tidak ada

Pengobatan sistemik dacarbasin IL2 percobaan

SSP stabil

Metastasis SSP

Radiasi, eksisi beberapa lesi percobaan klinis

: surgical lymph node biopsy : completion lymph node dissection : chest X-ray : positron emission tomography

Tumor Kulit

352

INFEKSI MENULAR SEKSUAL G.1 Herpes simpleks genital (HG) G.2 Infeksi genital non spesifik (IGNS) G.3 Infeksi gonore G.4 Kandidosis vulvovaginalis (KVV) G.5 Kutil anogenital (KA) G.6 Sifilis G.7 Trikomoniasis G.8 Ulkus mole G.9 Vaginosis bakterial

Infeksi Menular Seksual

353

G.1

Herpes Simpleks Genital (HG) (A60)

I.

Definisi Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus Herpes simplex (VHS) tipe 2 atau tipe 1, dan bersifat rekuren. Infeksi akibat kedua tipe VHS bersifat seumur hidup; virus berdiam di jaringan saraf, yaitu di ganglia dorsalis.1 Perjalanan infeksi: 1. HG episode pertama lesi primer 2. HG episode pertama lesi non-primer 3. HG rekuren 4. HG asimtomatik 5. HG atipikal

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Diagnosis umumnya cukup secara klinis. 1. HG episode pertama lesi primer1-3  Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematosa, disertai rasa nyeri  Pasien lebih sering datang dengan lesi berupa ulkus dangkal multipel atau berkrusta  Dapat disertai disuria  Dapat disertai duh tubuh vagina atau uretra  Dapat disertai keluhan sistemik, demam, sakit kepala, nyeri otot, nyeri dan pembengkakan kelenjar getah bening inguinal  Keluhan neuropati (retensi urin, konstipasi, parestesi)  Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari  Lesi dapat berlangsung selama 12-21 hari 2. HG episode pertama lesi non primer1-3  Gambaran lesi sama seperti HG episode pertama primer  Umumnya lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan infeksi primer  Lesi yang tidak diobati dapat berlangsung 10-14 hari  Jarang disertai duh tubuh genital atau disuria, keluhan sistemik, dan neuropati. 3. HG rekuren1-3  Lesi lebih sedikit dan lebih ringan  Bersifat lokal, unilateral  Kelainan berlangsung lebih singkat dan dapat menghilang dalam waktu 5 hari  Dapat didahului oleh keluhan parestesi 1-2 hari sebelum timbul lesi  Umumnya mengenai daerah yang sama dapat di penis, vulva, anus, atau bokong  Riwayat pernah berulang

Infeksi Menular Seksual

354



Terdapat faktor pencetus: o Stres fisik/psikis o Senggama berlebihan o Minuman beralkohol o Menstruasi o Kadang-kadang sulit ditentukan

HG atipikal menyerang kulit seperti Herpes Whitlow di lokasi daerah jari, puting susu, bokong, dsb. HG subklinis hanya berupa lesi kemerahan atau erosi yang ringan kadang-kadang tampak vesikel. Keluhan nyeri radikulopati. Pada HG asimtomatik tidak ada gejala klinis, hanya reaksi serologis (antibodi herpes) reaktif. Pada pasien imunokompromais manifestasi lesi dapat bermacammacam yaitu berupa manifestasi ulkus yang atipikal hingga ulkus yang besar dan dalam.1 Diagnosis Banding1 1. Sifilis stadium 1 2. Chancroid 3. Limfogranuloma venereum 4. Granuloma inguinal Pemeriksaan Penunjang 1. Kultur virus. Sensitivitas kultur sebesar 67-70% bila sediaan diambil dari vesikel, 32% bila sediaan pustul, dan hanya positif sebesar 17% bila sediaan diambil dari krusta.1,4,5 (A,1) 2. Deteksi antigen (dengan enzyme immunoassay atau fluorescent antibody), atau PCR DNA HSV.4-6 (A,1) 3. Serologi IgM dan IgG anti-HSV 1 dan 2.4,6,7 (C,3)

III.

Penatalaksanaan Nonmedikamentosa Pada dasarnya semua tatalaksana non medikamentosa adalah sama untuk seluruh perjalanan infeksi yaitu4: 1. Pasien diberi edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah menular terutama bila ada lesi, dan infeksi ini dapat berulang; karena itu indikasi abstinens; lakukan penapisan untuk IMS lain dan HIV, notifikasi pasangan tetapnya. 2. Proteksi individual, anjurkan penggunaan kondom dan busa spermisidal. 3. Sedapat mungkin hindari faktor pencetus. 4. Bila pasien sudah merasa terganggu dengan kekerapan infeksi dan ada kecurigaan terjadi penurunan kualitas hidup, indikasi untuk konsul psikiatri. Medikamentosa Obat-obat simtomatik: 1. Pemberian analgetika, antipiretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual 2. Penggunaan antiseptik sebagai bahan kompres lesi atau dilanjutkan dalam air

Infeksi Menular Seksual

355

dan dipakai sebagai sit bath misalnya povidon jodium yang bersifat mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan. HG lesi episode pertama lesi primer 1. Asiklovir: 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau asiklovir: 3x400 mg/hari selama 7-10 hari8-11 (A,1) 2. Valasiklovir: 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari8-11 (A,1) 3. Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari8-11 (A,1) 4. Kasus berat perlu rawat inap: asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7-10 hari8-11 (A,1) HG rekuren 1. Lesi ringan: terapi simtomatik 2. Lesi berat:  Asiklovir 5x200 mg/hari, per oral selama 5 hari9,10,12 (A,1) atau asiklovir: 3x400 mg/hari selama 5 hari8-10,12 (A,1), atau asiklovir 3x800 mg/hari selama 2 hari8,13 (A,1)  Valasiklovir 2x500 mg selama 5 hari9,10,14 (A,1)  Famsiklovir 2x125 mg/hari selama 5 hari8,10,12 (A,1) 3. Rekurensi 6 kali/tahun atau lebih: diberi terapi supresif  Asiklovir 2x400 mg/hari8-10,15 (A,1)  Valasiklovir 1x500 mg/hari8-10,15 (A,1)  Famsiklovir 2x250 mg/hari8,10,15 (A,1) HG pasien imunokompromais 1. Pengobatan untuk kasus ini memerlukan waktu yang lebih lama, pengobatan diberikan hingga gejala klinis menghilang. 2. Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 5x400 mg/hari selama 5-10 hari8,16 (A,1) atau hingga tidak muncul lesi baru. 3. Valasiklovir 2x1000 mg/hari8,16 (A,1) 4. Famsiklovir 2x500 mg/hari.8,17 (A,1) Pada pasien yang berisiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima pengobatan oral, maka asiklovir diberikan secara intravena 5 mg/kgBB/hari tiap 8 jam selama 7-14 hari atau lebih lama. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sistemik, dianjurkan terapi asiklovir intravena 3x10 mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.8,11 (A,1) Untuk pasien dengan infeksi HIV simtomatik atau AIDS, digunakan asiklovir oral 5x400 mg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat dilanjutkan terapi supresif.8,16 (A,1) Pada pasien imunokompromais, kelainan akan sangat mudah terjadi rekurensi, sehingga pengobatan supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir 2x400 mg/hari8,16 (A,1) atau valasiklovir 2x500 mg/hari.8,16 (A,1) Herpes genital pada wanita hamil Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu menjelang persalinan dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban.10

Infeksi Menular Seksual

356

Asiklovir dosis supresi 3x400 mg/hari mulai dari usia 36 minggu dapat mencegah lesi HSV pada aterm.10,18-19 (A,1). Asiklovir dapat diberikan secara oral pada herpes genital episode pertama maupun rekuren dan diberikan secara intravena apabila manifestasinya berat.10 Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang menderita herpes genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral shedding atau memiliki lesi genital pada saat mendekati persalinan yang memerlukan seksio sesarea.10 Vaksin Herpes Saat ini belum ada vaksin yang disetujui untuk herpes genital. 4

IV.

Edukasi Beberapa pesan edukasi IMS yang perlu disampaikan: 1. Memberikan pengobatan antivirus supresif akan menurunkan rekurensi dan menurunkan ansietas serta memperbaiki kualitas hidup20 (B,2) 2. Perjalanan penyakit 3. Penggunaan antivirus untuk mengatasi keluhan 4. Risiko transmisi melalui kontak seksual 5. Transmisi melalui pemakaian barang bersama (handuk, toilet dll) 6. Abstinens ketika terjadi rekurensi atau prodromal 7. Transmisi juga dapat terjadi saat asymptomatic viral shedding 8. Penggunaan kondom dapat mengurangi transmisi.21 (B,2)

V.

Prognosis Prognosis bergantung pada derajat penyakit, kepatuhan pengobatan dan pengendalian faktor risiko. Secara umum: Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1. Holmes King k, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot Peter, Wasserheit JW, editor. Dalam: Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill; 2008. 2. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Kazt SI, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill, 2012 3. Handsfield HH. Color atlas and synopsis of sexually transmitted diseases. Edisi ke-2. New York: McGraw-Hill; 2001. 4. British Association for Sexual Health and HIV. 2014 UK National Guideline for the Management of Anogenital Herpes. August 2014:1-22. 5. Wald A, Huang ML, Carrell D, Selke S, Corey L. Polymerase Chain Reaction for Detection of Herpes Simplex Virus (HSV) DNA on Mucosal Surfaces: Comparison with HSV Isolation in Cell Culture. JID. 2003;188:1345-51. 6. Ramaswamy M, McDonald C, Smith M, Thomas D, Maxwell S, Tenant-Flower M, . 2014 UK National Guideline for the Management of Anogenital Herpes. Sex Transm Infect. 2004; 80:406-10. 7. Ashley RL. Performance and use of HSV type-specific serology test kits. Herpes 2002;9:38-45. 8. Centers for Diseases Control and Prevention. 2015 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR, 2015.

Infeksi Menular Seksual

357

9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual, 2015. 10. European guideline for the management of genital herpes, 2010. 11. Heslop R, Roberts H, Flower D, Jordan V. Interventions for men and women with their first episode of genital herpes (Review). Cochrane Library. 2016;8:1-170. 12. Chosidow O, Drouault Y, Leconte-Veyriac F, Aymard M, Ortonne JP, Pouget F, . Famciclovir vs. aciclovir in immunocompetent patients with recurrent genital herpes infections: a parallelgroups, randomized, double-blind clinical trial. BJD. 2001;144:818-24. 13. Wald A, Carrel D, Remington M, Kexel E, Zeh J, Corey L. Two-Day Regimen of Acyclovir for Treatment of Recurrent Genital Herpes Simplex Virus Type 2 Infection. CID. 2002;34:944-8 14. Bodsworth NJ, Crooks RJ, Borelli, Vejlsgaard G, Paavonen J, Worm AM, . Valaciclovir versus aciclovir in patient initiated treatment of recurrent genital herpes: a randomised, double blind clinical trial. Genitourin Med. 1997;73:110-6. 15. Lebrun-Vignes B, Bouzamondo A, Dupuy A, Guilaume JC, Lechat P, Chosidow O, . A meta analysis to assess the efficacy of oral antiviral treatment to prevent genital herpes outbreaks. J Am Acad Dermatol. 2007;57(2):238-46. 16. Conant MA, Schaker TW, Murphy RL, Gold J, Crutchfield RT, Crooks RJ, . Valaciclovir versus acyclovir for herpes simplex virus in HIV infected individuals: two randomized trials. International Journal of STD & AIDS. 2002;13:12-21. 17. Schacker T, Hu HL, Koelle DM, Zeh J, Saltzman R, Boon R, Shaughnessy M, . Famciclovir for the Supression of Symptomatic and Asymtomatic Herpes Simplex Virus Reactivation in HIVinfected Persons. Ann Intern Med.1998;128:21-8. 18. Hollier LM, Wendel GD. Third trimester antiviral prophylaxis for preventing maternal genital herpes simplex virus (HSV) recurrences and neonatal infection (Review). Cochrane Library.2008;2:1-22 19. Sheffield JS, Hollier LM, Hill JB, Stuart GS, Wendel Jr GD. Acyclovir Prophylaxis to Prevent Herpes Simplex Virus Recurrence at Delivery: A Systematic Review. Obstet Gynecol. 2003;103:1396-403. 20. Patel R, Tyring S, Strand A, . Impact of suppressive antiviral therapy on the health related quality of life of patients with recurrent genital herpes infection. Sex Transm Infect. 1999;75:398-402. 21. Martin ET, Krantz E, Gottlieb SL, Magaret AS, Langenberg A, Stanberry L, . A Pooled Analysis of the Effect of Condoms in Preventing HSV-2 Acquisition. Arch Intern Med.July 2009;169(13):1233-42.

Infeksi Menular Seksual

358

G.2 Infeksi Genital Nonspesifik (IGNS) (A64) I.

Definisi Infeksi saluran genital yang disebabkan oleh penyebab nonspesifik. Istilah ini meliputi berbagai keadaan, yaitu uretritis nonspesifik (UNS), uretritis nongonokokus (UNG), proktitis nonspesifik, dan infeksi genital nonspesifik (IGNS) pada perempuan.1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis Laki-laki:  Nyeri saat buang air kecil  Keluar duh tubuh uretra  Bisa asimtomatik Perempuan:  Keputihan  70-95% asimtomatik 2. Pemeriksaan klinis Laki-laki:  Duh tubuh uretra spontan, atau diperoleh dengan pengurutan/massage uretra  Disuria  Dapat asimtomatik Perempuan:  Duh tubuh vagina  Duh tubuh endoserviks mukopurulen  Ektopia serviks disertai edema, serviks rapuh, mudah berdarah  Disuria, bila mengenai uretra  70-95% asimtomatik4,5 Dapat terjadi komplikasi pada laki-laki yaitu epididimitis, orkitis, dan infertilitas serta komplikasi pada perempuan yaitu penyakit radang panggul, bartolinitis, infertilitas, perihepatitis.4,5 Diagnosis Banding Laki-laki: 1. Uretritis gonokokus2 2. Infeksi saluran kencing6 Perempuan:2 1. Servisitis gonokokus 2. Trikomoniasis 3. Vaginosis bakterial 4. Kandidosis vulvovaginalis

Infeksi Menular Seksual

359

Pemeriksaan Penunjang Spesimen dari duh tubuh genital:2,3 1. Sediaan apus Gram:  Jumlah leukosit PMN >5/LPB (laki-laki) atau >30/LPB (perempuan)  Tidak ditemukan etiologi spesifik 2. Sediaan basah:  Tidak ditemukan Trichomonas vaginalis Untuk menentukan infeksi Chlamydia trachomatis, bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan cara: 1. Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)(A,1)5,7 (kerjasama dengan bagian mikrobiologi dan bagian parasitologi)

III.

Penatalaksanaan Obat pilihan: 1. Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal2,5,8,9 (A,1) atau 2. Doksisiklin‖ 2x100 mg/hari, peroral selama 7 hari2,5,7-11 (A,1) Obat alternatif 1. Eritromisin 4x500 mg/hari per oral selama 7 hari 2,4,7 (A,1) Catatan: ―Doksisiklin tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak dibawah 12 tahun 2,4

IV.

Edukasi2,5 1. Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan seksual tetapnya. 2. Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya memakai kondom. 3. Kunjungan ulang pada hari ke-7. 4. Konseling:  Mengenai IGNS dan penyebabnya  Kemungkinan komplikasi  Cara penularan  Pentingnya penanganan pasangan seksual tetap  Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan yang berhubungan dalam 60 hari terakhir.7 Konseling umum: lihat halaman 378

V.

Prognosis11,12 Infeksi genital nonspesifik tanpa komplikasi: Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : bonam

Infeksi Menular Seksual

360

VI.

Kepustakaan 1. Stamm WE. Chlamydia trachomatis infections of the adult. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot P, dkk, editor. Sexually Transmitted Diseases. 4th edition. New York: Mc Graw-Hill. 2008.h.575-93. 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. 3. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H., editor. Infeksi menular seksual. Pedoman praktis diagnosis dan tata laksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 4. Nwokolo NC, Dragovic B, Patel S, Tong CYW, Barker G, Radcliffe K. 2015 UK national guidelines. 2015 5. Lanjouw E, Ouburg S, de Vries HJ, Stary A, Radcliffe K, Unemo M. European guideline on the management of Chlamydia trachomatis infections 2015. Int J STD AIDS. 2015;27(5):333-48 6. Martin DH. Urethritis in male. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot P., editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill; 2008.h.1107-26 7. CDC. Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases, 2015. MMWR. 2015; 64(3). 8. WHO. Guidelines for the treatment of Chlamydia trachomatis, 2016. 9. Manhart LE, Gillespie CW, Lowens MS, Khosropour CM, Colombara DV, Golden MR, Hakhu NR . Standard treatment regimens for nongonococcal urethritis have similar but declining cure rates: a randomized controlled trial. Clinical Infectious Diseases. 2013;56(7):934-42 10. Kong FY, Tabrisi SN, Fairley CK, Vodstrcil LA, Huston WM, Chen M . The efficacy of azithromycin and doxycycline for the treatment of rectal chlamydia infection: a systematic review and meta-analysis. J Antimicrob Chemother. 2015;70:1290-7 11. Geisler WM, Uniyal A, Lee JY, Lengsing SY, Johnson S, Perry RCW . Azithromycin versus doxycycline for urogenital Chlamydia trachomatis infection. N Engl J Med 2015;373:2512-21 12. Paavonen J. Chlamydia trachomatis infections. Dalam: Morse SA, Ballard RC, Holmes KK, Moreland AA editor. Atlas of sexually transmitted diseases and AIDS. Edisi ke-4. British: Saunders Elsevier; 2010.h.103-10.

Infeksi Menular Seksual

361

G.3

Infeksi Gonore (A54.9)

I.

Definisi Gonore adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae), suatu kuman Gram negatif, berbentuk biji kopi, terletak intrasel.1-3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1,2 1. Anamnesis Laki-laki:  Gatal pada ujung kemaluan  Nyeri saat kencing  Keluar duh tubuh berwarna putih atau kuning kehijauan kental dari uretra Perempuan:  Keputihan  Atau asimtomatik Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak seksual sebelumnya (coitus suspectus). 2. Pemeriksaan klinis Laki-laki:  Orifisium uretra hiperemis, edema, dan ektropion disertai disuria  Duh tubuh uretra mukopurulen  Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat menimbulkan duh tubuh anal atau nyeri/rasa tidak enak di anus/perianal  Infeksi pada faring biasanya asimtomatik Perempuan:  Seringkali asimtomatik  Serviks hiperemis, edema, kadang ektropion  Duh tubuh endoserviks mukopurulen  Dapat disertai nyeri pelvis/perut bagian bawah  Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria Dapat terjadi komplikasi pada laki-laki yaitu epididimitis, orkitis, dan infertilitas serta komplikasi pada perempuan yaitu penyakit radang panggul, bartolinitis, dan infertilitas. Diagnosis Banding1,4,5 Laki-laki: 1. Uretritis nongonokokus 2. Infeksi saluran kencing Perempuan: 1. Infeksi genital nonspesifik 2. Trikomoniasis 3. Bakterial vaginosis

Infeksi Menular Seksual

362

4. Kandidosis vulvovaginalis Pemeriksaan Penunjang1-4,6,7 1. Pemeriksaan Gram dari sediaan apus duh tubuh uretra atau serviks ditemukan diplokokus Gram negatif intraselular. Sensitivitas >95% dan spesifisitas >99% (pada laki-laki).6 2. Kultur menggunakan media selektif Thayer-Martin atau modifikasi ThayerMartin dan agar coklat McLeod (jika tersedia). 3. Tes definitif (dilakukan pada hasil kultur yang positif) (jika tersedia)  Tes oksidasi  Tes fermentasi  Tes beta-laktamase 4. Tes resistensi/sensitivitas: kerja sama dengan bagian Mikrobiologi 5. Untuk kecurigaan infeksi pada faring dan anus dapat dilakukan pemeriksaan dari bahan duh dengan kultur Thayer Martin atau polymerase chain reaction (PCR) dan nucleic acid amplification tests (NAATs) terhadap N. gonorrhoeae dan C. Trachomatis2,6

III.

Penatalaksanaan 1. Obat pilihan: sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal (A,1)4,8 2. Obat alternatif:  Seftriakson 250 mg injeksi IM dosis tunggal (A,1)4,9,10  Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal (D,5)4 Siprofloksasin dan ofloksasin sudah menunjukkan angka resistensi yang tinggi di beberapa kota, sehingga tidak dianjurkan lagi4 Bila sudah terjadi komplikasi seperti bartolinitis, prostatitis 1. Obat pilihan: sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari11 2. Obat alternatif:  Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari11 atau  Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari11 atau  Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari11 Karena infeksi gonokokus dan infeksi Chlamydia trachomatis hampir selalu bersamaan maka dalam pengobatan infeksi gonokokus sebaiknya diberikan juga pengobatan untuk infeksi Chlamydia.4,9 Bila infeksi gonokokus terjadi bersamaan dengan trikomoniasis maka pengobatan harus dilakukan bersama-sama untuk kedua infeksi ini.4

IV.

Edukasi4 1. Bila memungkinkan, periksa dan obati pasangan seksual tetapnya. 2. Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara klinis dan laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya memakai kondom.

Infeksi Menular Seksual

363

3. Kunjungan ulang pada hari ke-7 4. Konseling:  mengenai penyakit gonore  kemungkinan komplikasi  cara penularan  pentingnya penanganan pasangan seksual tetapnya Konseling umum: lihat halaman 378

V.

Prognosis1 Gonore akut tanpa komplikasi: Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : bonam

VI.

Kepustakaan 1. Hook EW, Handsfield HH. Gonococcal infections in the adult. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot P, dkk, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill; 2008.h.627-46. 2. Bignell C, FitzGerald M. UK national guideline for the management of gonorrhea in adults, 2011. International Journal of STD & AIDS. 2011; 22: 541–547. 3. Nilasari H, Daili SF. Gonore. In: Daili SF, Nilasari H, Indriatmi W, Zubier F, Romawi R, Retno S, editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2016.h.7587. 4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. 5. Martin DH. Urethritis in male. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot P, dkk, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill; 2008.h.1107-26. 6. CDC. Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases, 2015. MMWR;2015:64(3). 7. Ison CA, Lewis DA. Gonorrhea. Dalam: Morse SA, Ballard RC, Holmes KK, Moreland AA, editor. Atlas of sexually transmitted diseases and AIDS. Edisi ke-4. British: Saunders Elsevier; 2010.h.24-39. 8. Aplasca De Los Reyes MR, Pato—Mesola, Klausner JD, Manalastas R, Wi T, Tuazon CU, dkk. A randomized trial of ciprofloksacin versus cefixime for treatment of gonorrhea after rapid emergence of gonococcal ciprofloxacin resistance in the Philippines. Clin Infect Dis. 2001;32(9):1313-8. 9. WHO. Guidelines for the treatment of Neiserria gonorrhoeae. Geneva:WHO,2016. 10. Bai ZG, Bao XJ, Cheng WD, Yang KH, Li, YP. Efficacy and safety of ceftriaxone for uncomplicated gonorrhea: a meta-analysis of randomized controlled trials. Int J STD AIDS. 2012;23:126-32. Doi:10.1258/ijsa.2009.009198 11. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H., editor. Infeksi menular seksual. Pedoman praktis diagnosis dan tata laksana. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015.

Infeksi Menular Seksual

364

G.4 Kandidosis Vulvovaginalis (KVV) (B37.3) I.

Definisi Infeksi pada vulva dan vagina yang disebabkan oleh Candida albicans atau kadang oleh Candida sp, Torulopsis sp atau ragi lainnya.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1-4 1. Anamnesis  Gatal pada vulva  Vulva lecet, dapat timbul fisura  Dapat terjadi dispareunia 2. Pemeriksaan klinis Pada vulva dan vagina tampak:  Hiperemis  Dapat timbul fisura  Edema jika berat  Duh tubuh vagina, putih seperti susu, bergumpal, tidak berbau  Jika mengenai genitalia luar dapat dijumpai bercak/plak eritema dengan lesi satelit Diagnosis Banding1,2,5 1. Infeksi gonore 2. Infeksi genital nonspesifik 3. Trikomoniasis 4. Vaginosis bakterial Pemeriksaan Penunjang Bahan dari duh tubuh vagina yang berasal dari dinding lateral vagina, dilakukan pemeriksaan2: 1. Sediaan apus dengan pewarnaan Gram ditemukan blastospora dan atau pseudohifa2,4,6 (B,3) 2. Sediaan basah dengan larutan KOH 10% ditemukan blastospora dan atau pseudohifa2,4,6 (B,3) 3. Kultur jamur dengan media Saboraud2,4 (B,3)

III.

Penatalaksanaan Obat pilihan : 1. Klotrimazol 500 mg, intravagina dosis tunggal2,5,7,8 (A,1) atau 2. Klotrimazol 200 mg, intravagina selama 3 hari2,5,7,8 (A,1) atau 3. Nistatin 100.000 IU intravagina selama 7 hari5 (D,5) 4. Flukonazol*** 150 mg, per oral, dosis tunggal2,3,5,7,9 (A,1) atau 5. Itrakonazol*** 2x200 mg per oral selama 1 hari2,4,7,10 (A, 1) atau 6. Itrakonazol*** 1x200 mg/hari per oral selama 3 hari7,11 (A,1) atau 7. Ketokonazol# kapsul 2x200 mg/hari per oral selama 5 hari12

Infeksi Menular Seksual

365

Untuk kandidiasis vulvovaginal rekuren (kambuh ≥4x/tahun): Agen topikal atau flukonazol oral selama 10-14 hari dilanjutkan dengan flukonazol 150 mg/minggu selama 6 bulan.2,9,13 (A,1) Catatan: 1. Wanita hamil sebaiknya tidak diberikan obat sistemik 1,2,4,5 (B,2) 2. ***Tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun 3. Pada penderita dengan imunokompeten jarang terjadi komplikasi, sedangkan penderita dengan status imun rendah infeksi jamur dapat bersifat sistemik 4. #Ketokonazol tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang

IV.

Edukasi1,4 1. Hindari bahan iritan lokal, misalnya produk berparfum4 (C,4) 2. Hindari pemakaian bilas vagina 3. Hindari pakaian ketat atau dari bahan sintesis4 (C,4) 4. Hilangkan faktor predisposisi: hormonal, pemakaian kortikosteroid dan antibiotik yang terlalu lama, kegemukan

V.

Prognosis1,3 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

Infeksi Menular Seksual

: bonam : bonam : dubia ad bonam

366

VI.

Kepustakaan 1. Sobel JD. Vulvovaginal Candidiasis. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wesserheit JN, Corey L, dkk., editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke- 4. New York. Mc.GrawHil; 2008.h.823-38. 2. Sherrard J, Donders G, White D. 2011 European (IUSTI/WHO) guideline on the management of vaginal discharge. WHO; 2011. 3. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines 2015. CDC MMWR Recomm Rep 2015;64(3):75-8. 4. Clinical Effectiveness Group British Association of Sexual Health and HIV. United Kingdom National Guideline on The Management of Vulvovaginal Candidiasis (2007), 2007. 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. 6. van Schalkwyk J, Yudin MH. Vulvovaginitis: screening for and management of trichomoniasis, vulvovaginal candidiasis, and bacterial vaginosis. J Obstet Gynaecol Can. 2015;37(3):266-274 7. Watson MC, Grimshaw JM, Bond CM, Mollison J, Ludbrook A. Oral versus intra-vaginal imidazole and triazole anti-fungal treatment of uncomplicated vulvovaginal candidiasis (thrush): a systematic review. BJOG Int J Obster Gynaecol. 2002;109:85-95 8. Young GL, Jewell D.
Topical treatment for vaginal candidiasis (thrush) in pregnancy. Cochrane database Syst Rev. 2001;(4):CD000225 9. Pappas PG, Kauffman CA, Andes DR, Clancy CJ, Marr KA, Ostroky-Zeichner. Clinical practice guideline for the management of candidiasis: 2016 update by the infectious diseases society of America. Clinical Infectious Disease. 2016;62(4):1-50.doi:10.1093/cid/civ933 10. Austin TW, Steben M, Powell M, Romanowski B, Megran DW, Garber GE, Margesson LJ. Short-course itraconazole in the treatment of candida vulvovaginitis: a multicenter Canadian study. Can J infect Dis. 1996;7(2):110-4. 11. De Punzio C, Garutti P, Mollica G, Nappi C, Piccoli R, Genazzani AR. Fluconazole 150 mg single dose versus itraconazole 200 mg per day for 3 days in the treatment of acute vaginal candidiasis: a double-blind randomized study. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2003; 106(2):193-7. 12. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H, editor. Infeksi menular seksual pedoman praktis diagnosis dan tatalaksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 13. Sobel JD, Wiesenfeld HC, Martens M, Danna P, Hooton TM, Rompalo A, . Maintenance Fluconazole Therapy for Recurrent Vulvovaginal Candidiasis. N Engl J Med. 2004;351(9):876:83.

Infeksi Menular Seksual

367

G.5 Kutil Anogenital (A63.0) I.

Definisi Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus papilloma humanus (VPH) tipe tertentu dengan kelainan pada kulit dan mukosa anogenital.1 Sebanyak 90% disebabkan HPV tipe 6 dan tipe 11, masa inkubasi 3 minggu sampai dengan 8 bulan, bahkan sampai dengan 18 bulan.2,3

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis:1-3  Benjolan di daerah genital yang tidak nyeri  Adanya riwayat kontak seksual sebelumnya 2. Pemeriksaan klinis:  Vegetasi atau papul soliter dapat juga multipel1  Terdapat empat morfologi:1,4 o Akuminata o Papul dengan permukaan menyerupai kubah o Papul keratotik dengan permukaan kasar o Papul datar  Bentuk lain:1 o Bowenoid papullosis yang merupakan varian lesi papula berbentuk kubah atau datar, berwarna hitam, dan ditemukan tipe HPV risiko tinggi yaitu tipe 16. o Giant condyloma atau Buscke-Lowenstein tumor yaitu lesi yang berukuran lebih besar, bersifat invasif dan destruktif secara lokal, namun tidak bermetastasis, serta ditemukan HPV tipe 6 dan tipe 11.  Lesi di perianal dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan tetapi lebih umum ditemukan pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL).3  Lesi di anus biasanya berkaitan dengan hubungan seks anogenital penetratif.3 Diagnosis Banding1 1. Pearly penile papules (laki-laki) dan vestibular papillae (perempuan) 2. Fordyce spot 3. Kondiloma lata 4. Keratosis seboroik 5. Nevus melanositik 6. Skin tag 7. Moluskum kontagiosum 8. Karsinoma sel skuamosa

Infeksi Menular Seksual

368

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan ini hanya dilakukan bila lesi meragukan, atau tidak berespons dengan pengobatan.2,3,5 2. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan ini untuk mengetahui tipe HPV, namun bukan untuk menegakkan diagnosis.1,2 3. Tes asam asetat 5% Tes ini dipakai untuk mendeteksi lesi yang meragukan/subklinis, tipe papul datar. Asam asetat 5% dibubuhkan pada lesi yang dicurigai selama 5 menit. Hasil: lesi akan berubah warna menjadi putih (tes acetowhite positif).2,5,6

III.

Penatalaksanaan Jenis terapi yang akan diberikan tergantung dari ukuran, jumlah, dan lokasi lesi. Selain itu juga ketersediaan alat dan obat, keinginan pasien dan pengalaman dokter.2,3 Obat pilihan: Tinktura podofilin 25%2,8-10 (A,1) 1. Harus diaplikasikan oleh dokter 2. Direkomendasikan untuk lesi dengan permukaan verukosa 3. Efikasi 19-79%, rekurensi 17-74% 4. Tidak boleh pada ibu hamil dan menyusui, serta lesi yang luas 5. Cara: lindungi kulit sekitar lesi dengan vaselin agar tidak terjadi iritasi, biarkan selama 4 jam, kemudian cuci. Pengobatan dapat dilakukan seminggu dua kali, sampai lesi hilang. Larutan asam trikloroasetat 80-90%2,5-8,10 (A,1) 1. Harus diaplikasikan oleh dokter 2. Direkomendasikan untuk lesi di genital eksterna, serviks dan di dalam anus 3. Efikasi 70-81%, rekurensi 36% 4. Dapat digunakan pada ibu hamil 5. Cara: larutan diaplikasikan pada lesi sampai berwarna putih, biarkan sampai kering sebelum pasien duduk atau berdiri. Catatan: ada kepustakaan yang menyatakan bila pasien mengeluh kesakitan dan pengolesan yang berlebihan sehingga mengenai tepi lesi, maka dapat dicuci dengan air sabun, dapat juga menggunakan larutan natrium bikarbonat. Pengobatan dapat diulang seminggu sekali sampai lesi hilang. 2,8 Podofilotoksin 0,5%3,5,7,8,11 (A,1) 1. Dapat diaplikasi oleh pasien 2. Terapi diberikan 2 kali sehari selama 3 hari, selanjutnya istirahat 4 hari, diulang selama 4-5 sesi 3. Tidak boleh digunakan pada ibu hamil Krioterapi2,7,8,12,13 (A,1) 1. Harus diaplikasikan oleh dokter 2. Direkomendasikan untuk lesi di genital eksterna, vagina, serviks, meatus uretra, dan di dalam anus

Infeksi Menular Seksual

369

3. Efikasi 79-88%, rekurensi 24-40% 4. Cara: cairan nitrogen dapat diaplikasikan dengan semprotan, lidi kapas, atau cryoprobe (tidak boleh untuk lesi di vagina). Cairan harus diaplikasikan sampai timbul halo yang berwarna putih, 2 mm di tepi lesi. Teknik aplikasi dapat dengan single freeze atau double freezethaw. Freezing dapat selama 15-30 detik. Pengobatan dapat diulang seminggu sekali sampai lesi hilang. Bedah kauterisasi (A,1)3,5,7,8,14 1. Direkomendasikan untuk lesi di anogenital, terutama lesi berukuran besar 2. Efikasi 94%, rekurensi 23% Laser CO2 (A,1)3,5,7,8,15 1. Harus diaplikasikan oleh dokter 2. Direkomendasikan untuk lesi di anogenital, vagina dan serviks, terutama lesi berukuran besar. 3. Efikasi 67-100%, rekurensi 7-25% 4. Masker harus digunakan pada saat tindakan Bedah eksisi (A,1)3,5,7,8,16 1. Diindikasikan untuk lesi yang sangat besar sehingga menimbulkan obstruksi atau tidak dapat dilakukan terapi dengan cara lainnya 2. Efikasi 89-93%, rekurensi 18-19% Catatan: Apabila 6x pengobatan dengan 1 metode aplikasi, tidak menunjukkan perbaikan, dapat diganti dengan metode aplikasi lain1,7

IV.

Edukasi1,2,7 1. Kunjungan ulang: dilakukan 3-7 hari setelah terapi dimulai 2. Konseling, kemungkinan risiko tertular HIV dan IMS lainnya 3. Penapisan HIV dan sifilis (RPR dan TPHA)7 4. Pemeriksaan Pap smear disarankan setiap 3 tahun bagi perempuan usia ≥21 tahun2 5. Pasangan seksual:7  Diinformasikan kemungkinan tertular walaupun tidak tampak lesi  Pemeriksaan tipe HPV tidak direkomendasikan  Dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya lesi dan IMS lainnya Pencegahan: 1. Perubahan perilaku  Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah  Setia terhadap pasangan  Penggunaan kondom 2. Vaksin:1,2,17  Kuadrivalen  Bivalen

Infeksi Menular Seksual

370

V.

VI.

Prognosis1 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: bonam : bonam : dubia

Kepustakaan 1. Winer RL, Koutsky LA. Genital human papillomavirus infection. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling FP, Lemon SM, Stam WE, Piot P, et al, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: Mc Graw-Hill; 2008.h.489-508.. 2. CDC. Sexually transmitted diseases treatment guidelines. MMWR Recomm Rep. 2015;64(3):90-3. 3. Gilson R, Nathan M, Sonnex C, Lazaro N, Keirs T. UK national guidelines on the management anogenital warts 2015. BASHH, 2015. 4. Morse SA, Holmes KK, Ballard RC, Moreland AA. Atlas of sexually transmitted diseases and AIDS. Edisi ke-3. Saunders Elsevier; 2010. 5. Lacey CJN, Woodhall SC, Wikstrom A, Ross J. 2012 European guideline for the management of anogenital warts. JEADV. 2013;27:263-70 6. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H., editor. Infeksi menular seksual. Pedoman praktis diagnosis dan tata laksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 8. Canadian guideline on sexually transmitted infections. Human papillomavirus virus (HPV) infections chapter, 2014. 9. Simmons PD. Podophyllin 10% and 25% in the tretment of ano-genital warts. A comparative double-blind study. Br J Vener Dis. 1981;57:208-9. 10. Pezeshkpoor F, Banihasherni M, Yazdanpanah MJ, Yousefzadeh H, Sharghi M, Hoseinzadeh H. Comparative study of topical 80% trichloroacetic acid with 35% tichloroacetic acid in the treatment of the common wart. J Drugs Dermatol. 2012;11(11):66-9. 11. Lacey CJN, Goodall RL, Tenvall GR, Maw R. Kinghorn GR, Fisk PG . Randomised controlled trial and economic evaluation of podophyllotoxin solution, podophyllotoxin cream, and podophyllin in the treatment of genital warts. Sex Transm Inf. 2003;79:270-75. 12. Godley MJ, Bradbeer CS, Gellan M, Thin RNT. Cryotherapy compared with trichloroacetic acid in treating genital warts. Genitourin Med. 1987;63:390-2. 13. Abdullah AN, Walzman M, Wade A. Treatment of external genital warts comparing cryotherapy (liquid nitrogen) and thrichloroacetic acid. Sex Transm Dis. 1993; 20(6):344-5. 14. Stone KM, Becker TM, Hadgu A, Kraus SJ. Treatment of external genital warts: a randomized clinical trial comparing podophyllin, cryotherapy, and electrodesiccation. Genitourin Med. 1990;66:16-9. 15. Azizjalali M, Ghaffarpour GH, Mousafivard B. CO2 laser therapy versus cryotherapy in treatment of genital warts: a randomized controlled trial (RCT). Iran J Microbiol. 2012; 4(4): 187-90. 16. Khawaja HT. Podophyllin versus scissor excision in the treatment of perianal condylomata acuminate: a prospective study. Br J Surg. 1989;76(10):1067-68. 17. Konsensus Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI). Jakarta; 2007.

Infeksi Menular Seksual

371

G.6 Sifilis (A51) I.

Definisi Penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum, bersifat kronis, sejak awal merupakan infeksi sistemik, dalam perjalanan penyakitnya dapat mengenai hampir seluruh struktur tubuh, dengan manifestasi klinis yang jelas namun terdapat masa laten yang sepenuhnya asimtomatik, mampu menyerupai berbagai macam penyakit, dapat ditularkan kepada janin dalam kandungan, dan dapat disembuhkan. Sifilis dapat diklasifikasikan menjadi sifilis didapat dan sifilis kongenital. Sifilis didapat terdiri atas stadium primer, sekunder, dan tersier, serta periode laten di antara stadium sekunder dan tersier.

II.

Kriteria Diagnostik Klinis Stadium I (Sifilis primer) – ICD10: A51  Ulkus tunggal, tepi teratur, dasar bersih, terdapat indurasi, tidak nyeri; terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional.  Lokasi: di tempat kontak dengan lesi infeksius pasangan seksual. Pada laki-laki sering didapatkan di penis (terutama di glans penis atau sekitar sulkus koronarius) dan skrotum; pada perempuan didapatkan di vulva, serviks, fourchette, atau perineum. Namun dapat pula ulkus tidak tampak dan tidak disadari oleh pasien. Stadium II (Sifilis sekunder) – ICD10: A51.3  Terdapat lesi kulit yang polimorfik, tidak gatal dan lesi di mukosa, sering disertai pembesaran kelenjar getah bening generalisata yang tidak nyeri (limfadenopati). Stadium laten – ICD10: A53.0  Tidak ditemukan gejala klinis pada pasien, namun tes serologi sifilis (TSS) reaktif, baik serologi treponema maupun nontreponema. Stadium III (Sifilis tersier) – ICD10: A52  Didapatkan gumma, yaitu infiltrat sirkumskrip kronis yang cenderung mengalami perlunakan dan bersifat destruktif. Dapat mengenai kulit, mukosa dan tulang. Diagnosis Banding 1. Sifilis primer: herpes simpleks, ulkus piogenik, skabies, balanitis, LGV, karsinoma sel skuamosa, penyakit Behcet, ulkus mole 2. Sifilis sekunder: erupsi obat alergik, morbili, pitiriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondilomata akuminata, alopesia areata 3. Sifilis tersier: sporotrikosis, aktinomikosis, tuberkulosis kutis gumosa, keganasan

Infeksi Menular Seksual

372

Pemeriksaan Penunjang Tabel 1. Pemeriksaan penunjang sifilis Sifilis primer RPR atau VDRL Dapat reaktif atau non reaktif TPHA Reaktif

III.

Sifilis sekunder Reaktif, titer tinggi

Sifilis laten Reaktif

Reaktif

Reaktif

Penatalaksanaan Obat pilihan: Benzil benzatin penisilin G (BBPG), dengan dosis: 1. Stadium primer dan sekunder: 2,4 juta Unit, injeksi intramuskular, dosis tunggal (A,1)2,3-6 Cara: satu injeksi 2,4 juta Unit IM pada 1 bokong, atau 1,2 juta Unit pada setiap bokong. 2. Stadium laten: 2,4 juta Unit injeksi intramuskular, setiap minggu, pada hari ke1, 8 dan 15 (B,2)2,3 Sesudah diinjeksi, pasien diminta menunggu selama 30 menit. Obat alternatif: bila alergi terhadap penisilin atau pasien menolak injeksi atau tidak tersedia BBPG: 1. Doksisiklin 2x100 mg oral selama 14 hari untuk stadium primer dan sekunder (B,3) atau selama 28 hari untuk sifilis laten.2,3 (B,3) Doksisiklin 2x100 mg oral selama 30 hari untuk stadium primer dan sekunder atau lebih dari 30 hari untuk sifilis laten.4 (D,5) 2. Eritromisin 4x500 mg oral selama 14 hari untuk ibu hamil dengan sifilis stadium primer dan sekunder, atau 30 hari untuk sifilis laten (very low quality evidence, conditional recommendation)3 Eritromisin 4x500 mg oral selama 30 hari untuk ibu hamil dengan sifilis stadium primer dan sekunder, atau lebih dari 30 hari untuk sifilis laten.4 (D,5) Evaluasi terapi: evaluasi secara klinis dan serologi dilakukan pada bulan ke-1, 3, 6, dan 12. Kriteria sembuh: titer VDRL atau RPR menurun 4 kali lipat dalam 6 bulan setelah pengobatan.

IV.

Edukasi 1. Sedapat mungkin pasangan seksual ikut diobati 2. Konseling/edukasi:  Mengenai penyakit sifilis, cara penularan, pencegahan, dan pengobatan  Risiko mudah tertular HIV perlu dilakukan KTIP (Konseling dan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan)  Konseling umum: lihat halaman 378

Infeksi Menular Seksual

373

V.

VI.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

: bonam : bonam : bonam

Kepustakaan 1. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Clinical manifestations of syphilis. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wesserheit JN, Corey L, et al, editor. Sexually transmitted diseases. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill; 2008.h.661-88. 2. Janier M, Hegyi V, Dupin N, Unemo M, Tiplica GS, Potocnik M. 2014 European guideline on the management of syphilis. JEADV. 2014;28:1581-93. 3. WHO. Guidelines for the treatment of Treponema pallidum (syphilis). Geneva: WHO, 2016. 4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2015. 5. Clement ME, Okeke NL, Hicks CB. Treatment of syphilis a systematic review. JAMA. 2014;312(18):1905-17. 6. Hook III EW, Behets F, Van Damme K, Ravelomanana N, Leone P, Sena AC . A phase III equivalence trial of azithromycin versus benzathine penicillin for treatment of early syphilis. JID. 2010;201(10):1729-35.

Infeksi Menular Seksual

374

G.7 Trikomoniasis (A59.0) I.

Definisi Penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh parasit berflagel Trichomonas vaginalis.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis Perempuan:  10-50% asimtomatik2,3  Keputihan berbau busuk, warna kuning kehijauan, kadang-kadang berbusa. Jumlah keputihan yang banyak mengiritasi kulit sekitar vulva menimbulkan keluhan gatal dan perih pada vulva dan kulit sekitarnya3 Laki-laki:  15–50% asimtomatik, biasanya sebagai pasangan seksual perempuan yang terinfeksi3  Duh tubuh uretra sedikit atau sedang, dan atau nyeri saat kencing, dapat juga iritasi uretra dan sering miksi3 Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak seksual sebelumnya (coitus suspectus) 2. Pemeriksaan klinis Perempuan:3,4  Pada daerah forniks posterior, tampak duh tubuh vagina seropurulen, berbau busuk, jumlahnya sedikit sampai banyak, berwarna kuning kehijauan, berbusa, dapat terjadi pada 10-30% wanita, dapat disertai gatal pada vulva  Kadang terdapat rasa tidak enak di perut bagian bawah  Vulvitis dan vaginitis  Gambaran strawberry cervix dapat ditemukan pada 2% pasien Laki-laki:3  Duh tubuh uretra sedikit atau sedang, dan/atau disuria, dapat juga iritasi uretra dan sering miksi  Jarang: duh tubuh uretra purulen Diagnosis Banding4,5 1. Infeksi genital nonspesifik 2. Servisitis gonokokus 3. Kandidosis vulvovaginalis 4. Vaginosis bakterial Pemeriksaan Penunjang Perempuan: Bahan duh tubuh yang berasal dari forniks posterior dilakukan pemeriksaan sediaan basah dengan larutan NaCl fisiologis, didapati parasit Trichomonas vaginalis dengan pergerakan flagelanya yang khas.2,3 (B,3)

Infeksi Menular Seksual

375

Laki-laki: Bahan sedimen urin sewaktu, dapat ditemukan parasit Trichomonas vaginalis.6

III.

Penatalaksanaan Obat pilihan: 1. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal2-7 (A,1) atau 2. Metronidazol 2x500 mg/hari per oral selama 7 hari5,7 (A,1) Catatan: Pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol selama pengobatan hingga 48 jam sesudahnya untuk menghindari disulfiram-like reaction.2

IV.

Edukasi3,5 1. Abstinensia sampai dinyatakan sembuh 2. Kunjungan ulang pada hari ke-7 3. Konseling/edukasi:  Mengenai trikomoniasis, cara penularan, pentingnya mematuhi pengobatan, dan pentingnya penanganan pasangan seksual tetapnya  Kemungkinan risiko tertular HIV, sifilis, dan IMS lain Konseling umum: lihat halaman 378

V.

Prognosis3,6,7 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

VI.

: bonam : bonam : bonam

Kepustakaan 1. Hobbs MM, Sena AC, Swygard H, Schwebke JR. Trichomonas vaginalis and trichomoniasis. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wesserheit JN, Corey L, dkk., editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York. Mc.GrawHil; 2008.h.771-94. 2. Sherrad J, Donders G, White D. 2011 European (IUSTI/WHO) guideline on the management of vaginal discharge. Int J STD AIDS. 2011;22(8):421-9. Doi: 10.1258/ijsa.2011.011012 3. Sherrad J, Ison C, Moody J, Wainwright E, Wilson J, Sullivan A. United Kingdom national guidelines on the management of trichomonas vaginalis. BASSH; 2014. 4. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H, editor. Infeksi menular seksual pedoman praktis diagnosis dan tatalaksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 5. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 6. CDC. Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR. 2015; 64(3). 7. Van Schalkwyk J, Yudin MH. Vulvovaginitis: screening for and management of trichomoniasis, vulvovaginal candidiasis, and bacterial vaginosis. J Obstet Gynaecol Can. 2015;37(3):266-74.

Infeksi Menular Seksual

376

G.8 Ulkus Mole (A57) I.

Definisi Penyakit ulkus genital yang disebabkan oleh Haemophyllus ducreyi.1

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1-5 1. Anamnesis:  Luka pada kelamin yang nyeri  Terdapat riwayat kontak seksual sebelumnya 2. Pemeriksaan klinis:  Ulkus multipel, perabaan lunak dan sangat nyeri, tepi tidak teratur, dinding bergaung, dasar kotor.1-3  Lesi pada laki-laki biasanya terbatas pada frenulum, sulkus koronarius, preputium1,2,4  Sedangkan lesi pada perempuan sebagian besar pada vagina atau introitus vagina.1,2,4 Diagnosis Banding1,3 1. Herpes genitalis 2. Sifilis stadium I 3. Limfogranuloma venereum 4. Granuloma inguinale Pemeriksaan Penunjang Sediaan apus dari dasar ulkus dan diwarnai dengan pewarnaan Gram atau Unna Pappenheim, ditemukan coccobacillus negatif Gram yang berderet seperti rantai.1,4 Catatan: pemeriksaan laboratorium ini dapat mendukung diagnosis, tetapi bila klinis jelas, dan laboratorium tidak ditemukan kuman penyebab, tetap dianggap sebagai ulkus mole.

III.

Penatalaksanaan Obat pilihan : 1. Siprofloksasin‖ 2x500 mg per oral selama 3 hari2-4 (B,1) atau 2. Azitromisin 1 gram per oral dosis tunggal2-8 (A,1) atau 3. Eritromisin 4x500 mg per oral selama 7 hari3-8 (A,1) atau 4. Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular dosis tunggal2-7 (A,1) Catatan: ―tidak boleh diberikan kepada ibu hamil/menyusui atau anak berumur kurang dari 12 tahun3,6

Infeksi Menular Seksual

377

IV.

Edukasi 1. Sedapat mungkin lakukan penanganan terhadap pasangan seksualnya.3,8 2. Anjurkan abstinensia sampai terbukti sembuh secara klinis dan laboratoris, dan bila tidak dapat menahan diri supaya memakai kondom.3,8 3. Kunjungan ulang pada hari ke-7.3 4. Konseling/edukasi:3 a. Mengenai ulkus mole dan penyebabnya b. Kemungkinan komplikasi c. Cara penularan, pencegahan, dan pengobatan Konseling umum: lihat lampiran di bagian akhir PPK infeksi menular seksual

V.

Prognosis2,6 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

VI.

: bonam : bonam : bonam

Kepustakaan 1. Spinola SM. Chancroid and haemophilus ducreyi. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wesserheit JN, Corey L, et al, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York. Mc.GrawHil; 2008.h.689-700. 2. CDC. 2015 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR. 2015; 64(3). 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015. 4. Clinical Effectiveness Group. UK National guideline for the management of chancroid 2014. London (UK): British Association for Sexual Health and HIV (BASHH), 2014. 5. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H, editor. Infeksi menular seksual pedoman praktis diagnosis dan tatalaksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 6. Lautenschlager S, Kemp M, Christensen JJ, Mayans MV, Moi H. 2017 European guideline for the management of chancroid. Int J STD AIDS. 2017:1-6. Doi: 10.1177/0956462416687913 7. Martin DH, Sargent SJ, Wendel GD, McCormack WM, Spier NA, Johnson RB. Comparison of azithromycin and ceftriaxone for the treatment of chancroid. Clinical infectious disease. 1995;21:409-14. 8. Tyndall MW . Single dose azithromycin for the treatment of chancroid: a randomized comparison with erythromycin. Sex Transm Dis. 1994;21(4):231-4.

Infeksi Menular Seksual

378

G.9 Vaginosis Bakterial (N76) I.

Definisi Sindrom klinis yang disebabkan oleh pergantian Lactobaccillus sp penghasil H2O2 yang normal di dalam vagina dengan sekelompok bakteri anaerob batang gram negatif (Prevotella sp, Mobiluncus sp), Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma horminis. Umumnya menginfeksi perempuan, ditandai oleh adanya duh tubuh vagina berbau amis.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis1,3,4 1. Anamnesis:  50% perempuan asimtomatik  Keputihan berbau amis, terutama setelah selesai senggama 2. Pemeriksaan klinis:  Duh tubuh vagina warna putih homogen, melekat, berbau amis pada dinding vagina dan vestibulum, kadang-kadang disertai rasa gatal.  Vagina dan serviks tidak ada kelainan Diagnosis Banding5 1. Infeksi genital nonspesifik 2. Servisitis gonokokus 3. Trikomoniasis 4. Kandidosis vulvo-vaginalis Pemeriksaan Penunjang Memenuhi kriteria Amsel yaitu (3 dari 4 gejala)4 (B,2): 1. Duh vagina sesuai klinis 2. Tes amin/Whiff test, hasil positif (tercium bau amis seperti ikan pada duh tubuh vagina yang ditetesi dengan larutan KOH 10%) 3. pH cairan vagina >4,5 4. Sediaan basah dengan larutan NaCI fisiologis atau sediaan apus dengan pewarnaan Gram ditemukan clue cells

III.

Penatalaksanaan Obat pilihan: 1. Metronidazol 2x500 mg/hari selama 7 hari5-8 (A,1) atau 2. Metronidazol 2 gram per oral dosis tunggal5,6,9 (A,1) atau Obat alternatif: 5,6,10 1. Klindamisin 2x300 mg/hari per oral selama 7 hari (A,1) Catatan: Pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol selama pengobatan dengan metronidazol berlangsung sampai 48 jam sesudahnya untuk menghindari disulfiram-like reaction4

Infeksi Menular Seksual

379

IV.

Edukasi1,7,11,12 1. Pasien dianjurkan untuk menghindari pemakaian bilas vagina atau antiseptik 2. Memakai pakaian/celana dalam longgar 3. Konseling tentang:  Penyakit dan penyebabnya  Kemungkinan komplikasi obstetrik dan ginekologik tertentu, misalnya korioamnionitis, infeksi masa nifas, kelahiran prematur, bayi berat badan lahir rendah, dan penyakit radang panggul.

V.

Prognosis4 Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam

VI.

: bonam : bonam : dubia

Kepustakaan 1. Hillier SL, Marrazzo JM, Holmes KK. Bacterial vaginosis. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wesserheit JN, Corey L, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York. Mc.GrawHil; 2008.h.737-68 2. CDC. 2015 Guidelines for treatment of sexually transmitted diseases. MMWR. 2015; 64(3). 3. Hay P, Patel S, Daniels D. UK national guideline for the management of bacterial vaginosis 2012. BASSH; 2012. 4. Sherrad J, Donders G, White D. 2011 European (IUSTI/WHO) guideline on the management of vaginal discharge. Int J STD AIDS. 2011;22(8):421-9. Doi: 10.1258/ijsa.2011.011012 5. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 6. Daili SF, Indriatmi W, Zubier F, Nilasari H, editor. Infeksi menular seksual pedoman praktis diagnosis dan tatalaksana. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. 7. Abbaspoor Z, Rabee Z, Najjar S. Efficacy and safety of oral tinidazole and metronidazole in treatment of bacterial vaginosis: a randomized control trial. International Journal of Pharmacological Research. 2014;4(2). 8. Schwebke JR, Desmond RA. Tinidazole vs metronidazole for the treatment of bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol. 2011;204(3):211.e1-6. 9. Chaithongwongwatthana S, Limpongsanurak S, Sitthi-Amom C. Single hydrogen peroxide vaginal douching versus single-dose oral metronidazole for the treatment of bacterial vaginosis: a randomized controlled trial. Med Assoc Thai. 2003;86 Suppl 2:S379-84. 10. Uqwumadu A, Manyonda I, Reid F, Hay P. Effect of early oral clindamycin on late miscarriage and preterm delivery in asymptomatic women with abnormal vaginal flora and bacterial vaginosis: a randomized controlled trial. Lancet. 2003;361(9362):983-8. 11. Brotman RM, Ghanem KG, Klebanoff MA, Taha ET, Scharfstein DO, Zenilman JM. The effect of vaginal douching cessation on bacterial vaginosis: a pilot study. Am J Obstet Gynecol. 2008;198(6):628.e1-628.e7. 12. Brotman RM, Klebanoff MA, Nansel TR, Andrews WW, Schwebke. Zhang J. A longitudinal study of vaginal douching and bacterial vaginosis-a marginal structural modeling analysis. Am J Epidemiol. 2008;168:188-196.

Infeksi Menular Seksual

380

Lampiran 1.

Konseling Umum Bagi Pasien Infeksi Menular Seksual (IMS)

Konseling bagi pasien IMS merupakan peluang penting untuk dapat sekaligus memberikan edukasi tentang pencegahan infeksi HIV pada seseorang yang berisiko terhadap penyakit tersebut.1 Beberapa pesan tentang IMS yang perlu disampaikan:1 1. Mengobati sendiri cukup berbahaya 2. IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual 3. IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV 4. IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas 5. Pasangan seksual perlu diperiksa dan diobati 6. Kondom dapat melindungi diri dari infeksi IMS dan HIV 7. Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat 8. Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien Rincian penjelasan kepada pasien IMS: 1. Kemungkinan risiko tertular hepatitis B, hepatitis C, sifilis, dan IMS lainnya1 2. Tawarkan pemeriksaan serologis sifilis1 3. Konseling dan tes HIV (KT HIV) dengan prinsip dasasr 5 C (informed consent, confidentiality, counseling, correct test results, connections to care treatment and prevention services):  Menggunakan alur layanan: o Konseling dan tes secara sukarela (KTS): konseling pretes-tes darah/rapid diagnostic test-konseling pasca tes) atau o Konseling dan tes atas inisitatif petugas kesehatan (KTIP): pemberian informasi tentang HIV/AIDS-tes darah  Hasil tes darah HIV non-reaktif diberikan informasi tentang: masa jendela, pencegahan penularan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak, perencanaan kehamilan/keluarga berencana (KB) dan anjuran konseling/edukasi/tes darah pada pasangan  Semua hasil tes darah reaktif dirujuk ke tim perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) di fasilitas layanan kesehatan terdekat  Semua kasus IMS, hepatitis B, hepatitis C, ibu hamil, pecandu napza/IDU, wanita penjaja seks (WPS), lesbian gay bisexual transgender (LGBT) dan pasangannya wajib dilakukan KT HIV.2 Kepustakaan 1.

2.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 74 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV.

Infeksi Menular Seksual

381

Lampiran 2. Bagan Alur Tatalaksana IMS1 Bagan 1. Duh tubuh uretra laki-laki dengan pemeriksaan mikroskop Bagan 2. Ulkus genital untuk tenaga medis Bagan 3. Duh tubuh vagina dengan pemeriksaan inspekulo dan mikroskop Bagan 4. Tonjolan (vegetasi) pada genital Kepustakaan 1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual 2015. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2015.

Infeksi Menular Seksual

382

Bagan 1. Duh tubuh uretra laki-laki dengan pemeriksaan mikroskop

Pasien laki-laki dengan keluhan duh tubuh uretra dan atau disuria

1. 2. 3.

4. Lakukan anamnesis (tanya faktor risiko), pemeriksaan fisik genitalia, milking/urut uretra bila perlu, lakukan pewarnaan Gram dari duh tubuh uretra

Ada diplokokus Gram negatif intraselular

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila ada fasilitas Anjurkan untuk kembali bila gejala menetap sesudah 7 hari (pasien menahan kencing 3 jam sebelum pemeriksaan

Ada leukosit PMN >5/lapang pandang besar

Tidak

Tidak

Ya Ya Obati sebagai uretritis gonore dan uretritis non gonokokus (klamidiosis)

1. 2. 3.

4.

Obati sebagai uretritis non gonokokus (klamidiosis)

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila ada fasilitas Obati pasangan seks sama dengan pasien

Hari ke-7, adakah perbaikan?

Ya

Pengobatan selesai

Infeksi Menular Seksual

Tidak

RUJUK

Risiko (+) Bila dalam 1 bulan terakhir mengalami 1 atau lebih faktor risiko di bawah ini: 1. Pasangan seksual >1 2. Berhubungan seks dengan penjaja seks 3. Episode IMS 1/lebih 4. Perilaku pasangan seks berisiko tinggi

383

Bagan 2. Ulkus genital untuk tenaga medis

1. 2. 3.

Pasien dengan keluhan luka/lecet pada genitalia

Lakukan anamnesis (tanya faktor risiko) dan pemeriksaan genitalia

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila fasilitas tersedia

Tidak

Tampak vesikel/luka kecil dangkal, berkelompok, nyeri, dengan/tanpa riwayat rekurensi

Tidak

Ulkus multipel, nyeri, lunak, dasar kotor, tepi tidak teratur

1.

2.

3.

Ulkus keras, biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar bersih, tepi rata

Ya

Ya

Obati sebagai herpes genitalis

Tidak

Ya

Obati sebagai chancroid

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila fasilitas tersedia

1.

2.

3.

4.

Hari ke-7 adakah perbaikan

Tidak

Ya

Beri pengobatan yang sesuai atau rujuk

Obati sebagai sifilis

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila ada fasilitas Obati pasangan seks sama dengan pasien

Tidak

Ulkus traumatik atau kelainan dermatologis

Risiko (+) Bila dalam 1 bulan terakhir mengalami 1 atau lebih faktor risiko di bawah ini: 5. Pasangan seksual >1 6. Berhubungan seks dengan penjaja seks 7. Episode IMS 1/lebih 8. Perilaku pasangan seks berisiko tinggi

Rujuk

Ya Amati sampai ulkus menutup

Infeksi Menular Seksual

384

Bagan 3. Duh tubuh vagina dengan pemeriksaan inspekulo dan mikroskop

Pasien dengan keluhan duh vagina atau rasa gatal/terbakar pada vulva

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan dengan spekulum dan bimanual

Pemeriksaan: adakah nyeri perut bagian bawah?

Ya

Gunakan bagan alur nyeri perut bagian bawah

Tidak

Spekulum: ada duh tubuh vagina atau serviks?

Ya

1. 2. 3.

Lakukan KIE & konseling Sediakan & anjurkan kondom Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila fasilitas tersedia

Tidak

Ada duh tubuh serviks mukopurulen?

Tidak

Obati sebagai vaginitis: vaginosis bakterialis dan kandidiasis 1. Lakukan KIE & konseling 2. Sediakan & anjurkan kondom 3. Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila fasilitas tersedia

Ya

Obati sebagai servisitis gonokokus, klamidiosis & trikomoniasis 1. Lakukan KIE & konseling 2. Sediakan & anjurkan kondom 3. Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila fasilitas tersedia

Hari ke-7 keluhan hilang?

Tidak

Ya

Hari ke-7 keluhan hilang?

Tidak

Ya Obati sebagai servisitis gonokokus, klamidiosis & trikomoniasis

Pengobatan selesai

Ya

Hari ke-7 keluhan hilang?

RUJUK Tidak

RUJUK

Infeksi Menular Seksual

385

Bagan 4. Tonjolan (vegetasi) pada genitalia

Pasien dengan keluhan benjolan di genitalia dan anus

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik daerah genitalia dan anus

Ada benjolan verukosa (vegetasi)?

Tidak

Obati sesua penyakitnya atau bila tidak dapat menangani, rujuk

Ya

Pasien dengan keluhan benjolan di genitalia dan anus

Obati sebagai kutil kelamin: 1. Pengobatan setiap minggu, dapat sampai 6 minggu 2. Lakukan KIE & konseling 3. Sediakan & anjurkan kondom 4. Tawarkan konseling & tes HIV, serta serologi sifilis bila ada fasilitas 5. Periksa pasangan seksualnya

Adakah perbaikan?

Tidak

RUJUK

Ya

Teruskan pengobatan sampai sembuh

Infeksi Menular Seksual

386

KEDARURATAN KULIT H.1

Angioedema

H.2

Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)

H.3

Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET)

387 Kedaruratan Kulit

H.1 Angioedema (T78.3) I.

Definisi Edema mendadak pada dermis bagian bawah dan subkutis dengan manifestasi edema sewarna kulit atau eritema pada area predileksi, yang sering disertai keterlibatan lapisan submukosa. Kadang-kadang disertai gejala subyektif nyeri atau panas, rasa gatal jarang ada. Angioedema disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Gejala objektif berupa edema kulit mendadak pada area predileksi.1  Gejala subjektif berupa rasa nyeri atau rasa terbakar, dan gatal ringan. 1  Dapat disertai atau tidak disertai urtikaria.1,3 Sebanyak 43,8% angioedema alergi disertai urtikaria.3  Dapat disertai kesulitan menelan atau bernafas apabila ada keterlibatan mukosa saluran nafas dan cerna.3  Biasanya gejala timbul beberapa jam hingga 72 jam.4  Episode angioedema/urtikaria yang menetap lebih dari 6 minggu disebut kronis, yang terbagi atas angioedema/urtikaria autoimun kronik dan idiopatik kronik.1,2  Etiologi angioedema akut pada umumnya adalah obat, makanan, infeksi, atau faktor-faktor metabolik.1 2. Pemeriksaan Fisik  Didapatkan edema sewarna kulit, atau kadang eritema.1,2  Lokasi anatomis berurutan dari paling sering yaitu wajah, periorbital, bibir, ektremitas, glottis, lidah, genitalia.3  Dapat disertai gejala sesak nafas.3 Diagnosis Banding1 Diagnosis banding etiologi: 1. Erupsi obat alergi  Diperantarai imunoglobulin E (IgE)  Metabolik-idiosinkrasi  Imunitas seluler 2. Reaksi akibat makanan  Diperantara IgE  Tidak diperatarai IgE (contoh: scombroid poisoning) 3. Jalur intravena 4. Produk darah  Zat kontras  γ-globulin intravena 5. Infeksi  Infeksi virus pada anak-anak  Infectious mononucleosis atau gejala prodromal hepatitis B 388

Kedaruratan Kulit



Infeksi bakteri pada anak-anak

Fisik: 1. Lesi individu timbul 2 jam  Urtikaria akibat tekanan  Angioedema akibat getaran (vibratory)  Familial cold-induced syndromes, biasanya disertai demam Kronik (>6 Minggu): 1. Autoimun, kadang disertai antibodi antitiroid 2. Idiopatik 3. Vaskulitis urtikaria  Idiopatik-hanya pada kulit  Berhubungan dengan penyakit jaringan ikat yang lain 4. Familial febrile syndromes dengan erupsi menyerupai urtikaria 5. Sindrom Schnitzler 6. Angioedema herediter 7. Angioedema didapat (acquired) Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan pada angioedema akut. 1,2 2. Pemeriksaan penunjang disarankan pada angioedema kronik.1,2 3. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bergantung pada penyebab yang dicurigai berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.1 4. Jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, fungsi tiroid, komplemen (C1, C3, C4), Imunoglobulin, biopsi kulit, uji tusuk, dan autologous serum skin test (ASST).1,2

III.

Penatalaksanaan Non Medikamentosa 1. Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor penyebab endogen dan eksogen.1 (D,5) 2. Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke spesialis THT untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopi (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi keadaan darurat di Unit Gawat Darurat. 5-8 (C,4) 3. Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU untuk monitor jalan nafas.5-8 (C,4) 4. Pasien dengan edema terbatas pada kulit dapat diobservasi di unit gawat darurat dalam 6 jam, dan diperbolehkan rawat jalan. 5,8 (C,4)

389 Kedaruratan Kulit

Medikamentosa 1. Prinsip5 (D,5*)  Mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast dan/atau efek mediator tersebut pada organ target, serta menginduksi toleransi.  Pada angioedema akut pengobatan difokuskan untuk mengurangi gejala. 2. Topikal Tidak ada terapi khusus 3. Sistemik  Apabila ada gangguan nafas: epinefrin atau adrenalin (1:1000) dosis 0,3 ml subkutan atau intramuskular, diulangi setiap 10 menit. 5,8 (C,4)  Pengobatan selanjutnya: Lini pertama:2,9 (B,1) o Antihistamin H-1 generasi ke-2 seperti loratadin, cetirizin, desloratadin, atau feksofenadin, dapat diberikan pada pasien rawat jalan o Atau antihistamin H-1 generasi ke-1 o Apabila gejala menetap setelah 2 minggu pengobatan, maka diberikan pengobatan lini kedua. Lini kedua: o Dosis antihistamin H-1 generasi kedua ditingkatkan 2-4 kali lipat2,10 (C,3) o Apabila gejala menetap setelah 1-4 minggu berikutnya diberikan pengobatan lini ketiga. Lini ketiga: o Kortikosteroid diindikasikan pada pasien dengan syok anafilaksis, edema laring, dan gejala yang berat yang tidak berespons dengan pemberian antihistamin. Dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari dengan atau tanpa tappering o Kortikosteroid jangka pendek (maksimal 10 hari) dapat juga digunakan apabila terjadi eksaserbasi2,11 (C,4) o Dapat ditambahkan omalizumab2,12,13(A,1) atau siklosporin A2,14,15 (A,1)

IV.

Edukasi Hindari pencetus1

V.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad fungsionam Quo ad sanationam

: dubia ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam

390 Kedaruratan Kulit

VI.

Kepustakaan 1. Kaplan AP. Urticaria dan angioedema. Dalam Fitzpatrick‟s dermatology in general medicine. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Mc Graw Hill. Edisi ke 8. 2012;414-27. 2. Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, G. Canonica G.W. et all: The EAACI/GA2LEN/EDF/WAO Guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of urticaria: the 2013 revision and update. Alergy European Academy of Allergy and Clinical Immunology. 2014:868-87. 3. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, et al. Angioedema: Clinical and etiological aspects. Clin Dev Immunol. 2007:1-6. 4. Frigas E and Park M.A, Mayo Clinic CollegeMedicine, Rochchester, Minnesota USA: Acute Urticaria and Angioedema, Am J Clin Dermatol. 2009;10(4):239-50. 5. Winter M, Palmer M. Clinical Practice Guideline: Initial Evaluation and Management of Patients Presenting with Acute Urticaria or Angioedema. Am Acad Em Med. 2006. 6. Bentsianov, B.L., et al., The role of fiberoptic nasopharyngoscopy in the management of the acute airway in angioneurotic edema. Laryngoscope. 2000;110(12):2016-9. 7. Ishoo, E., et al., Predicting airway risk in angioedema: staging system based on presentation. Otolaryngol Head Neck Surg. 1999;121(3):263-8. 8. Varadarajulu, S., Urticaria and angioedema. Controlling acute episodes, coping with chronic cases. Postgrad Med. 2005;117(5):25-31. 9. Zuberbier T, Munzberger C, Haustein U, Trippas E, Burtin B, Mariz SD et al. Double-blind crossover study of high-dose cetirizine in cholinergic urticaria. Dermatology 1996;193:324–327. 10. Staevska M, Popov TA, Kralimarkova T, Lazarova C, Kraeva S, Popova D et al. The effectiveness of levocetirizine and desloratadine in up to 4 times conventional doses in difficultto-treat urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2010;125:676-682. 11. Asero R, Tedeschi A. Usefulness of a short course of oral prednisone in antihistamineresistant chronic urticaria: a retrospective analysis. J Investig Allergol Clin Immunol 2010;20:386-390. 12. Ivyanskiy I, Sand C, Francis ST. Omalizumab for chronic urticaria: a case series and overview of the literature. Case Rep Dermatol. 2012;4:19-26. 13. Maurer M, Rosen K, Hsieh HJ et al. Omalizumab for the treatment ofchronic idiopathic or s pontaneous urticaria. N Engl J Med. 2013;368:924-35. 14. Grattan CE, O‟Donnell BF, Francis DM, Niimi N, Barlow RJ, Seed PT et al. Randomized double-blind study of cyclosporine in chronic „idiopathic‟ urticaria. Br J Dermatol. 2000;143:365372. 15. Vena GA, Cassano N, Colombo D, Peruzzi E, Pigatto P. Cyclosporine in chronic idiopathic urticaria: a double-blind, randomized, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol. 2006;55:705–709.

391 Kedaruratan Kulit

VII.

Bagan Alur

Angioedema

Eliminasi/hindari faktor penyebab yang dicurigai

Pasien dengan edema terbatas pada kulit

 Apabila didapatkan sesak nafas, suara serak atau odinofagia dikonsulkan ke spesialis THT untuk dilakukan nasopharyngolaryngoscopy (NPL) dengan terlebih dahulu diatasi keadaan darurat di Unit Gawat Darurat.  Apabila didapatkan edema laring berdasarkan hasil NPL maka dirawat di ICU untuk memonitor jalan nafas.

 Diberikan antihistamin H-1 generasi ke-1

 Diberikan antihistamin H-1 generasi ke-2

   

Diobservasi di unit gawat darurat dalam 6 jam

Epinefrin atau adrenalin Diberikan Antihistamin H-1 generasi ke-1 Diberikan Antihistamin H-1 generasi ke-2 Kortikosteroid Sembuh

Menetap 6 minggu

Pikirkan diagnosis banding

Pemeriksaan penunjang

392 Kedaruratan Kulit

H.2 Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) (T88.7) I.

Definisi Sindrom DRESS merupakan kumpulan gejala dan tanda reaksi obat idiosinkrasi berat pada pemberian obat dalam dosis terapi, yang secara khas ditandai oleh: 1. Demam 2. Erupsi kulit 3. Abnormalitas hematologi (eosinofilia >1500/µL, atau kelainan hematologi lain misal nya leukositosis, limfositosis, atau limfosit atipik 4. Keterlibatan sistemik (limfadenopati >2cm, hepatitis sitolitik dengan alanine transaminase (AST) >2x normal, nefritis intersitial, pneumonia interstitial, atau miokarditis)1,2 Sinonim: Drug-Induced Hypersensitivity Syndrome (DIHS)

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Diketahui terdapat obat yang dicurigai sebagai penyebab. 1,2  Paling sering 2-6 minggu setelah pemakaian obat pertama kali.1,2  Gejala dapat timbul 2-120 hari setelah konsumsi obat.1  Gejala dapat timbul lebih cepat dan lebih parah pada pajanan obat berulang.2  Penyebab tersering adalah antibiotik diikuti oleh antikonvulsan.1 2. Pemeriksaan fisik2-4  Keadaan umum biasanya buruk.  Demam dapat terjadi beberapa hari sebelum atau bersamaan dengan munculnya erupsi kulit. Demam berkisar antara 38-40ºC, sering disertai mialgia, arthralgia, faringitis, dan limfadenopati.  Erupsi kulit bervariasi, dapat berupa erupsi obat makulopapular, vesikobulosa, maupun dermatitis eksfoliativa.  Sering dijumpai edema pada wajah.  Keterlibatan mukosa jarang terjadi, biasanya berupa stomatitis atau faringitis ringan.  Komplikasi yang dapat terjadi berupa gagal ginjal akut, sepsis, dan nekrosis hati. Kriteria diagnostik dapat menggunakan kriteria Bocquet et al, Regi SCAR, dan J-SCAR.2 (lihat lampiran) Diagnosis Banding2,3 1. Sindrom Stevens-Johnson 2. Acute generalized exanthematous 3. Dermatitis eksfoliativa

393 Kedaruratan Kulit

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan darah dan urin rutin: serum glutamic transaminase (SGOT), serum piruvic transaminase (SGPT), eosinofil darah tepi.1,3,4 2. Pemeriksaan HbSAg, antibodi antivirus Hepatitis-A serta anti Hepatitis-C untuk menyingkirkan infeksi virus sebagai penyebab hepatitis.4 3. Uji kulit: uji tempel untuk penegakan diagnosis kausatif obat penyebab. Uji sebaiknya dilakukan dalam waktu 6 minggu-6 bulan sesudah sembuh.5 III.

Penatalaksanaan Prinsip Memperbaiki keadaan umum dan pengobatan sesegera mungkin. Non Medikamentosa 1. Hentikan pemakaian obat yang dicurigai.3,4 (C,3) 2. Atasi keadaan umum yang buruk.3,4 (C,3) 3. Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit.3,4 (C,3) 4. Tatalaksana oleh multidisiplin ilmu.4 (C,3) Medikamentosa 1. Topikal: steroid topikal sesuai dengan lesi kulit.1 (C,3) 2. Sistemik: 1  Steroid sistemik dengan dosis setara prednison 1-1,5 mg/kgBB kemudian diturunkan secara bertahap.6,7 (C,3)  Bila keadaan klinis berat atau tidak tampak terdapat perbaikan, steroid sistemik dapat diberikan dalam dosis denyut metilprednisolon 30 mg/kgBB/hari (dosis maksimal 3 gram selama 3 hari).7,8 (C,4)

IV.

Edukasi 1. Menghentikan segera obat yang dicurigai sebagai penyebab. 3,4 2. Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai penyakit, terapi, serta prognosis.4 (C,3)

V.

Prognosis Quo ad vitam : dubia ad bonam 10% dapat menyebabkan kematian.4 (C,3) Prognosis baik apabila obat penyebab segera diberhentikan. 4 (C,3) Quo ad fungsionam : ad bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

VI.

Kepustakaan 1.

2. 3.

Nam YH, Park MR, Nam HJ, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms syndrome is not uncommon and shows better clinical outcome than generally recognised. Allergol Immunopathol (Madr). 2014. doi: 10.1016/j.aller.2013.08.003. Husain Z, Reddy BY, Schwartz RA. Dress syndrome Part I. Clinical perspective. J Am Acad Dermatol. 2013;68: 93.e1-14. Husain Z, Reddy BY, Schwartz RA. Dress syndrome Part II. Management and therapeutics. J Am Acad Dermatol.2013;709.e1-9. 394

Kedaruratan Kulit

4.

5. 6. 7.

Criado PR, Avancini J, Santi CG, et al. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS): A complex interaction of drugs, viruses and the immune system. Isr Med Assoc J. 2012;14:577-82. Brockow K, Romano A, Bianca M, et al. General considerations for skin test procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002;57:45-51. Sultan SJ, Sameem F, Ashraf M. Drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms: manifestations, treatment, and outcome in 17 patients. Int J Dermatol. 2014:1-6 Kocaoglu C, Cilasun C, Solak ES, Kurtipek GS, Arslan S. Successful treatment of antiepileptic drug-induced DRESS syndrome with pulse methylprednisolone. Case reports in pediatrics. 2013;1-5

395 Kedaruratan Kulit

VII.

Bagan Alur

396 Kedaruratan Kulit

Kriteria diagnosis DRESS Bocquet et al Cutaneous drug eruption

RegiSCAR Bercak kemerahan akut‟

J-SCAR* Bercak makulopapular yang terjadi dan semakin meluas selama >3 minggu dari awal mengonsumsi obat yang dicurigai

Abnormalitas hematologi

Reaksi yang terjadi akibat keterlibatan obat‟

Tanda dan gejala memanjang setelah penghentian obat

Eosinofil ≥1,5x109/L

Rawat inap‟

Demam >38oC

Morfologi darah tepi: limfosit atipikal

Demam >38oC”

Abnormalitas enzim hati (ALT >100 U/L atau keterlibatan organ lain)

Keterlibatan sistemik

Pembesaran kelenjar getah bening ≥2 lokasi”

Abnormalitas leukosit (≥1)

Adenopati: kelenjar getah bening diameter ≥2 cm

Keterlibatan organ dalam ≥1”

Leukositosis (>11x109/L)

Hepatitis dengan peningkatan enzim transaminasi ≥2 kali

Abnormalitas pada darah rutin”

Limfosit atipikal (>5%)

Nefritis interstisial

Limfosit lebih atau dibawah normal

Eosinofilia (>1,5x109/L)

Pneumonitis interstisial

Peningkatan jumlah eosinofil

Limfadenopati

Karditis

Penurunan jumlah trombosit

Reaktivasi HHV-6

Keterangan:  Kriteria Bocquet et al, memenuhi 3 kriteria (1 kelainan hematologi dan 1 kelainan sistemik)  DIHS, drug-induced hypersensitivity syndrome; HHV, human herpes virus-6; J-SCAR, Japanese Research Comitte on Severe Cutaneous Adverse Reaction; RegiSCAR, European Registry of Severe Cutaneous Adverse Reaction  *Kriteria J-SCAR termasuk DHIS. Definitif DHIS yang tipikal apabila memenuhi semua 7 kriteria; DHIS atipikal apabila memenuhi hanya 5 kriteria  „Kriteria penting untuk diagnosis menurut RegiSCAR  “3 dari 4 kriteria dibutuhkan untuk diagnosis menurut RegiSCAR

397 Kedaruratan Kulit

H.3 Nekrolisis Epidermal (L51.1-L51.3) (Sindrom Stevens-Johnson/SSJ dan Nekrolisis Epidermal Toksik /NET)

I.

Definisi Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif. Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area permukaan kulit yang terkena.1,2

II.

Kriteria Diagnostik Klinis 1. Anamnesis  Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.1,3  Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.1,3  Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).1  Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus)1,3, imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.1 2. Pemeriksaan fisik  SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.3  Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis.1-3 Tanda Nikolsky positif.3  Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).1-3  Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.1,3 3. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (30%).1-5 (B,2) Komplikasi yang dapat terjadi:1-4 (B,2) 1. Sepsis 2. Kegagalan organ dalam

398 Kedaruratan Kulit

Diagnosis Banding1,3: 1. Eritema multiforme major (EEM) 2. Pemfigus vulgaris 3. Mucous membrane pemphigoid 4. Pemfigoid bulosa 5. Pemfigus paraneoplastik 6. Bullous lupus erythematosus 7. Linear IgA dermatosis 8. Generalized bullous fixed drug eruption 9. Bullous acute graft-versus-host disease 10. Staphylococcal scalded skin syndrome 11. Acute generalized exanthematous pustulosis Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis, tetapi untuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi hematologi rutin, urea serum, analisis gas darah, dan gula darah sewaktu.1-3,6 2. Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut.3 3. Pemeriksaan histopatologis dilakukan apabila diagnosis meragukan.1,3 4. Diagnosis kausatif dilakukan setelah minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang dengan:  Uji tempel tertutup7,8  Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA) dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi pencetus.6 Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan.3 III.

Penatalaksanaan Non Medikamentosa 1. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.2-4,9 (C,4) 2. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah infeksi sekunder.3,9 (C,4) 3. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun nasogastrik.3,9 (C,4) Medikamentosa 1. Prinsip  Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.1,3 (C,4)  Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections (HAIs).3,9 (C,4)  Atasi keadaan yang mengancam jiwa. 2-4 (A,1) 2. Topikal Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.3 (D,5*) Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun pembedahan (debrideman).3,9 (C,4)  Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan 399

Kedaruratan Kulit

50% cairan parafin.3,9 (C,4)  Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata.3,9,10 (C,4) 3. Sistemik  Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk NET.11 (B,3)  Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik opiate-based seperti tramadol.3 (D,5*) Pilihan lain:  Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan segera setelah pasien didiagnosis NET dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari12,13 (B,3)  Siklosporin dapat diberikan14 (B,2)  Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas. 15 (C,3) Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi. IV.

Edukasi Prinsip1-3 (C,4) 1. Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi penyebab. 2. Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga menjadi pencetus dan memberikan edukasi pada pasien untuk menghindari obatobatan tersebut.

V.

Prognosis Ditentukan berdasarkan SCORTEN, yaitu suatu perhitungan untuk memperkirakan mortalitas pasien dengan nekrolisis epidermal. Masing-masing dinilai 1 dan setelah dijumlahkan mengarah pada prognosis angka mortalitas penyakit.4,6,15 (C,2) 1. Usia >40 tahun 2. Denyut jantung >120 kali/menit 3. Ada keganasan 4. Luas epidermolisis >10% luas permukaan tubuh 5. Serum urea >28 mg/dL 6. Glukosa >252 mg/dL 7. Bikarbonat 1

Ruang perawatan non-intensif

Identifikasi & eliminasi agen penyebab:  Menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab

Ruang perawatan intensif

Terapi aktif:  Resusitasi cairan  Kortikosteroid sistemik (IV/oral)  Intravenous Immunoglobulin (IVIg)  Keseimbangan hemodinamik, protein, dan elektrolit  periksa kadar elektrolit serum  Antibiotik jika diperlukan

SCORTEN: Sistem skoring prognostik pada pasien epidermal nekrolisis Faktor-faktor Angka Prognostik Usia >40 tahun 1 Denyut jantung >120 kali/menit 1 Keganasan (+ kanker darah) 1 Luas permukaan tubuh terkena >10 1 Kadar ureum serum >10 mM 1 Kadar bikarbonat serum 14 mM 1

SCORTEN 0-1 2 3 4 5

Langkah-langkah suportif:  Perawatan kulit  Apabila terdapat keterlibatan mata harus dikonsultasikan ke dokter spesialis mata  Edukasi pasien dan keluarganya  Obat yang diduga sebagai pencetus ditulis dalam catatan di rumah sakit dan catatan untuk dibawa pulang pasien

Angka Mortalitas (%) 3,2 12,1 35,8 58,3 90

402 Kedaruratan Kulit

Daftar Kontributor

Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Farida Zubier, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK(K), M. Epid., FINSDV, FAADV dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Nurdjannah Jane Niode, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Rasmia Rowawi, SpKK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. A.A.G.P Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Santoso Edy Budiono, Sp.KK, FINSDV, FAADV Dr. dr. Prasetyadi Mawardi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Satiti Retno Pudjiati, Sp.KK(K), FINSDV dr. Nurwestu Rusetiyanti, M.Kes., Sp.KK Dr. Devi Artanis, Sp.KK, M.Sc. Kelompok Studi Herpes Dr. dr. Hans Lumintang, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Erdina H.D. Pusponegoro, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Prof. dr. Sjaiful Fahmi Daili, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK, FINSDV, FAADV dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Nurdjannah Jane Niode, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Afif Nurul hidayati, Sp.KK, FINSDV dr. Qaira Anum, Sp.KK, FINSDV, FAADV Kelompok Studi Dermatosis Akibat Kerja dr. Windy Keumala Budianti, Sp.KK Prof. Dr. dr. Retno Widowati Soebaryo, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Sri Awalia Febriana, Sp.KK, M.Kes., Ph.D., FINSDV Kelompok Studi Morbus Hansen dr. Emmy Sudarmi Sjamsoe, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Melani Marissa, Sp.KK dr. Prima Kartika Esti, SpKK, M.Epid., FINSDV Kelompok Studi Imunodermatologi Prof. Dr. dr. Endang Sutedja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Hartati Purbo Dharmadji, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Oki Suwarsa, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Dr. dr. Faridha S. Ilyas, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Cita Rosita SP, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Erdina H.D. Pusponegoro, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Hj. Isramiharti, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Evita H.F. Effendi, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Niken Indrastuti, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Reiva Farah D, Sp.KK. M.Kes, FINSDV dr. Sri Awalia Febriana, Sp.KK, M.Kes., Ph.D., FINSDV dr. Retno Indar Widayati, Sp.KK, M.Si dr. Endi Novianto, Sp.KK, FINSDV dr. Nopriyati, Sp.KK, FINSDV dr. Pati Aji Achdiat, Sp.KK 403

dr. Nuriah, Sp.KK dr. Miranti Pangastuti, Sp.KK Kelompok Studi Psoriasis dr. Erdina H.D. Pusponegoro, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Endi Novianto, Sp.KK, FINSDV dr. Githa Rahmayunita, Sp.KK, FINSDV dr. Danang Triwahyudi, Sp.KK, FINSDV, FAADV Kelompok Studi Dermatomikologi Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Prof. dr. Kusmarinah Bramono, Sp.KK(K), Ph.D., FINSDV, FAADV dr. Sunarso Suyoso Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Evy Ervianti, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Ani Andriani, Sp.KK(K) dr. Sylvia Anggraeni, Sp.KK(K) dr. Eliza Miranda Sp.KK, FINSDV dr. Linda Astari, Sp.KK dr. Yuri Widya, Sp.KK Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia dr. Titi Lestari Sugito, Sp.KK(K), FINSDV FAADV dr. Inne Arline Diana, Sp.KK(K), FINSDV FAADV dr. Triana Agustin, Sp.KK, FINSDV Dr. med. dr. Retno Danarti, Sp.KK(K), FINSDV Dr. dr. Reiva Farah D. Sp.KK. M.Kes, FINSDV dr. Githa Rahmayunita, Sp.KK, FINSDV dr. Rinadewi Astriningrum, Sp.KK Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia dr. Sjarif M. Wasitaatmadja, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV Kelompok Studi Tumor dan Bedah Kulit dr. Susanti Budiamal, Sp.KK, FINSDV, FAADV Dr. dr. Aida S. Dachlan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV dr. Roro Inge Ade Krisanti, Sp.KK, FINSDV, FAADV dr. Larisa Paramitha Wibawa, Sp.KK dr. Adhimukti T. Sampurna, Sp.KK dr. Yuli Kurniawati, Sp.KK, FINSDV dr. I.G.N. Darmaputra, Sp.KK dr. Irmadita Citrashanty, Sp.KK dr. Kartika Ruchiatan, Sp.KK, M.Kes. dr. Daulat Sinambela, Sp.KK dr. Wiwi Widjaya Chandra, Sp.KK dr. Ineke, Sp.KK dr. Agnes Kartini, Sp.KK, FINSDV dr. Deasy Thio, Sp.KK dr. Nugrohoaji Dharmawan, Sp.KK.,M.Kes., FINSDV dr. Sri Lestari K.S., Sp.KK (K), FINSDV, FAADV dr. Qaira Anum, Sp.KK, FINSDV, FAADV dr. Erna Harijati, Sp.KK Dr. dr. Ago Harlim, Sp.KK, MARS dr. Henry Tanojo, Sp.KK dr. Gunawan Budisantoso, Sp.KK, FINSDV, FAADV dr. David Sudarto Oeria, Sp.KK, FINSDV, FAADV 404

dr. Muslimin, Sp.KK Kelompok Studi Dermatologi Geriatri Indonesia dr. Shanaz Nadia Yusharyahya, Sp.KK, FINSDV dr. Eddy Karta, Sp.KK, FINSDV dr. Wieke Triestianawati, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

405

HIMBAUAN Kepada Yth. Sejawat anggota PERDOSKI Di Tempat

Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik, saran dan usulan Sejawat untuk perbaikan /penyempurnaan buku ini. Kritik dan saran dikirim melalui:

PP PERDOSKI Grand Ruko Salemba Jl. Salemba Raya 1 no. 22, Unit no. 11 Telp/Fax. 021.3904517 Email: [email protected]

Hormat kami,

Penyusun

DILARANG MENGKOPI ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH BUKU INI TANPA SEIJIN PEMEGANG HAK CIPTA YANG BERADA DI TANGAN PERDOSKI MENURUT UU HAK CIPTA NO. 44 TAHUN 1987.

406

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF