Bab II Tinjauan Pustaka

April 22, 2018 | Author: scribd_andre | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tp...

Description

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Arang Aktif Arang adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil  pembakaran bahan yang mengandung karbon. Arang ini tersusun dari atomatom C secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar ini tampak seolah-olah seperti pelat-pelat datar yang saling bertumpuk satu sama lain dengan sela-sela di antaranya. Sebagian pori-pori yang terdapat pada arang tersebut masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lainnya. Komponen dari arang ini adalah karbon terikat ( fixed carbon), abu, air, nitrogen, dan sulfur (Djatmiko et  al,1986).  al,1986). Arang aktif adalah padatan amorf yang mempunyai luas permukaan dan  jumlah pori yang sangat banyak, berbentuk padatan hitam yang tidak berasa dan tidak berbau. Definisi lain mengatakan arang aktif adalah bentuk generik dari bermacam produk yang mengandung karbon yang telah diaktivasi untuk meningkatkan luas permukaannya. Arang aktif berbentuk kristal mikro, karbon non grafit, yang pori-porinya telah mengalami proses pengembangan kemampuan untuk menyerap gas dan uap air dari campuran gas dan zat-zat yang tidak terlarut atau terdispersi dalam cairan. Tiap-tiap kristal, biasanya terdiri dari 3 atau 4 lapisan atom karbon dengan sekitar 20-30 atom karbon heksagonal pada tiap lapisan. Arang aktif adalah arang yang telah mengalami  proses aktifasi untuk meningkatkan luas permukaannya dengan jalan membuka  pori-porinya sehingga daya daya adsorpsinya dapat ditingkatkan. Struktur arang aktif dapat digambarkan sebagai sebuah jaringan berpilin dari lapisan datar karbon yang tidak sempurna, yang dihubungsilangkan oleh grup jembatan alifatik. Pola difraksi sinar x menunjukkan bahwa arang aktif  berbentuk non grafit, amorf, karena jaringan hubungan atau jembatan silang yang tidak teratur menghambat pembentukan kembali struktur, bahkan ketika dipanaskan sampai 3000ºC.

Luas permukaan, dimensi, dan distribusi dari arang aktif tergantung dari  bahan baku, kondisi karbonisasi, dan proses aktivasi. Ukuran pori arang aktif diklasifikasikan menjadi 3, yaitu mikropori (diameter < 2 nm), mesopori (diameter 2-50 nm), dan makropori (diameter > 50 nm). Arang aktif mengandung unsur selain karbon yang terikat secara kimiawi, yaitu hidrogen dan oksigen. Kedua unsur tersebut berasal dari bahan baku yang tertinggal akibat tidak sempurnanya karbonisasi atau dapat juga terjadi ikatan pada proses aktivasi. Adanya hidrogen dan oksigen mempunyai  pengaruh yang besar pada sifat-sifat karbon aktif. Unsur unsur ini  berkombinasi dengan unsur-unsur atom karbon membentuk gugus fungsional misalnya: gugus karboksilat, gugus hidroksifenol, gugus kuinon tipe karbonil, gugus normalakton, lakton tipe flueresence, asam karboksilat anhidrida dan  peroksida siklis. ( Jankowski, et al; 1991). B. Pembuatan Arang Aktif Arang aktif dapat dibuat dari berbagai bahan yang mengandung karbon  baik yang berasal dari tumbuhan, binatang dan barang tambang. Bahan-bahan tersebut antara lain kayu, serbuk gergajian kayu, batu bara, tempurung kelapa, tempurung biji-bijian, sekam padi, tongkol jagung, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, tulang binatang dan lain-lain. Pembuatan arang aktif terdiri dari dua tahap utama, yaitu proses karbonasi  bahan baku dan proses aktifasi bahan terkarbonasi pada temperatur tinggi. Proses karbonasi adalah proses penguraian selulosa organik menjadi unsur karbon dan pengeluaran unsur-unsur non karbon yang berlangsung pada suhu 600-700 ºC (Kienle, 1986). Proses karbonasi dapat dilakukan dengan bahan  pada suhu 500 ºC selama 4-5 jam (Pari, 1991). Proses aktifasi merupakan  proses untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga dapat meningkatkan porositas arang (Cooney, 1980 dan Guerrero et al ., 1970). Proses aktifasi arang dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses aktifasi gas dan proses aktifasi kimia.

1. Aktifasi Gas Prinsip dasar aktivasi gas adalah pemberian uap air atau gas CO 2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang yang telah dihaluskan dimasukkan kedalam tungku aktifasi, lalu dipanaskan pada suhu 800-1000 ºC sambil dialirkan uap air atau gas CO 2. Pada suhu dibawah 800 ºC, oksidasi  berlangsung sangat lambat, sedangkan pada suhu di atas 1000 ºC dapat terjadi kerusakan kisi-kisi heksagonal. Reaksi yang terjadi : H2O + C

CO + H2, ΔH = + 117 kJ

2H2O + C

CO2 + 2H2, ΔH = + 75 kJ

CO2 + C

2CO, ΔH = + 157 kJ

Reaksi yang terjadi adalah reaksi endoterm, sehingga aktifasi yang terjadi menjadi kurang efektif akibat panas yang terbentuk berkurang. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah membakar gas-gas yang terbentuk (Kienle, 1986). Selama pengaktifan dengan gas pengoksidasi, lapisan karbon kristalit yang tidak teratur mengalami pergeseran yang menyebabkan permukaan kristalit atau celah menjadi terbuka sehingga gas pengaktif yang lembam dapat mendorong residu hidrokarbon seperti senyawa ter, fenol, metanol dan senyawa lain, yang menempel pada permukaan arang. Cara yang efektif untuk mendesak residu tersebut adalah dengan mengalirkan gas pengoksidasi pada  permukaan materi karbon (Pari, 1996). 2. Aktifasi Kimia Prinsip dasar aktifasi kimia adalah perendaman arang dengan senyawa kimia sebelum dipanaskan. Arang direndam dalam larutan pengaktifasi selama 24 jam kemudian ditiriskan, lalu dipanaskan pada suhu 600-900 ºC selama 1-2  jam. Pada suhu tinggi ini bahan pengaktif akan masuk di antara sela-sela

lapisan heksagonal dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup sehingga luas permukaan yang aktif bertambah besar (Kienle, 1986). Bahan  pengaktif mempengaruhi proses pirolisis sehingga pembentukan ter dibatasi sampai tingkat minimum dan jumlah fase cairnya lebih sedikit dari jumlah karbonasi normal (Hasani, 1996). Bahan kimia yang dapat digunakan antara lain H 3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, KOH, NaOH, H 3BO3, KMnO4, SO2, H2SO4, K 2S, ZnCl 2, CaCl2, dan MgCl 2 (Kienle, 1986 dan Sudradjat, 1994). Aktifasi kimia dengan H 3PO4 lebih  banyak dilakukan karena arang aktif yang dihasilkan biasanya memiliki pori yang lebih baik dengan rendaman tinggi. Aktifasi menggunakan kombinasi H3PO4  dan uap air sangat dianjurkan (Kienle et al ., 1986 dan Baker et al .,1997). C. Kegunaan Arang Aktif Ada dua macam jenis arang aktif yang dibedakan menurut fungsinya : 1.

Arang Penyerap Gas (Gas Adsorbent Carbon) Jenis arang ini digunakan untuk menjerap kotoran berupa gas, sebab pori-

 porinya berukuran mikro yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak bisa melewatinya. Contohnya dapat ditemui pada karbon terpurung kelapa. 2.

Arang fasa cair (Liquid-Phase Carbon) Arang jenis ini digunakan untuk menyerap kotoran atau zat yang tidak

diinginkan dari cairan atau larutan karena memiliki pori-pori berukuran makro yang memungkinkan molekul berukuran besar masuk. Biasanya arang tersebut terbuat dari batu bara atau selulosa. Saat ini arang aktif telah digunakan secara meluas dalam industri kimia,  pangan, dan farmasi. Umumnya arang aktif digunakan sebagai bahan penjerap dan pemurni, dalam jumlah kecil digunakan sebagai katalis.

D. Adsorpsi Adsorpsi adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada suatu padatan dan akhirnya membentuk suatu film (lapisan tipis) pada permukaan padatan tersebut. Berbeda dengan absorpsi dimana fluida terserap oleh fluida lainnya dengan membentuk suatu larutan. Definisi lain menyatakan adsorpsi sebagai suatu peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Adsorpsi adalah pengumpulan dari adsorbat diatas permukaan adsorben, sedang absorpsi adalah penyerapan dari adsorbat kedalam adsorben dimana disebut dengan fenomena sorption. Materi atau partikel yang diadsorpsi disebut adsorbat, sedang bahan yang berfungsi sebagai pengadsorpsi disebut adsorben. Adsorpsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorpsi fisika (disebabkan oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk membentuk cairan) yang ada pada permukaan adsorbens) dan adsorpsi kimia (terjadi reaksi antara zat yang diserap dengan adsorben, banyaknya zat yang teradsorbsi tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi tekanan dan suhu). Mekanisme peristiwa adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut: molekul adsorbat melalui suatu lapisan batas permukaan luar adsorben (difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan, sebagian besar  berdifusi lanjut didalam pori-pori adsorben (difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar akan teradsorpsi dan terikat dipermukaan, namun apabila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh dengan adsorbat, maka dapat terjadi 2 hal: 1. Terbentuknya lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya diatas adsorbat yang telah terikat di permukaan, gejala ini disebut adsorpsi multilayer.

2. Tidak terbentuk lapisan kedua dan seterusnya sehingga adsorbat yang  belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida. Proses adsorpsi pada arang aktif terjadi melalui 3 tahap besar, yaitu : 1. Zat terserap pada arang bagian luar. 2. Zat bergerak menuju pori-pori arang. 3. Zat terserap ke dinding bagian dalam arang. Isoterm adsorpsi menunjukan hubungan kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat di fluida dan konsentrasi adsorbat di permukaan adsorben pada suhu tetap. Kesetimbangan terjadi apabila laju pengikatan adsorben terhadap adsorbat

menjadi

sama

dengan

laju

pelepasannya.

Menurut

istilah

termodinamika tentang kesetimbangan fasa dikatakan bahwa potensial kimia antara adsorbat di fasa fluida dan yang terikat di adsorben adalah sama. Perlu dikemukakan bahwa pencapaian keadaan setimbang tersebut tidak  berarti bahwa seluruh potensi adsorbat telah digunakan. Kemampuan maksimum suatu adsorben untuk mengadsorpsi suatu adsorbat disebut sebagai kapasitas adsorbsi dari adsorben tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorbsi adalah: 1.

Karakteristik fisis dan kimia adsorben, seperti luas pemukaan, ukuran  pori-pori, dan komposisi kimia.

2.

Karakteristik fisis dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul, kepolaran molekul, dan komposisi kimianya

3.

Konsentrasi adsorbat dalam fasa cair.

4.

Karakteristik fasa cair yaitu pH dan temperature. Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila

mempunyai sifat dari adsorpsi yaitu: selektif, berpori (mempunyai luas  permukaan per satuan massa yang besar), dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik ataupun kimia. Pembesaran luas permukaan dapat dilakukan dengan pengecilan partikel adsorben akan

tetapi, dalam berbagai pemakaian, ukuran partikel harus memenuhi syarat lain, seperti tidak boleh terbawa serta dalam aliran fluida, sehingga terdapat aturan  pada ukuran partikel. E. Singkong

Singkong yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu, adalah  pohon tahunan tropika atau subtropika dari keluarga  Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran. Singkong memiliki nama latin  Manihot utilissima. Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan  panjang 50-80 cm. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan disimpan meskipun ditempakan di lemari  pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Klasifikasi tanaman singkong adalah sebagai berikut: Kelas

: Dicotiledoneae

Sub Kelas

: Arhichlamydeae

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Sub Famili

: Manihotae

Genus

: Manihot

Spesies

: Manihot esculenta

Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, singkong meghasilkan  starch, gaplek, tepung singkong, etanol,

gula cair,

sorbitol, MSG, tepung aromatik, dan pellet . Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain perharinya. F. Kulit Singkong

Hampir semua makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan, mengandung karbon, seperti tulang manusia, tulang sapi, pelepah daun pisang, tempurung, hingga kulit singkong. Kulit singkong mengandung 59,31 persen karbon, dengan kandungan karbon yang cukup banyak, menjadikan kulit singkong mempunyai potensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan arang aktif.

Secara umum, masyarakat sudah mengenal arang aktif yang terbuat dari tempurung kelapa namun, ada bahan lain yang bisa menghasilkan produk yang sama yaitu kulit singkong. Limbah kulit singkong ini bisa dimanfaatkan menjadi produk karbon aktif, selain itu dengan mengolah limbah kulit singkong dapat mengurangi limbah yang dibuang ke lingkungan, mengingat saat ini telah  banyak industry yang menggunakan singkong sebagai bahan baku pembuatan  produknya. Proses pembuatan karbon aktif dari limbah kulit singkong ini sangat sederhana, yakni melalui proses karbonisasi dan aktivasi. Dengan pori pori banyak dan besar, karbon aktif kulit singkong sangat potensial mengenyahkan bau dan warna minyak yang rusak serta dapat meningkatkan kualitas minyak yang rusak. G. Minyak Goreng Lemak dan minyak merupakan suatu trigliserida yang terbentuk dari kondensasi satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak. Lemak dan minyak sebagai bahan pangan dibagi menjadi dua golongan yaitu, lemak yang siap dikonsumsi tanpa dimasak misalnya mentega, dan lemak yang dimasak  bersama-sama bahan pangan atau dijadikan sebagai medium penghantar panas dalam memasak bahan pangan misalnya minyak goreng (Winarno,1992). Minyak goreng didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara  pemurnian minyak nabati dan dipergunakan sebagai bahan makanan. Dalam proses menggoreng, minyak berfungsi sebagai penghantar panas sehingga proses pemanasan menjadi lebih efisien dibandingkan proses  pemanggangan, atau perebusan. Proses penggorengan akan meningkatkan cita rasa, kandungan gizi dan daya awet serta menambah nilai kalori bahan pangan (Winarno, 1992). Mutu minyak goreng ditentukan dari titik asapnya, yaitu suhu  pemanasan minyak sampai terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan yang menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asap makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap dari minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas.

Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng, titik asapnya akan menurun karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi, umumnya suhu penggorengan adalah 177-221 °C (Winarno, 1992). Minyak goreng yang telah mengalami pemanasan pada suhu tinggi dan digunakan berkali-kali akan menuruk kualitasnya. Pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan merusak asam-asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam minyak. Oksigen akan mengoksidasi minyak dengan cepat pada proses penggorengan. Kerusakan lemak pada proses penggorengan diakibatkan oleh kontak minyak dengan udara, pemanasan yang berlebihan, kontak minyak dengan  bahan pangan, dan adanya partikel-partikel yang gosong. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat dilihat dari perubahan warna, kenaikan kekentalan, kandungan asam lemak bebas, peroksida, dan penurunan bilangan iod. Kerusakan ini akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi serta penampilan bahan  pangan yang digoreng. Untuk memperpanjang masa pakai minyak goring, maka alat dan kondisi  penggorengan harus diperhatikan. Selain itu, untuk minyak goreng yang telah digunakan untuk menggoreng perlu digunakan filtrasi minyak dengan adsorben sehingga kondisi minyak dapat dijaga dengan baik. Adsorben yang dapat digunakan adalah kaolin, bentonit, zeolite, alumina, dan arang aktif. Adsorben ini dapat menghilangkan sebagian asam lemak bebas, peroksida, dan perbahan warna. H. Perubahan Sifat Fisika Minyak Goreng Akibat Proses Penggorengan Minyak yang mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh seperti minyak goreng merupakan bahan yang mudah rusak oleh panas pada proses  penggorengan, karena pada proses penggorengan, minyak akan mengalami  pemanasan secara terus menurus dalam waktu tertentu, mengalami kontak

dengan oksigen di udara, dan adanya kontak minyak dengan air yang ada di  bahan pangan. Reaksi-reaksi kerusakan selama proses penggorengan terjadi secara  bertahap, mula-mula diawali dengan terjadinya pembentukan warna, oksidasi yang diikuti dengan polimerisasi dan pada akhirnya adalah reaksi hidrolisis. Proses oksidasi akibat ada oksigen akan menghasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil. Tingkat kerusakan yang terjadi dipengaruhi oleh suhu, lama  pemanasan, zat pengoksidasi, produk hasil reaksi oksidasi, dan komposisi asam lemak dalam minyak serta posisi asam lemak tersebut didalam trigliserida. Panas penggorengan akan menyebabkan terjadinya oksidasi termal asam lemak tidak jenuh yang ditandai oleh penurunan bilangan iod, peningkatan kekentalan minyak, bilangan asam, dan bilangan peroksida yang menendakan tingginya kandungan karbonil. Oksidasi minyak pada suhu tinggi akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon,alkohol, lakton, dan senyawa aromatis yang mempunyai  bau tengik dan rasa getir. Pada suhu tinggi gliserida-gliserda akan terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas, selanjutnya gliserol akan terpisah menjadi okrolein. Proses oksidasi akan menghasilkan hidroperoksida yang akan mengalami degradasi lebih lanjut melalui tiga reaksi. Pertama reaksi fisi yang akan menghasilkan alkohol, aldehida, asam dan hidrokarbon yang mempunyai  peranan dalam pembentukan flavor dan warna hitam pada minyak. Reaksi yang kedua adalah dehidrasi yang menghasilkan keton serta reaksi yang ketiga adalah reaksi pembentukan radikal bebas yang membentuk dimer, trimer, epoksida dan hidrokarbon yang mempunyaiperan dalam meningkatkan kekentalan minyak serta terbentuknya fraksi NAF ( Non Urea Adduct Forming ) dan meningkatkan kekentalan minyak.

Secara umum produk-produk yang terbentuk karena proses penggorengan digolongkan menjadi dua golongan yaitu komponen atsiri yang akan mempengaruhi flavor dari bahan pangan dan komponen non-atsiri yang berasal dari minyak dan dapat terserap ke dalam bahan pangan. Reaksi auto-oksidasi diawali oleh reaksi induksi, dimana sebelum terjadinya ketengikan minyak, minyak akan mengikat oksigan dari udara s ecara  perlahan-lahan, kemudian mengalami perubahan cita rasa (reversi). Terjadinya induksi, menyebabkan kecepatan peningkatan oksigen dari udara akan meningkat yang diikuti oleh pembentukan peroksida. Reaksi selanjutnya adalah reaksi polimerisasi yang akan meningkatkan kekentalan minyak. I. Dampak Limbah Minyak Goreng bagi Lingkungan Limbah minyak goreng merupakan masalah yang serius pada lingkungan karena dapat menyebabkan timbulnya bau busuk. Pembuangan limbah minyak goreng sebagian besar berasal dari minyak goreng nabati. Permasalahan limbah minyak goreng ini dihadapi oleh hampir seluruh masyarakat dunia, mengingat sebagian besar penduduk mengunakan minyak goreng dalam proses memasak atau untuk kegiatan lainnya. Limbah minyak goreng tersebut berasal dari industry makanan, restoran, dan limbah rumah tangga. Beberapa dari limbah tersebut dikumpulkan untuk dimanfaatkan menjadi biodiesel, namun tidak sedikit pula yang dibiarkan memadat dan akhirnya dibuang dengan cara yang sama seperti sampah dapur lainnya. Hal tersebut dapat menyebabkan  bertambahnya kerusakan lingkungan, contohnya limbah minyak goreng dalam  jumlah banyak yang dibuang ke laut akan menutup permukaan air laut dan menyebabkan gangguan bagi ekosistem laut. J.

Bahaya yang Dapat Ditimbulkan oleh Minyak Goreng yang Rusak Akibat Pemanasan Adanya peroksida yang terbentuk

dari asam lemak tidak jenuh,

menyebabkan terdekomposisinya peroksida menjadi karbonil danasam hidroksi serta adanya oksidasi parsial membentuk polimer-polimer yang

diisolasi sebagai fraksi NAF ( Non Urea Adduct Forming ) memegang peranan  penting terhadap terjadinya penurunan nilai gizi karena panas selama proses  penggorengan minyak. Komponen NAF dapat bersifat toksisitas akut pada hewan percobaan, sedangkan peroksida dan karbonil menyebabkan toksisitas yang kronis. Fraksi  NAF juga bersifat karsinogenik pada hewan kasinogenik pada hewan  percobaan. Diketahui baha fraksi toksik tersebut mengadung sejumlah karbionil dan hidroksil yang sulit diubah dengan hidrogenasi. Panas juga menyebabkan ketidakstabilan dari komponen provitamin A katotenik. Adanya pembentukan apoksida serta adanya pemecahan rantai dari  provitamin A katotenik (terutama β-karoten yang merupakan kelompok karotenoik tertinggi yang ada di dalam minyak) yang diakibatkan oleh proses  penggorengan (panas). Semakin tinggi penggorengan maka akan semakin  banyak komponen pecahan dari β-karoten dan akan semakin menurunkan ketersediaan β-karoten dalam minyak.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF